Pemeran Film Bermuatan Pornografi, Pelaku atau Korban?

Oleh :
Moch Choirul Rizal
Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah IAIN Kediri.

Penyidikan dalam kasus film yang diduga bermuatan pornografi di Jakarta Selatan masih berlangsung. Beberapa hari terakhir, penyidik telah memeriksa sebagian pemeran dalam film dewasa itu.
Mereka yang telah diperiksa penyidik kompak menyebut dirinya sebagai korban. Serangkaian kata dan perbuatan sang produser, Irwansyah, dinilai telah berhasil menipudaya mereka.

Kriminalisasi Objek atau Model Pornografi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi melarang 33 perbuatan terkait pornografi. Perbuatan-perbuatan tersebut dirumuskan dalam sepuluh pasal. Mulai dari Pasal 29 hingga Pasal 38.

Pasal 8 UU No. 44 Tahun 2008 melarang setiap orang untuk menjadi objek atau model pornografi. Menurut Pasal 34 UU No. 44 Tahun 2008, pelakunya dapat diancam pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah.

Rumusan Pasal 8 UU No. 44 Tahun 2008 adalah “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Dari rumusan ini, ada empat bentuk tindak pidana yang perlu ditelaah.

Pertama, frasa “dengan sengaja menjadi objek yang mengandung muatan pornografi”. Unsur “dengan sengaja” dapat diartikan bahwa inisiatif melakukan tindak pidana ada pada diri pelaku.

Risalah penjelasan penyusunan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memberikan pengertian terhadap kata sengaja (yang dalam bahasa Belanda disebut “opzet/dolus”). Yaitu, sengaja melakukan suatu kejahatan adalah melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui (Leden Marpaung, 2008: 13).

Dalam doktrin hukum pidana, sengaja itu ada tiga bentuk. Ada sengaja sebagai maksud. Lalu, sengaja sebagai kepastian. Juga, sengaja sebagai kemungkinan. Ketiganya memiliki derajat yang sama, yaitu sengaja.

Penempatan unsur “dengan sengaja” sebelum unsur-unsur yang lain bukanlah tanpa makna. Dengan penempatan demikian, unsur “menjadi objek yang mengandung muatan pornografi” harus dilakukan dengan sengaja, yaitu dikehendaki dan diketahui oleh pelaku.

Lalu, unsur “menjadi objek”. UU No. 44 Tahun 2008 tidak memberikan penjelasan. Menurut Adami Chazawi (2016: 175), kata “menjadi objek” dalam konteks Pasal 8 jo Pasal 34 UU No. 44 Tahun 2008 adalah yang sebelumnya “bukan objek” berubah “menjadi objek” yang “mengandung muatan pornografi”.

Kata “objek” tersebut di atas harus dihubungkan dengan unsur “yang mengandung muatan pornografi”. Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008 telah memerinci isi atau muatan pornografi secara limitatif (Adami Chazawi, 2016: 177).

Kedua, frasa “dengan sengaja menjadi model yang mengandung muatan pornografi”. Perbedaan pemaknaan terhadap tindak pidana bentuk yang kedua ini hanya pada kata “model”. Seperti halnya kata “objek”, “model” harus dihubungkan dengan unsur “yang mengandung muatan pornografi” sebagaimana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008.

Ketiga, frasa “atas persetujuan dirinya menjadi objek yang mengandung muatan pornografi”. Unsur “atas persetujuan dirinya” dapat dimaknai bahwa inisiatif untuk menjadi objek yang mengandung muatan pornografi berasal dari subjek hukum yang lain. Namun, tetap saja, keadaan tersebut merupakan perwujudan pengetahuan dan kehendak pelaku.

Penempatan unsur “atas persetujuan dirinya” sebelum unsur-unsur yang lain dapat dimaknai sebagaimana ulasan sebelumnya terkait unsur “dengan sengaja”. Dengan penempatan demikian, unsur “menjadi objek yang mengandung muatan pornografi” harus dilakukan atas persetujuan dirinya, yaitu dikehendaki dan diketahui oleh pelaku.

Keempat, frasa “atas persetujuan dirinya menjadi model yang mengandung muatan pornografi”. Perbedaan pemaknaan terhadap tindak pidana bentuk yang kedua ini hanya pada kata “model”. Seperti halnya, kata “objek”, “model” harus dihubungkan dengan unsur “yang mengandung muatan pornografi” sebagaimana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008.

Pelaku atau Korban?
Adami Chazawi (2016: 169) memberikan tiga keadaan penting untuk membuktikan unsur sengaja dalam rumusan tindak pidana, khususnya terkait pornografi. Tiga hal tersebut menjadi penting untuk menentukan kapasitas para pemeran: pelaku atau korban?

Pertama, hubungan unsur “sengaja” dengan unsur yang lain. Perlu untuk digali pengetahuan dan kehendak para pemeran film dewasa itu. Dalam hal ini, bukan soal para pemeran dijanjikan film itu legal atau illegal, misalnya. Namun, sejauh mana pengetahuan mereka tentang adegan dalam film itu yang bermuatan pornografi hingga membuat keputusan untuk berperan, termasuk menerima bayaran.

Kedua, keadaan jiwa pembuat ketika berbuat. Dalam kasus tersebut, perlu untuk memastikan bahwa para pemeran mampu atau tidak dalam menentukan kehendak. Termasuk, bagaimana ekspresi para pemeran ketika memerankan perannya dalam durasi waktu tertentu. Tentu, kehendak itu berkaitan dengan “menjadi objek atau model yang bermuatan pornografi”.

Ketiga, semua keadaan ketika perbuatan dilakukan. Merujuk pendapat Adami Chazawi (2016: 174), keadaan waktu serta tempat ketika para pemeran film tersebut menjadi objek atau model, alat yang digunakan, cara alat digunakan, dan lain sebagainya menjadi penting untuk menentukan ada kesengajaan atau tidak.

Memang, vonis sebagai pelaku tindak pidana adalah wewenang hakim. Tapi, pintu masuknya dari penyidikan yang dilakukan penyidik. Pasalnya, penetapan seseorang menjadi tersangka untuk kemudian dapat diadili di pengadilan menjadi wewenang korps baju coklat.

Oleh karena itu, penyidik harus hati-hati dan cermat dalam melakukan penyidikan. Penetapan tersangka harus berbasis pada minimal dua alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana. Juga, keilmuan hukum pidana dan yang mendukungnya. Kita tunggu!

———– *** ————

Tags: