Menyoroti Lembaga Fatwa di Indonesia

Judul Buku : Fatwa in Indonesia: An Analysis of Dominant Legal Ideas and Mode of Thought of Fatwa-Making Agencies and Their Implications in the Post-New Order Period
Penulis : Pradana Boy ZTF
Penerbit : Amsterdam University Press
Tebal : 316 halaman
Peresensi : Ahmad Fatoni
Dosen Fakultas Agama Islam UMM

Buku yang diadaptasi dari disertasi penulisnya ini membahas fatwa di Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto (Orde Baru) pada tahun 1998. Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Pradana Boy ZTF, mengeksplorasi tiga lembaga pembuat fatwa, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, dan Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah.

Dalam buku berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh Amsterdam University Press ini, Pradana mengklaim bahwa produksi fatwa di Indonesia, sangat dipengaruhi oleh tiga institusi pembuat fatwa: Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Sementara itu, dalam dinamika pembuatan fatwa, pemikiran keagamaan konservatif dan tradisional mewarnai secara dominan. Sedangkan pemikiran progresif, kendati ada, namun perannya cenderung marginal.

Pradana misalnya menyoroti beberapa produk fatwa tentang sektarianisme, pluralisme, sekularisme, dan liberalisme yang berdampak terhadap pemikiran sosial. Fatwa tentang Ahmadiyah dan Kelompok Syi’ah di Indonesia yang dibuat oleh MUI adalah salah satu produsen fatwa yang tidak luput dari analisa lulusan National University of Singapore (NUS) ini.

Pradana mengungkapkan bagaimana fatwa dikondisikan oleh cara berpikir lembaga-lembaga yang memproduksi fatwa. Cara berpikir yang bersaing dalam organisasi tertentu (dalam penelitian ini adalah MUI, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah) yang menunjukkan keragaman orientasi dan ideologi kelompok sosial tertentu dalam lembaga-lembaga tersebut.

Dalam pandangan penulis, MUI sebagai lembaga keagamaan mainstream di Indonesia, dinilai memiliki orientasi keagamaan tradisionalistik dan konservatif. Misalnya, MUI Jawa Timur yang mengeluarkan fatwa sesat terhadap berbagai aliran sektarianisme dan pluralisme seperti sesatnya kelompok Syiah, memperkuat kecenderungan tradisionlisme dan konservativisme MUI.

Sementara NU sendiri umumnya dipandang sebagai contoh gerakan Islam dengan corak tradisionalistik. Analisis fatwa-fatwa hasil Bahtsul Masail dari NU tentang isu-isu ritual dan non-ritual menegaskan NU masih mempertahankan karakteristik tradisionalisme yang kuat. Tetapi dalam kondisi terntentu, NU juga memanifestasikan cara berpikir yang terkadang bertentangan dengan pendapat mainstream.

Adapun Muhammadiyah, di sisi lain, dikenal luas sebagai gerakan Islam modernis. Menurut Pradana, fatwa Majelis Tarjih & Tajdid dari Muhammadiyah dalam persoalan ritual dan sosial ekonomi, lebih mencerminkan ideologi lembaga keagamaan yang bercirikan sebagai gerakan revivalis.

Sekadar contoh, Pradana dalam buku ini mendedah beberapa kasus fatwa MUI yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta liberalisme, pluralisme, dan sektarianisme mencerminkan unsur-unsur konservatisme yang kuat. Penulis menandai bahwa motif fatwa yang dikeluarkannya demi melindungi dan memelihara kesatuan umat. Dalam konteks ini, MUI melegitimasi perannya sebagai penjaga iman. Di snilah peran MUI dalam beberapa kasus menekankan fungsi servis dan alat kontrol atas akidah umat Islam.

Atas peran tersebut, MUI tak jarang harus berhadapan dengan kemungkinan apresiasi, evaluasi, kritik, atau bahkan hujatan dari masyarakat luas. Selain itu, MUI juga berpotensi sebagai lembaga konsultasi hukum dan objek penelitian bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ungkap Pradana, fatwa MUI memainkan dua fungsi yang prinsipil, yakni fatwa sebagai instrumen perubahan sosial dan fatwa sebagai instrumen ideologi.

Pada konteks itulah, MUI pada perjalanan sejarahnya menghasilkan fatwa-fatwa yang pada realitasnya tidak sepenuhnya netral. Dalam kondisi tertentu, MUI cenderung berpihak kepada pemerintah atau sebaliknya, berseberangan dengan kepentingan pemerintah. Dengan kata lain, MUI senantiasa berhadapan dengan tantangan-tantangan eksistensi diri, penetrasi politik, dan pemenuhan hajat masyarakat luas. Intinya, MUI memang mengemban tugas mulia sekaligus berat.

Terakhir, Pradana menyimpulkan bahwa fatwa-fatwa yang dominan pada masa pasca-Orde Baru yang dikeluarkan oleh MUI, Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dan Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah, itu sebagian besar dipengaruhi oleh corak berpikir tradisionalis, konservatif, dan revivalis. Fatwa-fatwa yang dominan tersebut tentu memiliki implikasi substansial terhadap dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: