Menuju Era Mitigasi

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo
Dosen Sosiologi Lingkungan dan Kebencanaan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Doktor lulusan Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang

MINGGU-MINGGU ini kita disuguhkan bencana alam yang bervariasi dan merata di semua belahan bumi, dari banjir, tanah longsor, cuaca ekstrim, karhutla (kebakaran hutan dan lahan), gelombang pasang dan abrasi. Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) melaporkan 3.544 bencana terjadi sepanjang tahun 2022. Kengerian terjadi karena bencana melahirkan dampak berupa 858 meninggal, 6.144.534 menderita dan mengungsi, 8.733 luka-luka dan 37 hilang.
Kondisi ini berbarengan dengan naiknya ketidakstabilan iklim yang terjadi semua belahan dunia. Bencana hidrometereologis akan memperparah ini sebagai ancaman bersama karena masifnya ekses bencana ini yang sulit diprediksi dan dikendalikan. Pada titik ini, di tengah kepongahan dan superior pada alam kita harus mengakui ketidakberdayaan manusia. Cara hidup eksploitatif, konsumtif yang menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan hidup dipraktikkan berabad-abad harus diakhiri.
Manusia meninggalkan ekonomi lokal tetapi memasuki ekonomi global terintegrasi penuh resiko. Globalisasi ekonomi menyebabkan kerusakan lingkungan berupa kebudayaan resiko dimana manusia tidak mampu mengendalikan. Sistem buatan manusia tersebut lepas dari kontrol dari kendali manusia. Salah satu sebab yaitu eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam sebagai cara hidup memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan mengorbankan kepentingan alam dan lingkungan itu.

Era Eksploitasi
Eksploitasi terjadi pada semua lini. Pelaku tidak hanya industri besar, tetapi juga masyarakat yang tinggal di lingkungan dan sumber daya alam itu. Perbedaan terletak pada rasionalisasi dan kadar eksploitasi tidak sama. Pemenuhan kebutuhan menjadi alasan utama. Alam yang sebelumnya begitu menakutkan, kini tidak sakral lagi, ia tidak lebih sebagai kapital yang profan dan alat “pemuas” manusia.
Ironisnya, eksploitasi didukung superioritas dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktik ideologis ini dilakukan secara mendunia. Ideologi pembangunan tertentu membenarkan praktik perubahan lingkungan. Kapitalisme, modernisasi dan pengejaran pertumbuhan ekonomi melahirkan masyarakat eksploitatif pada alam. Kongkretnya, studi-studi kelayakan yang merupakan produk IPTEKS digunakan sebagai pembenar eksploitasi.
Eksploitasi melahirkan kerusakan daya dukung lingkungan. Bencana yang tidak bisa dikendalikan, tata ruang amburadul dan iklim rusak. Kini semua warga dunia menuai perbuatan yang kita tanam tersebut. Kawasan tertentu tidak lama diguyur hujan, banjir dan tanah longsor terjadi.

Era Mitigasi
Mitigasi yang dimaksud yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Perencanaan dan pelaksanaan tindakan untuk mengurangi resiko-resiko terkait bahaya alam dan bahaya karena ulah manusia yang respon efektif terhadap bencana yang benar-benar terjadi (Saiful Hakam, 2016: 119).
Mitigasi yaitu intervensi yang bertujuan mengurangi potensi bahaya fisik dan gangguan sosial. Ia menunjuk ukuran (measure) yang dapat ditentukan dengan mengurangi dampak destruktif dan disruptif dan mengurangi magnitude bencana. Ukuran mitigasi berbeda-beda dari ukuran fisik seperti pertahanan banjir (flood defence) atau desain bangunan yang aman sampai legislasi undang-undang dan kesadaran publik (public awareness).
Secara detail mitigasi dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural mengacu pada pembangunan fisik untuk mengurangi atau menghindari dampak bahaya bencana. Jenis mitigasi ini mencakup lagkah-langkah secara teknik, konstruksi dan infrastruktur yang mampu melindungi dari ancaman bahaya. Bentuk mitigasi struktural melibatkan perancangan, pembangunan, pemeliharaan, dan renovasi struktur fisik dan infrastruktur demi menahan kekuatan fisik dari dampak bencana.Misalnya, penataan drainase, naturalisasi dan normalisasi sungai.
Sedangkan, mitigasi non struktural. Mitigasi yang bertujuan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh ancaman bahaya pada masyarakat dengan mengacu pada kebijakan, kesadaran, pengembangan pengetahuan, komitmen masyarakat, metode, termasuk mekanisme partisipatif, memodifikasi kerentanan, kerusakan bahaya dan gangguan (Kumalawati dan Parida Angriani, 2018: 7).
Selain itu, pengarusutamaan mitigasi harus menyeluruh, ia meliputi aktivitas sebelum terjadi, saat terjadi dan sesudah bencana. Sebelum bencana langkah-langkah antisipasi, seperti pengenalan daerah/wilayah masing-masing, manakah yang sudah beresiko, rentan atau pernah mengalami bencana.
Saat terjadi bencana dibutuhkan strategi penanggulangan. Pemerintah memahami kesiapsiagaan dari semua lini, mengetahui manakah yang menjadi tugas negara dan masyarakat/warga. Warga melakukan langkah-langkah yang terbaik. Sedangkan, pemulihan (recovery) menunjuk pada aktivitas perbaikan komunitas tertentu setelah bencana. Warga melakukan perbaikan-perbaikan demi mengembalikan keteraturan sosial pada keadaan sebelum terjadi bencana.

Tantangan Peralihan Era

Mitigasi awalnya sekedar strategi penanggulangan bencana, namun hemat penulis, saatnya berubah pada gerakan kolektif dan masif. Era Mitigasi sebagai tahapan masyarakat yang selalu memperbaiki dan meningkatkan kualitas alam dan lingkungan. Mitigasi antitesa cara hidup (way of life) eksploitatif. Semua pihak harus menangani semua efek dari kerusakan bencana ini, sebab bencana telah menjadi ancaman kehidupan bumi. Berbagai kerusakan dan dampak bencana tidak mampu dikontrol manusia.
Untuk menjadikan sebuah era baru sejatinya bukan perkara mudah, mengingat cara hidup eksploitatif sudah dipraktikkan ribuan tahun, untuk itu kini saatnya memahami tantangan transisi ini. Pertama, kontradiksi-kontradiksi masyarakat. Sama dengan era eksploitasi, kemunculan era mitigasi membutuhkan peran banyak pihak sebagai pelaku utama. Persoalannya, tidak semua pihak mau, menyadari dan mampu melakukan mitigasi tersebut. Pasti ada kelompok yang abai dan tidak memandang penting mitigasi. Konsekuensinya, mereka melakukannya tidak serius atau asal-asalan. Salah satu penyebabnya, pengetahuan yang mendorong siapapun bisa beralibi, maka isu lingkungan dan kebencanaan menjadi kontestasi. Semoga aliran mitigasi memenangkan hal tersebut.
Kedua, tata kelola kebencanaan. Hari ini kita memasuki era dimana beban persoalan semakin berat dan tidak cukup mengandalkan pemilik otoritas tertentu saja. Negara memang bertanggung jawab sebagai pengatur atau pemandu utama, tetapi ia tidak bekerja sendirian, maka partisipasi semua pihak diundang demi meringankan tanggung jawab tersebut. Kemunculan komitmen dan praktik mitigasi sebagai kebijakan yang melahirkan perubahan pada umat manusia, jejaring dan koordinasi semua stakeholders pelaksana dibutuhkan. Semoga.

———— *** ————

Rate this article!
Menuju Era Mitigasi,5 / 5 ( 2votes )
Tags: