Milenial dalam Kontestasi Politik

Irwan Setiawan

Oleh :
H Irwan Setiawan M.AP
Anggota DPRD Jawa Timur Dapil 3 periode 2014 – 2019 ; Ketua Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Jawa Timur

Sejak kemerdekaan Indonesia belum lagi terproklamasikan, kaum muda telah meninggalkan legasinya dalam dinamika kehidupan berbangsa. Dengan segala kapasitas keilmuan dan idealismenya, generasi muda telah mengidentifikasi dirinya sebagai the agent of change (agen perubahan).

Pasca penerapan politik etis, generasi muda justru menggulirkan isu nasionalisme sehingga mengubah strategi perlawanan terhadap imperialis dan kemudian menyatukan gerakan dalam ikrar Sumpah Pemuda. Gagasan untuk mendirikan pemerintahan sendiri yang berdaulat (zelfbestuur) juga disuarakan pertama kali oleh tokoh muda progresif bernama Tjokroaminoto pada tahun 1916. Puncak gerakan perubahan itu adalah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 yang juga tidak terlepas dari pressure para pemuda untuk memanfaatkan terjadinya kekosongan kekuasaan akibat kekalahan Jepang terhadap Sekutu sebagai momentum.

Sejarah kemudian juga mencatat peran pemuda pelajar dan mahasiswa dalam menumbangkan kekuasaan absolut berlabel Demokrasi Terpimpin dan juga Demokrasi Pancasila. Dari fase ini, kaum muda terpelajar dipandang sebagai moral pressure group yang bergerak secara independen, bahkan dianggap sebagai kelompok oposisi ekstra parlementer.

Berkaca pada rekam jejak sejarah tersebut, bisa ditarik pengetahuan bahwa politik nasional dengan segala dinamikanya bukanlah hal asing untuk kaum muda yang sekarang dikenal dengan sebutan milenial. Namun demikian, milenial khususnya mahasiswa memiliki perspektif sendiri terhadap politik.

Bagi mereka, politiknya mahasiswa adalah pekerjaan moral untuk menggunakan hak-hak partisipatifnya dalam demokrasi yaitu hak untuk melakukan kontrol sosial terhadap pemegang kekuasaan dan juga hak menyampaikan aspirasi melalui forum akademis, mimbar bebas ataupun aksi demonstrasi.

Dengan perspektif tersebut, sebagian milenial yang hidup di dalam kampus berupaya menjaga brandingnya di masyarakat sebagai gerakan moral dengan tidak memasuki wilayah politik praktis. Sikap demikian mungkin didasari oleh adanya teori politik Lord Acton yang mengatakan bahwa power tends to corrupt. Selain itu, dinamika politik nasional maupun lokal juga tak jarang menampilkan wajah transaksional daripada demokrasi yang bermuara pada kemaslahatan rakyat.

Pilihan sikap sebagian milenial yang memasang garis demarkasi antara wilayah politik praktis dengan gerakan moral tidak bisa disalahkan. Namun demikian, mengutip pekataan Presiden Turki, Recep Erdogan, bila orang baik tidak ada yang mau berpolitik, maka orang-orang jahatlah yang akan mengisinya.

Karena itulah perlu adanya rekonstruksi mindset bahwa politik praktis bukan zona larangan untuk dimasuki generasi milenial. Bagaimanapun juga, kepentingan rakyat akan diatur melalui peraturan perundang-undangan yang dilahirkan oleh praktisi-praktisi politik output dari sebuah kontestasi bernama Pemilihan Umum. Produk proses demokrasi itulah yang akhirnya akan memainkan peran sebagai policy makers.

Dengan pertimbangan tersebut, keputusan sebagian kaum muda milenial yang tidak ingin sekadar menjadi obyek elektoral tidak sepatutnya dihakimi sebagai langkah regresif. Masuknya mereka dalam kontestasi politik bisa dipersepsikan sebagai strategi melanjutkan pekerjaan moral mereka di dalam ruang produksi kebijakan publik.

Hanya saja, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Lilik Hendarwati, anggota DPRD Jawa Timur, demokrasi bukan sekadar urusan elektabilitas, apalagi jika dasarnya adalah popularitas. Proses demokrasi tidak akan menghadirkan ekpektasi akan adanya perubahan kehidupan lebih baik, kalau hanya mengedepankan popularitas dan mengesampingkan kapasitas keilmuan maupun moral.

Seorang filsuf bernama Plato bahkan pernah terang-terangan mengungkapkan kritiknya terhadap demokrasi sebagai sebuah sistem politik. Menurut pendapatnya, demokrasi tidak menjamin lahirnya pemimpin dengan kualitas terbaik untuk mengatur urusan publik.

Secara sederhana Plato menggunakan metafora kapal yang berisikan sekelompok orang. Di antara sekian banyak orang itu hanya satu yang memiliki keahlian di bidang navigasi kapal sedangkan yang lain buta navigasi tetapi merasa mampu mengemudi kapal. Akhirnya atas nama suara terbanyak, satu-satunya orang yang ahli navigasi tadi tidak terpilih karena tidak mendapat dukungan akibat kalah dari sisi popularitas

Sebagai kontestan politik, kaum milenial sangat diharapkan untuk bisa mewarisi predikat sebagai agen-agen perubahan yang idealis, tidak semata-mata mengandalkan kemudaan usia, popularitas diri maupun garis keturunan. Karena itulah pendidikan politik menjadi hal penting agar setiap calon pemegang kekuasaan memiliki kecerdasan intelektual, moral dan juga sosial.

Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik perlu terus didorong untuk melakukan rekrutmen politik secara terbuka dan pengkaderan berbasis kualitas. Selama kualitas yang menjadi standarnya, bisa diharapkan akan lahir politisi milenial yang memiliki gagasan progresif untuk mengubah kualitas hidup rakyat ke arah lebih baik.

Sebaliknya, jika rekrutmen dan kaderisasi dilakukan berbasis popularitas atau bahkan kekuatan finansial, proses politik yang terjadi akan menghasilkan pemegang kekuasaan yang tidak memiliki kapasitas dan berpeluang besar melakukan abuse of power.

Hadirnya generasi milenial berkualitas dalam kontestasi politik bisa memberikan angin segar untuk kemajuan bangsa dalam berdemokrasi. Rakyat akan memiliki alternatif calon pemegang kekuasaan yang visioner dan bermoral dalam daftar preferensinya. Proses demokrasi tidak hanya diwarnai aksi-aksi politik yang terkadang tidak genuine. Lebih penting lagi, demokratisasi tidak lagi bermuara pada hadirnya kekuasaan oligarkhis.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: