Mendudukkan Agama dan Filsafat Secara Adil

Judul Buku : Misteri Agama dan Refleksi Filsafat
Penulis : Louis Dupre
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Pertama, April 2022
Tebal Buku : 231 Halaman
Peresensi : Slamet Makhsun
Pegiat Literasi di Komunitas Geger Jogjakarta, mahasiswa jurusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga

Di era postmodern ini, agama memiliki wajah buruk di hadapan masyarakat Barat. Bagi mereka, agama tak ubah secongok ideologi yang membuat manusia kian terbebani berikut dengan seabrek aturannya. Yang lalu dianggap telah mereduksi kebebasan berpikir, berdaulat.

Agama bukan lagi dijadikan sumber moral etis dan nilai agung kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari maraknya ateisme di benua Biru. Di saat yang sama, kritikan tegas dan cemoohan kepada agama datang begitu derasnya. Sangat wajar bila generasi muda mereka berkarakter bebas tanpa ada sangkut paut agama. Lha wong generasi di atasnya saja sudah sangat anti terhadap agama.

Lepasnya masyarakat Barat dari hiruk pikuk agama, sebenarnya berakar dari konflik antar kerajaan pada abad pertengahan, yang mereka sendiri terbagi dalam dua madzhab Kristen, yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan.

Antara kerajaan yang bermazhab Katolik dengan yang bermazhab Protestan tidak mau saling berdamai. Pada ufuknya, mereka kerap berperang entah untuk menaklukkan kerajaan lain, menguasai pasar, atau bahkan perebutan wilayah jajahan.

Di sela-sela berjalannya peperangan, agama dijadikan alat oleh penguasa kerajaan untuk melegitimasi tindakannya. Mereka menggunakan dogma Katolik atau Kristen agar rakyatnya kian yakin dan bersemangat dalam berperang.

Misalnya dengan mengklaim bahwa perang adalah perbuatan suci membela Tuhan sehingga ketika mati akan diganjar surga. Pun dengan doktrin yang mengatakan bahwa raja adalah ejawantah Tuhan, maka mentaati-Nya adalah wajib. Sebaliknya, membangkang kepada raja adalah pengkhianatan terhadap Tuhan.

Karena muak dengan tingkah laku otoritas kerajaan yang semena-mena, maka masyarakat Barat kala itu menggelorakan revolusi. Dalam mencapai revolusi, mereka menggunakan filsafat sebagai basis gerakan.

Salah satu hal yang dilakukan para filsuf dan pemikir Eropa saat itu adalah membuang pemikiran teistik menuju logika yang empiris, yakni segala sesuatu harus berjalan sesuai bukti fisik, yang indera manusia sendiri secara nyata harus merasakannya. Alhasil, corak pemikiran dan kepercayaan yang bertolak dari empirisme dibuang.

Karena agama diklaim jauh dari fakta empiris, lalu masyarakat Eropa menyebut bahwa agama hanya kesia-siaan belaka. Agama tak lebih dari bualan dan omong kosong. Tuhan tidak pernah muncul di hadapan mata mereka, malahan nama agung Tuhan sering dijual demi kepentingan politik kekuasaan.

Gebrakan pemikiran ini lalu memunculkan beragam ideologi anyar yang berperan dalam perombakan tatanan dunia baru. Sebut saja Marxisme, Sosialisme, Komunisme, dan Sekulerisme.

Ideologi-ideologi tersebut melakukan banyak transformasi di Eropa sehingga merubah dari semula kerajaan beralih ke era negara-negara atau nations. Banyak kerajaan yang runtuh lalu membentuk negara baru dengan konsep demokrasi-sekularisme. Mereka tidak lagi mau dipimpin oleh raja yang notabenenya menggunakan agama sebagai alatnya. Hal ini juga turut diikuti oleh daerah-daerah di luar Eropa.

Terlepas dari perjalanan sejarah demikian itu, menjadi tidak adil rasanya jika tuduhan buruk dari para pemikir Eropa era renaissance berlaku bagi seluruh agama. Padahal mereka berangkat dari kritikan terhadap agama Kristen. Jelas ketara sekali, misal ada cibiran terhadap pemeluk agama di Eropa, itu tidak melulu hanya bagi agama Kristen, namun juga berlaku bagi Islam, Hindu, Budha, Yahudi, dll.

Lain hal, perjalanan setiap agama tentu memiliki karakter yang berbeda. Jika Kristen di Eropa menjadi alat bagi para penguasa kerajaan, Islam di Jawa mewujud semangat juang melawan penjajah. Alhasil, kritikan para pemikir Eropa terhadap Kristen yang menjadi alat kerajaan sama sekali tidak berlaku bagi Islam yang berkembang di Jawa. Dan hal tersebut juga sama berlakunya bagi agama-agama di daerah lain.

Ketika para filosof Barat menuduh bahwa agama tidak empiris dan jauh dari kata benar, maka sungguh bijak jika mereka menilik ulang sejarah. Abad kejayaan Islam memunculkan nama-nama filosof agung. Misalnya Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Rusyd, dll. Pun dengan agama lain seperti di kebudayaan Khonghucu ada Lao Tze yang pemikiran filsafatnya hingga kini masih menjadi rujukan dalam terapi psikologi modern.

Jika pemikir Barat mengklaim bahwa kebenaran hanya tampak oleh mata, bagaimana mereka memikirkan apa itu perasaan, cinta, ruh, mimpi, nyawa, yang notabenenya tidak terlihat namun benar-benar manusia rasakan?

Oleh sebab itu, dalam mengkaji agama sebagai objek ilmu pengetahuan, alangkah baiknya bila berangkat dari apa yang para pemeluk agama rasakan. Maksudnya, para pengkaji agama sedikit-banyak harus merasakan pengalaman spiritual yang dialami oleh pemeluk agama agar datanya tidak berat sebelah.

Jika para pengkaji agama berangkat dari tolak ukur filsafat empirisme, maka tak ubahnya melihat dunia dari dalam tempurung. Mereka tidak bisa menyelami dalamnya lautan agama. Mereka hanya melihat agama dari kaca mata filsafat, bukan pemeluk agamanya sendiri.

Meski begitu, agama dan filsafat bukanlah dua hal yang mesti dipertentangkan. Keduanya berkelindan saling melengkapi. Agama bergerak dalam dimensi batiniah membentuk moral etis nilai-nilai adiluhung kemanusiaan, sementara itu filsafat bergerak di dimensi praksis-material yang mempermudah kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan lahiriah.

——— *** ———

Tags: