Potret Paradoks Pendidikan

Judul : Angelique Bidadari Cinta Dua Kota Suci
Penulis : Yahya Komarudin dan Angelique de La vega Yans
Penerbit : Lintas Nalar
ISBN : 9786235517230
Jumlah halaman : 654 halaman
Peresensi : Muharsyam Dwi Anantama, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung.

Teori mimesis dalam novel merujuk pada gagasan bahwa novel meniru atau merepresentasikan dunia yang sebenarnya atau kehidupan manusia melalui karakter, cerita, dan setting yang dibuat oleh pengarang. Dalam teori ini, novel dianggap sebagai sebuah cermin yang merefleksikan realitas sosial, politik, budaya, dan psikologis.

Dalam konteks novel, teori mimesis dapat diaplikasikan dalam beberapa cara. Misalnya, pengarang dapat menciptakan karakter-karakter yang merefleksikan kehidupan nyata atau menampilkan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pengarang juga dapat menciptakan setting yang realistis dan memasukkan detail-detail kehidupan sehari-hari dalam ceritanya. Dengan cara ini, novel dapat menjadi cermin yang memperlihatkan realitas manusia secara keseluruhan.

Melalui karakter-karakter dalam novel, pembaca dapat melihat bagaimana kehidupan manusia dihadapi, dirasakan, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang ada di sekitarnya. Dalam novel juga sering kali terdapat nilai-nilai moral, pesan-pesan, dan refleksi atas kehidupan manusia yang dapat menginspirasi pembaca untuk merenungkan dan mengambil hikmah dari cerita yang dibacanya.

Novel dan Interpretasi
Pengalaman kehidupan manusia yang direpresentasikan dalam karya sastra, salah satunya dapat dilihat dalam novel Angelique Bidadari Cinta Dua Kota Suci yang ditulis oleh Yahya Komarudin dan Angelique de La vega Yans. Tidak banyak novel di Indonesia yang ditulis oleh dua orang penulis. Salah satu novel Indonesia yang ditulis oleh dua penulis adalah novel Pangeran Dari Timur karya Iksana Banu dan Kurnia Effendi. Pada novel Pangeran Dari Timur, pembagian porsi tulisan cukup jelas karena novel ini terbagi menjadi dua bagian cerita. Sehingga, sangat mungkin satu penulis mengembangkan bagian cerita dan bagian cerita lainnya dikembangkan oleh penulis lain. Dalam novel Angelique Bidadari Cinta Dua Kota Suci tidak ditemukan adanya dua pembagian cerita secara jelas sehingga sulit untuk membedakan peran dua penulis terebut dalam novel ini.

Secara garis besar, novel Angelique Bidadari Cinta Dua Kota Suci berkisah tentang perjuangan dua orang tokoh yang mempunyai niat dan tekad kuat untuk bisa beribadah ke Tanah Suci. Atas berkat doa dan usaha yang keras, dua tokoh ini melampaui ketidakmungkinan untuk bisa pergi ke tanah suci. Impresi cerita semacam itu paling tidak terasa melalui pengantar dalam buku dan testimoni yang berada pada sampul belakang buku. Cerita semacam itu juga nampak betul pada sebagian besar isi novel. Namun, karya sastra adalah karya interpretatif yang memberikan kebebasan kepada pembaca untuk melihat dari sisi-sisi yang berbeda.

Sekolah dan Paradoksnya
Pada bagian awal cerita, diceritakan tentang bagaimana fenomena-fenomena yang tidak lazim dalam institusi pendidikan. Guru sebagai seorang pendidik yang seharusnya mencontohkan perilaku baik justru melakukan Tindakan tidak terpuji. Mereka menjatuhkan karakter peserta didik dengan mencari-cari kesalahan siswa seperti pada kutipan berikut.

“Dan sebaliknya barisan si antagonis. Terlihat baik di luaran, tetapi terang-terangan menjatuhkan anak didik setiap kali rapat. Dengan segenap daya upaya mencari cara agar dapat mengeliminasi yang tak disukai. Meski taka da alasan kuat atau pelanggaran berat yang dapat dijadikan tunggangan, sebisa mungkin mereka mengada-adakan.” (hlm 7)

Pada kutipan novel di atas, para guru yang disebut penulis sebagai barisan antagonis mencari cara agar dapat mengeliminasi peserta didik yang tak disukai. Perilaku ini mengindikasikan cara mereka untuk mencapai suatu tujuan. Mereka berbuat curang dan licik demi menggapai apa yang mereka inginkan. Cara atau tujuan licik tersebut terbukti dari cara mereka masuk sebagai guru seperti dalam kutipan berikut.

“Guru baru Angkatan kedua hasil rekrutmen ‘gaib’ baru saja menyampaikan unek-unek mengenai peserta didik yang tidak disukainya. Berdiri berkacak pinggang, kurang tenang, wajah merah padam, suaranya bergetar menahan luapan emosi sambal melirik ke beberapa guru yang seide dengannya.” (hlm 9).

Kata “gaib” mungkin merujuk pada fakta bahwa rekrutmen atau pemilihan guru tersebut tidak transparan atau tidak terbuka. Ini bisa berarti bahwa ada elemen-elemen rahasia atau kebijakan tertentu yang tidak diperlihatkan secara terbuka kepada semua orang dalam proses rekrutmennya. Sikap mereka menunjukkan sikap yang tidak mencerminkan diri seorang guru yang seharusnya menjadi panutan. Bahkan, pada beberapa bagian oknum guru tersebut berlaku kasar secara verbal maupun nonverbal.

“Dari beberapa sumber terpercaya kudapatkan informasi mengenai berbagai hukuman yang oknum guru ini lakukan. Hukuman fisik berupa pukulan, tendangan, bahkan pernah mengajak duel anak didik. Tak sungkan melontarkan ungkapan verbal yang menjurus hinaan dan masuk ranah pidana. Mencaci maki dan melabeli anak didik dengan berbagai macam nama hewan. Ditambah berbagai intimidasi lainnya.” (hlm 11).

Kutipan ini mengungkapkan berbagai tindakan yang dilakukan oleh oknum guru yang seharusnya bertanggung jawab atas pendidikan dan pengasuhan peserta didik. Oknum guru tersebut melakukan serangkaian hukuman yang mencakup berbagai bentuk penindasan. Tindakan tersebut melibatkan hukuman fisik, termasuk pukulan dan tendangan, yang jelas melanggar prinsip pendidikan yang aman dan peduli. Bahkan lebih mencengangkan, guru tersebut pernah mengajak duel anak didik, yang merupakan tindakan yang sangat tidak pantas dan berbahaya.

Tak hanya di ranah fisik, guru ini juga menggunakan kata-kata hinaan yang merendahkan serta melibatkan anak didik dalam perilaku yang masuk ranah pidana. Mereka mencaci maki dan merendahkan peserta didik. Tindakan ini jelas merusak harga diri dan kepercayaan diri peserta didik. Perilaku guru ini menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak aman, tidak mendukung, dan tidak sesuai dengan etika pendidikan yang baik.

Peristiwa-peristiwa di atas menjadi bagian yang menarik dan menggelitik dari novel Angelique Bidadari Cinta Dua Kota Suci. Ketidakadilan yang terjadi di lingkungan pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi pertumbuhan anak-anak, menimbulkan pertanyaan moral yang mendalam. Dengan begitu, novel ini bukan hanya sekadar novel religi seperti yang termuat dalam judulnya, tetapi juga menjadi cermin bagi pembaca tentang isu-isu penting yang berkaitan dengan etika, pendidikan, dan hak asasi manusia.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: