Pudarnya Apel dan Bersinarnya Jeruk

Oleh :
Jabal Tarik Ibrahim
Dosen Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Belanda memasuki daerah Batu pada tahun 1767 sejak mereka memasuki daerah Malang pada tahun itu juga. Bisa dibayangkan betapa indahnya pemandangan dan hawa udara pada saat itu. Begitu indahnya daerah Batu hingga menjulukinya menjadi De Klein Zwitserland (Swiss kecil). Swiss adalah sebuah negara di pegunungan di tengah eropa barat yang penuh perbukitan indah dengan industri jam atau arloji bermerk ternama di dunia. Pemandangan daerah Batu begitu mempesona.

Pada tahun 1874 daerah Batu dimasukkan dalam onderdistrict Sisir (onderdistrict semacam kecamatan) dari Kawedanan Penanggoengan (Batukita.com). Belanda tertarik dan terus berusaha memanfaatkan potensi kesuburan dan lingkungan indah daerah Batu. Belanda yang memanfaatkan perkebunan di daerah Batu mulai tahun 1767 sampai akhir penjajahan di Indonesia tahun 1945. Pada jaman itu, perkebunan kopi menjadi andalan Pemerintah Kolonial Belanda.

Pada jaman penjajahan belanda inilah tanaman Apel mulai didatangkan dan ditanam di sekitar daerah Batu, tepatnya tahun 1934 di sekitar Pujon. Hal ini dapat dilihat di sejarah apel di Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Subtropika. Pada tahun 1960-an, tanaman apel sudah menjadi tanaman rakyat yang menyebar sebagian besar daerah Batu sisi lereng Gunung Arjuno yang dapat dijumpai sampai sekarang.

Apel kemudian menjadi tanaman populer di Batu dan Malang. Perlahan-lahan menjadi tanaman maskot daerah Batu sehingga di pasar bahkan seluruh Jawa Timur semua apel lokal disebut apel Batu sampai saat ini. Apel menjadi tanaman kebanggaan masyarakat Apel. Tanaman subtropis ini menjadi tanaman eksotik Indonesia karena sebenarnya tanaman apel berasal dari daerah sub tropis seperti Eropa Barat, Eropa Timur, Amerika Utara, Asia Timur, dan China daratan. Anehnya apel dapat beradaptasi dan tumbuh di Indonesia khususnya di daerah Batu.

Eksotiknya apel mendorong orang ingin merasakannya. Lama kelamaan orang ingin mengetahui seperti apa pohonnya, bunganya, serta proses merawat tanamannya. Kemudian datanglah wisatawan domestik ke Batu untuk melihat apel dan menikmati indahnya alam perbukitan dan hawa sejuk yang membuai. Apel di Batu diabadikan dalam bentuk berbagai monumen sejak dahulu dan patung monumen apel yang terbesar bisa dijumpai di alun-alun Kota Batu saat ini. Apel menjadi salah satu objek wisata di Kota Batu sampai saat ini. Wisata petik apel, wisata belanja apel, wisata proses pembuatan sari apel, jenang apel, kripik apel, dan cuka apel. Pendek kata apel menjadi inti penggerak wisata Kota Batu (Apel as primer mover of tour).

Tingginya harapan kepada buah apel saat ini nampaknya perlu peninjauan ulang. Analisis terhadap data yang ada mengenai apel menunjukkan hal yang kurang menggembirakan. Antara tahun 2010 sampai tahun 2021, luas areal tanaman apel tertinggi pada tahun 2010 yaitu 2.617 hektar kemudian terus menurun hingga tahun 2019 tinggal 973 hektar. Jumlah tanaman apel tahun 2003 sebanyak 2.615 pohon, tahun 2004 sebanyak 2.603.086 pohon, perlahan mengalami penurunan sampai pada tahun 2019 tinggal ditemui 2.119.165 pohon. Kedua jenis data time series ini telah dianalisis trend oleh penulis dan disimpulkan mengalami slope negatif, artinya mengalami penurunan secara pasti.

Penurunan luas areal dan jumlah tanaman otomatis memberi dampak yang sama terhadap penurunan produksi apel. Produksi apel Kota Batu mengalami masa jaya dengan total produksi berkisar antara 1.235 kwintal sampai dengan 1.425 kwintal pada tahun 2005 dan 2009. Kondisi produksi mengalami penurunan sejak sejak tahun 2010 dengan total produksi 842.799 kwintal dan terendah tahun 2019 dengan total produksi hanya 505.252 kwintal.

Penurunan luas areal, jumlah tanaman dan jumlah produksi apel se Kota Batu disinyalir disebabkan oleh peningkatan temperatur akibat global warming, pembangunan perumahan rakyat, pembangunan hotel/villa/homestay yang berlebihan, ditambah tindakan-tindakan lain yang mengubah iklim mikro untuk agroklimatologi tanaman apel. Perawatan tanaman apel yang memerlukan biaya tinggi seperti biaya tenaga kerja, peningkatan harga pupuk non subsidi, peningkatan harga pestisida, dan peningkatan harga obat perangsang tumbuh daun dan bunga, juga menambah beratnya beban yang harus ditanggung petani apel. Harga apel impor yang diduga harga dumping menyebabkan harga apel impor menjadi murah dan dapat menjadi penekan harga apel Batu. Akibatnya, petani apel merasa tak bisa bersaing di rumahnya sendiri.

Kenaikan harga sarana produksi budidaya apel yang tinggi menyebabkan petani merawat tanaman apel kurang maksimal. Perubahan iklim seperti naiknya temperatur tahunan dan turunnya kelembaban udara tahunan menyebabkan input produksi ke tanaman apel juga tidak maksimal. Akibat hal ini adalah turunnya produktivitas apel per pohon. Pada tahun 2006 produktivitas apel Batu mencapai 29,70 kg per pohon. Produktivitas terus menurun dan tahun 2019 produktivitas apel hanya 14,72 kg per pohon. Uraian data kuantitatif dalam kurun waktu beberaoa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa tanaman apel mengalami masa memprihatinkan. Apel yang dulunya maskot kini harus mendapatkan perhatian untuk diselamatkan.

Jika tanaman apel mengalami penurunan baik jumlah tanaman, luas areal tanam, produksi, dan produktivitas per pohon, tidak demikian halnya dengan tanaman jeruk. Fenomena yang terjadi pada tanaman jeruk di Kota Batu merupakan antesis dari fenomena apel. Tanaman ini justru menunjukkan tanda-tanda positif, mengalami kenaikan dilihat dari berbagai indikator yang sama yaitu jumlah tanaman, luas areal tanam, produksi, dan produktivitas per tanaman.

Jumlah tanaman jeruk di Wilayah Kota Batu menunjukkan trend naik. Pada tahun 2012 hanya ada 170.418 pohon jeruk (keprok/siam) di seantero wilayah. Jumlah tanaman meningkat tajam dan mencapai 264.613 pohon di tahun 2020 (meningkat 55% dalam kurun waktu 8 tahun). Jumlah produksi jeruk di wilayah Kota Batu tahun 2012 hanya 88.515 kwintal, meningkat menjadi 251.335 kwintal di tahun 2020. Peningkatan jumlah produksi jeruk sebesar 182%, suatu kenaikan yanag luar biasa. Produktivitas jeruk juga menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Pada tahun 2012 setiap tanaman jeruk hanya mampu menghasilkan 51 kg/pohon dan pada tahun 2020 sudah mampu menghasilkan 94 kg/pohon. Dulu hanya dikenal wisata petik apel, saat ini berkembang wisata petik jeruk.

Indikator ini menunjukkan suksesnya petani jeruk melakukan penanaman, perawatan, dan teknis budidaya lainnya sehingga mencapai produksi yang sangat baik dilihat dari berbagai variabel ukuran. Suksesnya petani jeruk dipengaruhi oleh faktor sumber daya manusia petani yang unggul, agroklimat yang menunjang, dinas pertanian yang mendorong, balai penelitian yang selalu menghasilkan teknik baru di bidang perjerukan (Balitjestro), dukungan perguruan tinggi, tarikan pasar dari konsumsi buah jeruk yang meningkat, wisatawan agro yang meningkat, dan modal sosial masyarakat Kota Batu yang kondusif pada budidaya jeruk.

Kesuksesan petani dalam budidaya jeruk tentunya merupakan hal yang sangat baik dan perlu didukung oleh semua pihak agar tetap bertahan bahkan bisa berkembang lebih bagus lagi. Pemerintah Kota Batu, pelaku bisnis jeruk, pelaku wisata jeruk, pedagang sarana produksi jeruk, para pemodal dan lembaga permodalan, masyarakat desa setempat, dan perguruan tinggi perlu melakukan aktivitas yang sinergis untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas jeruk. Bersamaan dengan ini pula perlu langkah-langkah penyelamatan dari berbagai stakeholder di atas untuk mempertahankan maskot Kota Batu yaitu tanaman apel agar tetap bisa dinikmati produksinya dan keuntungan ekonominya lainnya seperti keuntungan agrowisata petik apel, wisata edukasi pemrosesan sari apel dan olahan apel lainnya.

Diperlukan regulasi yang dapat mempertahankan tanaman apel di Batu, misalnya bantuan bibit, bantuan pupuk (karena apel tidak ada di daftar komoditas yang disubsidi pupuknya), bantuan pestisida dan ZPT, dan bimbingan teknis produksi pupuk organik asli Batu untuk petani apel.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: