Petugas Pemilu Jadi Korban, Apa yang Salah?

Oleh:
Hendrik Kurniawan
Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS)
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya

Indonesia baru saja selesai melaksanakan pesta demokrasi yakni pemilu serentak untuk memilih wakil rakyat, yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota. Pemilu serentak ini bukan pertama kali dilakukan di Indonesia, namun juga pernah dilakukan pada tahun 2019. Setiap pelaksanaan pemilu serentak isu yang muncul selalu sama yakni banyaknya jumlah korban petugas pemungutan suara yang begitu banyak. Apakah ada yang salah dengan pelaksanaan pemilu serentak 2024?

Meskipun jumlah korban yang meninggal jika dibandingkan dengan jumlah petugas TPS yang meninggal pada tahun 2019 tak sebanyak jumlah korban yang meninggal pada tahun 2024, namun korban yang meninggal setelah pelaksanaan pemilu 2024 ini masih tergolong sangat banyak. Menurut ketua KPU Hasyim Asy’ari sampai detik ini setidaknya ada sebanyak 90 korban yang meninggal dunia, yang terdiri dari 60 orang anggota KPPS, dan petugas ketertiban sebanyak 30 orang. Dugaan sementara penyebab meninggalnya petugas TPS adalah karena kelelahan dan memiliki penyakit bawaan seperti darah tinggi dan diabetes melitus.

Menurut hemat kami, itu sangat wajar jika para petugas TPS sangat kelelahan, sebab pada saat pelaksanaan tenaga dan pikiran petugas sangat diforsir yang kerjanya mulai pagi sampai ketemu besok paginya. Belum lagi ketika pelaksanaan pemilu yang TPS nya berada di pedalaman yang akses keluar masuknya logistik perlu effort yang lebih dan pasti itu sangat melelahkan bagi petugas.

Untuk mengetahui penyebab itu semua apakah ada yang salah dalam proses pelaksanaannya? Itu semua bisa kita lihat mulai dari pelaksanaan proses seleksi petugas TPS dan teknis lainnya. Jika kita melihat proses rekrutment pada tahap pendaftaran sudah cukup baik, ada salah satu berkas yang harus dilengkapi yakni surat keterangan sehat. Surat keterangan sehat ini digunakan agar panitia tau bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai penyakit bawaan yang dapat menyebabkan kematian dan syarat ini masih bisa dipertahankan untuk pemilu selanjutnya.

Pada tahun ini petugas KPPS masih di dominasi oleh sebagian besar anak-anak muda sedangkan linmas (petugas keamananan TPS) masih didominasi usia 30 tahun an ke atas. Meskipun sebagian anak muda yang bertugas sebagai KPPS namun masih ada yang usia nya sudah tergolong tua yang juga memiliki penyakit bawaan misalnya seperti darah tinggi dan penyakit metabolisme yang lolos sebagai KPPS ataupun Linmas yang berpotensi dapat menyebabkan kematian jika terjadi kelelahan.

Pembatasan jumlah DPT dalam TPS juga menjadi salah satu upaya KPU agar proses penghitungan lebih cepat. Setiap TPS hanya diperbolehkan maksimal 300 orang yang mencoblos dalam satu TPS. Dengan adanya sebuah pembatasan ini diharapkan petugas lebih cepat dalam proses penghitungan. Namun yang terjadi adalah proses penghitungannya sangat lama, sebab yang dicoblos bukan hanya satu presiden dan wakil presiden saja, namun ada 5 surat suara yang harus dicoblos. Belum lagi ditambah dengan rumitnya proses penghitungan yang membutuhkan ketelitian dan masih ada beberapa anggota KPPS yang belum memahami bagaimana cara penghitungannya sebab mayoritas KPPS pada tahun ini mayoritas banyak yang ganti, idealnya KPPS lama yang sudah pengalaman setidaknya harus ada 2-3 orang dan sisanya bisa di isi orang-orang baru untuk regenerasi. Pada tahun ini di desa saya sangat kesulitan mencari KPPS karena pemilu pada tahun ini tidak bertepatan dengan hari liburnya mahasiswa dan orang-orang yang tua-tua sudah tidak tertarik lagi menjadi anggota KPPS karena rumitnya proses penghitungan menggunakan sirekap.

Banyaknya korban yang meninggal bukan berati pemerintah abai dan melalaikan. Namun ada kewajiban pemerintah yang harus di tunaikan untuk memenuhi hak-hak keluarga korban. Hak-hak yang harus didapatkan oleh para keluarga korban sebagaimana PKPU pemilu adalah bahwa setiap korban yang meninggal akan mendapatkan santunan sebesar 36 juta dan biaya pemakaman 10 juta. Sementara jika cacat permanen saat bertugas maka akan mendapat santunan sebesar 30.8 juta dan apabila luka ringan sebesar 8.25 juta dan luka berat sebesar 16.5 juta.

Bagaimana teknis proses pemilu yang baik?
Demokrasi Indonesia yang masih terbilang muda ini tentunya kita harus mencari formulasi yang tepat agar nanti kedepannya tidak ada lagi korban yang meninggal dunia akibat kelelahan pada saat menjadi petugas KPPS. Yang perlu diperhatikan adalah perlu meninjau dan mengevaluasi apakah pemilu serentak ini baik dari sisi pelaksanaannya? Menurut kami, dari segi jumlahnya sudah pas, ada sebanyak 5 surat suara sekaligus yang harus dicoblos untuk menghemat anggaran negara. Namun dari segi teknis juga harus diperhatikan. Termasuk dalam proses penghitungan yang memakan waktu sangat panjang dan lama karena minimnya pengalaman anggota KPPS disetiap TPS dan pembatasan maksimal 300 DPT setiap TPS masih kebanyakan.

Dari segi teknis bisa dilakukan dengan cara mengurangi jumlah DPT yang mencoblos setiap TPS misalnya maksimal hanya 200 agar pencoblosan bisa ditutup lebih awal pada jam 13.00 (lebih awal dari biasanya), maka itu bisa lebih mempermudah anggota KPPS, meskipun negara juga dibebankan membengkaknya anggaran karena otomatis perlunya penambahan anggota KPPS namun justru itu bisa meminimalisir adanya korban yang meninggal sebab negara punya kewajiban untuk melindungi warga negaranya. Dari segi usia memang petugas KPPS sudah ada pembatasan yang tertuang di dalam PKPU No. 8 Tahun 2022 yakni usia 17-55 tahun. Namun selain itu juga harus ada perketat an soal proses pengecek an kesehatan dan wajib dipastikan yang bersangkutan tidak ada riwayat penyakit bawaan yang dapat membahayakan, sebab nyawa tidak bisa ditumbalkan demi demokrasi.

——– *** ———-

Tags: