Merawat Keragaman, Hapus Dominasi Mayoritas – Minoritas

Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lima UKWM Gabby menjelaskan, dirinya yang aktif di kegiatan kerohanian Katolik tidak pernah menyoal terkait perbedaan agama itu. Bahkan untuk salah satu kegiatannya tak jarang melibatkan dari seluruh agama. “MIsalnya dalam pelayanan ke masyarakat seperti bakti sosial ke panti asuhan. Tapi kita memiliki kegiatan yang khusus memang hanya diikuti oleh mahasiswa Katolik. Yaitu liturgi untuk prosesi missa,” pungkas dia.

Kuncoro Foe PhD

Ruang Aktualisasi Terbuka untuk Semua Suku dan Agama
Menggunakan identitas sebagai universitas Katolik bukan menjadi alasan bagi siapapun untuk bisa belajar dan berkarya. Karena ruang aktualisasi terbuka untuk siapapun. Begitu Rektor UKWM Surabaya Kuncoro Foe PhD mengungkapkannya.
Dalam perhitungan Kuncoro, mahasiswa katolik di kampusnya tidak lebih dari 50 persen. Tahun ini, total mahasiswa baru yang diterimanya mencapai 1.628. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 652 mahasiswa yang Katolik dan 582 mahasiswa Kristen. Sementara mahasiswa muslim terdapat 289 atau sekitar 18 persen. Selebihnya terdapat mahasiswa Budha, Hindu, Konghucu dan aliran kepercayaan lainnya.
“Jadi komposisi mahasiswa kami memang memungkinkan terjadinya percampuran interaksi dari berbagai agama. Tentu dari situ kita harus merancang agar kehidupan di kampus dengan percampuran ini bisa kondusif,” terang Kuncoro. Di situlah pentingnya aturan-aturan, kode etik, aturan akademik dan perilaku. “Kita sebut dengan budaya korporasi. Dikenalkan terus menerus dalam pengenalan kampus dan keteladan hidup dari kakak-kakak mahasiswa,” kata dia.
Ragam perbedaan ini justru kelebihan bagi UKWM. Karena di sana, akan menjadi tempat bagi mahasiswa tidak hanya belajar tentang akademik tetapi juga tentang kehidupan. “Belajar tidak demi ilmu belaka tetapi demi kehidupan. Jadi semua yang dilakukan demi kemaslahatan banyak orang. Dan orang yang di Indonesia itu tentu beragam di bawah NKRI,” kata dia.
Untuk beraktualisasi tak ada batasan sedikit pun pengecualian karena dasar agama. Bahkan ketua presiden mahasiswa di badan perwakilan kemahasiswaan universitas adalah mahasiswa muslim. “Muhammad Subhan namanya dari mahasiswa farmasi. Ini menjadi keteladaan yang bisa dilihat dan disaksikan bersama. Sama sekali tidak ada permasalahan di yayasan,” kata dia.
Variasi mahasiswa berdasar asal demografinya juga semakin beragam. Dari 90 persen semula dari Jatim bergeser menjadi 70 persen sepuluh tahun lalu.
“Kampus ini menjadi rumah belajar kehidupan dan tidak ada diskriminasi apalagi intimidasi. Eksklusifitas semakin menurun,” kata dia. Sepanjang kampus ini berdiri, lanjut Kuncoro, hampir tidak pernah muncul gesekan antar kelompok mahasiswa. Sebab, tidak ada alasan sentimen itu muncul.
“Tidak ada yang sangat dominan dan terlalu minoritas. Prestasi mahasiswa tidak membatasi apa agamanya,” pungkas dia. [tam]

Tags: