Netralitas Harga Mati

Panglima TNI menjamin segenap jajaran TNI (AD, AL, dan AU) akan bersikap netral dalam “mengawal” Pemilu (dan Pilptres) 2024. Bahkan ditegaskan, netralitas TNI menjadi “harga mati.” Sesuai amanat UU tentang TNI, nyata-nyata meng-amanat-kan TNI tidak berpolitik praktis, dan tidak berbisnis. Namun Komisi I DPR-RI tetap membentuk Tim Panitia Kerja (Panja) khusus tentang Netralitas dalam Pemilu. Begitu pula Komisi III DPR-RI (bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) membentuk Tim Panja Netralitas Polri.

Netralitas TNI, dan Polri, menjadi perbincangan luas. Walau sebenarnya “netralitas” TNI merupakan mandatory undang-undamng (UU). Juga terdapat di dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI. Namun masyarakat masih meng-anggap perlu pengawalan khusus Lembaga politik tertinggi (DPR). Maka berbagai Panja DPR-RI dibentuk dalam rangka menepis kke-khawatiran public terkait netralitas prajurit. Panja “netralitas” TNI, juga diisi personel dari BIN, BSSN, Kemenkominfo, dan KPI.

Netralitas Pemilu 2024, terasa sangat dikhawatirkan. Konon, banyak politisi telah “mengendus” potensi ke-tidak netral-an. Padahal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, netralitas sudah dirinci. Beberapa pihak, secara kelembagaan dan perorangan, dilarang mengikuti kampanye Pemilu, dan Pilpres. Tercantum dalam pasal 280 ayat (2). Termasuk di dalamnya Kepala Desa, perangkat desa, ASN (Aparatur Sipil Negara), TNI, dan Polri.

Hukuman terhadap pelanggaran pasal 280 ayat (2), tercantum dalam pasal 494. Dinyatakan, “Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Desa, perangkat desa, dan/ atau anggota Badan Permusyawaratan Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama I (sahr) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”

Panglima Jenderal Agus Subiyanto, sudah berjanji akan menjaga netralitas TNI. Akan berlaku hukuman umum (pidana), dan hukuman disiplin TNI. Penegakan netralitas merupakan bagian dari jargon visi “PRIMA.” Yakni akronim dari, TNI yang profesional, responsif, integratif, modern, dan adaptif. Hampir seluruh visi “PRIMA” akan diperlukan dalam tugas strategis, terutama menghadapi Pemilu 2024. Setidaknya dalam dua kali Pemilu (tahun 2014, dan 2019), netralitas TNI tetap terjaga.

Kukuh dalam melaksanakan seluruh hukum, juga menjadi kewajiban segenap personel TNI. Tercantum UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam konsideran Menimbang, huruf d, dinyatakan “bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun … mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi,… .”

Jenderal Agus Subiyanto (berusia 56 tahun pada Agustus 2023), telah menjalani berbagai posisi, termasuk sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (tahun 2020-2021). Sebelumnya juga pernah menjabat Komandan Kodim 0735 Surakarta, bersamaan dengan Ir. Joko Widodo, sebagai Walikota Surakarta. Juga bersamaan dengan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sebagai Kapolres Surakarta. Sehingga urusan keamanan, ketertiban negara, dan netralitas TNI, dan Polri, sudah biasa terjalin dengan Prsiden Jokowi.

TNI dan Polri, juga memiliki tugas “melayani” kepentingan rakyat, sebagai operasional militer selain perang. Termasuk mengawal tahapan Pemilu, dan Pilpres sampai selesai. Dengan kepastian jaminan (yang kuat) netralitas. Sesuai “Jati diri” TNI sebagai mandatory (perintah) konstitusi. Karena antara rakyat, TNI, dan Kepolisian RI, sama-sama memikul tanggungjawab dalam Sistem Hankam Rakyat Semesta.

Netralitas patut menjadi harga mati. Berdasar pengalaman beberapa dekade silam, ke-berpihak-an TNI bisa menjadi keterbelahan TNI, dan keterbelahan sosial sangat luas.

——– 000 ———

Rate this article!
Netralitas Harga Mati,5 / 5 ( 1votes )
Tags: