Oposisi PKS dan Keniscayaan Demokrasi

Umar Sholahudin

Milad PKS ke 19 (20 April 2021)

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya, Kandidat Doktor FISIP Unair Surabaya

Meskipun sempat dilanda “badai politik”, dengan eksodusnya para petinggi partai : Anis Matta, dkk, yang kemudian mendirikan partau baru : Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), namun tidak terlalu berpengaruh pada tingkat elektabiltas Partai Keadilan Sejahtera (PKS. Pada Pemilu 2019 lalu, PKS meraup suara 8,21%. Angka ini bahkan lebih tinggi dibanding pemilu 2014, yang meraap 6,79%. Pada Pemilu 2019, PKS adalah salah satu partai dengan tingkat pertumbuhan politiknya cukup signifikan dibanding partai-partai lainnya. Pada Pemilu Presiden 2019, PKS mengusung Prawobo-Sandi dan kalah. Pasca Pemilu 2019, PKS memutuskan sikap politiknya dengan oposisi.

Sikap politik oposisi ini diambil, mengingat enam dari sembilan partai tidak terlibat atau bergabung dengan partai koalisi pemerintahan Jokowi-Makruf, termasuk partai Gerindra yang tokohnya, Prabowo, didapuk menjadi Menhan. Jika dikalkulasi, partai koalisi pemerintahan Jokowi mendapatkan suara mayoritas di Parlemen, yakni hampir 80%. Tepatnya 78 persen (448 kursi) dan oposisi hanya memiliki kekuatan sebesar 22 persen. Dengan dukungan kekuatan parlemen yang super jumbo, maka pemerintahan Jokowi-Makruf akan sangat mudah untuk membuat dan mengeksekusi kebijakan-kebijakannya. Sebaliknya bagi kekuataan oposisi, tidak akan berimbang dan efektif dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintahan.

Besarnya kekuatan koalisi dan minimnya jumlah kekuatan oposisi di parlemen akan berpotensi besar terhadap hadirnya pemerintahan otoritarianisme. Pemerintahan tanpa kontrol dan kritik. Dengan modal dukungan parlemen yang sangat besar tersebut, Jokowi-Makruf bisa saja membuat dan mengekskekusi kebijakan-kebijakan “semau gue”. Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh kelompok pro demokrasi. Pemerintahan “Orde Baru” akan lahir dengan wajah baru. Dan dampaknya lanjutannya, ini sangat berbahaya dan akan mengancam kehidupan demokrasi Indonesia.

Oposisi PKS dan Keniscayaan Demokrasi

Dalam demokrasi; oposisi adalah sebuah keniscayaan. Hadirnya kelompok dan kekuatan oposisi (baik di parlemen maupun di masyarakat) sangat dibutuhkan untuk menghindarkan bangsa ini kembali ke rezim otoriatarianisme. Demokrasi mesti butuh oposisi, sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol kebijakan dan jalannya pemerintahan. Kekuatan oposisi merupakan salah satu pilar demokrasi yang memilki peran sangat strategis, di samping sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol, juga memiliki peran dalam upaya memberdayakan dan mendidik secara politik potensi masyarakat. Praktik depolitisasi dan deparpolisasi yang berlangsung selama 32 tahun yang dijalankan Orde Baru telah menjadikan rakyat tidak berdaya secara intelektual (baca: kritis) dan politik dan demokrasi tak bisa berkembang dengan baik dan sehat. Kekuatan rakyat hanya dimanfaatkan dan dipermainkan oleh rezim berkuasa untuk memproduksi dan mempertahankan kekuasaannya. Ini yang kemudian memunculkan performance pemerintahan yang otoriter dan sentralistik. Sebaliknya pada saat yang sama terjadi pengkuburan demokrasi.

Kekuatan oposisi jangan sampai menyusut, karena jika menyusut, maka itu akan dapat menguburkan demokrasi, memunculkan otoritarianimse baru. Karena, ketika negara tidak ada kekuatan kontrol (baca:oposisi), negara akan semakin kuat. Sejarah orde baru kiranya bisa dijadikan sebagai pelajaran. Ketiadaan oposisi menjadikan negara menjadi kuat, kekuasaan semakin mengerucut pada satu orang atau sekelompok elit.

Sikap politik yang diambil PKS (baca: oposisi), setidaknya bisa menyelamatkan bangsa ini jatuh pada jurang demokrasi yang lebih dalam. Dalam negara demokratis, secara fatsun politik, parpol yang kalah dalam Pemilu otomatis menjadi partai oposisi atau menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang atas Parpol penguasa.

Dalam konteks ini, langkah politik PKS dapat disebut sebagai langkah politik sangat elegan dan lebih bermartabat daripada berkoalisi. Namun demikian, oposisi PKS, secara kuantitas sangat lemah sehingga akan kurang efektif untuk mengontrol kekuasaan presiden dan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan, khususya di palemen. Namun bukan berarti tidak bisa dilakukan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh PKS. Jika sikap oposisi PKS dilakukan secara konstruktif dan konsisten, maka oposisi PKS tidak hanya untuk menjaga nalar demokrasi yang sehat, tetapi secara politik dapat mendatangkan berkah politik bagi PKS. Salah satunya adalah insentif elektoral.

Insentif Elektoral

Sikap politik oposisi PKS yang dijalankan selama ini, setidaknya telah membuahkan hasilnya saat ini, yakni tingkat elektabilitasnya mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Sejak 2020 lalu, beberapa lembaga survei seperti LSI, Voxpol, Charta Politca, dan Litbang Kompas, secara berkala me-release elektablitas partai-partai. PDI-P masih menjadi partai nomor wahid. Dari survei-survei tersebut, menempatkan PKS pada posisi lima besar. Sebut saja misalnya, survei Litbang Kompas februari 2021 lalu, menempatkan PKS (5,4%) diurutan ke empat di bawah PKB (5,5%), Voxpol menyebut 7,6%, LSI menyebut 8,15, dan Charta Politica menyebut Juli 2020 : 8,1%, dan 2021 triwulan I : 8,2%). Dari data-data tersebut, para Pollters, menyebut PKS merupakan satu-satunya partai yang memiliki grafik elektabilitas yang meningkat dibandingan dengan partai lainnya.

Selama ini, PKS dinilai publik cukup konsistens dalam menyuarakan sikap oposisinya. Hal ini bisa dilihat dari sikap kritisnya terhadap isu-isu aktual dan kontroversial, di antaranya RUU KPK, RUU KUHP, RUU Cipta Kerja, Perppu Covid-19, dan beberapa kebijakan pemerintah lainnya yang dinilai tidak sejalan dengan aspirasi rakyat. Namun demikian, insentif elektoral PKS ini tidak hanya berkah dari sikap politik oposisinya, melainkan juga karena soliditas internal organsasi dan sepak terjang di masyarakat. Perubahan logo partai yang lebih fressh, dan jargon baru yang lebih membumi; “Bersama Melayani Rakyat”, dipercaya semakin menguatkan elektabilitas partai. PKS juga dinilai publik partai yang cukup konsisten menjaga citra partai yang simpatik dan santun. Masyarakat tertarik bukan karena nilai figuritas yang ditonjolkan partai, namun lebih karena faktor konsistensi dan kolektivitas partai dalam membangun citra diri dengan slogan “Bersama Melayani Rakyat”. Ini bukan hanya basa-basi politik saja.

Berbagai kegiatan peduli sosial terus dilakukan PKS, baik pada saat Pemilu maupun di luar Pemilu. Selamat Milad ke 19, semoga PKS menjadi partai yang amanah, harapan dan dambaan masyarakat Indonesia.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: