Roadmap Kemakmuran Menaikkan APBD 25 Persen

Menyambut Hari Jadi Jawa Timur ke-77

Oleh:
Yunus Supanto
Wartawan Senior P:egiat Dakwah Sosial Politik

Jawa Timur tetap menjadi penyokong ekonomi nasional selama 77 berturut-turut. Terutama menyokong ketersediaan pangan, dan kedamaian sosial. Begitu pula dalam kedaulatan awal kenegaraan (sejak tahun 1945), Jawa Timur menjadi penentu kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan masyarakat melalui aksi perang 10 November, yang sangat heroik, dan dikenang dunia. Sampai saat ini aksi masyarakat tetap meng-gelora mewujudkan kemakmuran. Tercermin dalam pertumbuhan ekonomi sebesar 5,74%.
Tahun (2022) ini perekonomian Jawa Timur masih terguncang dampak pandemi. Ditambah wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyerang sapi, kerbau dan kambing. Bahkan tercatat sebagai “zona merah” paling banyak. Sendi-sendi perekonomian di perdesaan nyaris frustasi karena PMK. Karena aset dan investasi keluarga pedesaan (berupa ternak berkuku dua) jeblok. Dalam keadaan sakit, harga sapi yang biasa senilai Rp 15 juta, hanya ditawar Rp 2 juta. Tak jarang harus dipotong bersyarat, dan potong paksa.
Wabah PMK yang menyebar sangat cepat, sudah diprediksi sejak awal (sesuai sifat virus). Tetapi tidak diikuti penanganan yang cepat pula. Seperti diduga pula, tingkat kematian hampir 5%. Panen hasil ternak pada masa Idul Ad-ha, menjadi kegagalan paling menyedihkan. Karena bersamaan dengan puncak wabah. Bahkan masyarakat ragu-ragu mengkonsumsi daging sapi. Padahal sudah dijamin aman, walau sapi yang disembelih tertular PMK. Asalkan daging dimasak dalam suhu lerbih dari 80 derajat Celsius.
Anggaran menjadi masalah lain dalam penanganan wabah PMK. Tetapi sebenarnya UU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, telah meng-garansi. UU pada pasal 46 ayat (2), menyatakan, “Dalam hal suatu wilayah dinyatakan sebagai daerah wabah, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten atau kota wajib menutup daerah tertular, … serta pengalokasian dana yang memadai di samping dana Pemerintah.”
Nyata-nyata terdapat frasa kata “pengalokasian dana yang memadai” bisa disepakati bersama DPRD propinsi, serta kabupaten dan kota dalam Perubahan APBD 2022. Tetapi seluruh Pemkab dan Pemkot ragu-ragu (khawatir berurusan dengan Tipikor), sehingga memperlambat penanganan. Sampai terbit Keputusan Menteri Pertanian (Kepmen) Nomor 518 Tahun 2022. Sapi (dan kerbau) yang mati akan memperoleh ganti rugi sebanyak Rp 10 juta per-ekor. Serta kambing (dan domba) diberi ganti rugi sebesar Rp 1,5 juta.

Petani Naik Haji
Pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) juga perlu memberi ganti rugi biaya perawatan dan pengobatan hewan ternak yang sakit, dari anggaran APBD. Sharing dengan alokasi APBN untuk mengganti ternak yang mati. Namun sesuai amanat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, juga di-amanat-kan bantuan pinjaman lunak permodalan. Pada pasal 69 ayat (2), dinyatakan, “Korban bencana yang kehilangan mata pencaharian dapat diberi pinjaman lunak untuk usaha produktif.”
Pemerintah masih patut menyediakan bantuan permodalan untuk memulai kembali suasana peternakan yang lebih baik. Selaras dengan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan meng-amanat-kan fasilitasi. Dalam pasal 32 ayat (1), dinyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah … berkewajiban mendorong agar sebanyak mungkin warga masyarakat menyelenggarakan budidaya ternak … .” Banyak amanat model fasilitasi peternakan. Antara lain Pasal 36 ayat (1) fasilitasi kegiatan pemasaran ternak dan produk ternak.
Kepedihan (ekonomi) mendalam di pedesaan, membawa trauma beternak asapi. Tidak mudah mengembalikan semangat kembali beternak, seperti di-amanat-kan UU Nomor 41 Tahun 2014 (Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2009) Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sampai pemerintah bisa menjamin ketersediaan vaksin, dan obat-obatan PMK. Seperti dahulu (tahun 1990) Indonesia telah dinyatakan bebas PMK Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office Internatuonal des Epizooties – OIE).
Saat ini di Jawa Timur tercatat memiliki sapi sebanyak 4,9 juta ekor sapi (27% populasi nasional). Sehingga dibutuhkan sekitar 10 juta dosis vaksin (untuk dua kali suntik) mewujudkan herd immunity kehewanan. Pusat Veteriner Farma juga patut bekerja keras, segera kembali memproduksi vaksin PMK. Mayoritas penduduk Jawa Timur berprofesi sebagai petani (sekaligus peternak) dan nelayan.
Maka simbol kemakmuran, harus tergambar (sebagai indikator) adalah tingkat kesejahteraan petani dan nelayan. Indikasi itu sebenarnya telah nampak. Yakni, bahwa mayoritas jamaah haji selama dua tahun terakhir adalah petani dan nelayan. Berbeda dengan kondisi tiga dekade lalu, hanya kalangan pedagang (kelas menengah dan saudagar besar) yang mampu menunaikan haji. Indikator kesejahteraan petani dan nelayan sangat penting. Sekaligus sebagai ukuran keberhasilan pemerintahan propinsi.

Mendongkrak APBD
Patut diakui, Jawa Timur telah semakin menuju kemakmuran. Terutama selama dua dekade terakhir (dua gubernur) kinerja daerah diatur dalam dua UU tentang Pemerintahan Daerah, dengan ke-khusus-an otonomi. Maka kebijakan pemerintahan daerah sangat dipengaruhi oleh “kecerdasan” (dan inovasi) kepala daerah. Keadaan Jawa Timur telah jauh berbeda dengan era kepemimpinan pertama oleh Gubernur RM Soerjo.
Dulu, dalam suasana transisi kenegaraan tahun 1945, belum ada APBD. Belum ada gaji pegawai pemerintah propinsi. Hari awal berkantornya gubernur, Raden Mas Tumenggung Soerjo, 12 Oktober 1945, dicatat sebagai hari jadi Propinsi Jawa Timur. Hari pertama Gubernur (yang pribumi) masuk kantor, bukan hal yang menyenangkan. Gaji gubernur beserta seluruh staf, dihitung dengan standar hidup susah. Tetapi gedung kantor Gubernur (grahadi) sudah dimiliki. Sebagai modal penting untuk menggerakkan roda pemerintahan pada zaman awal kemerdekaan.
Keadaan saat ini telah jauh berbeda. APBD Jawa Timur (tahun 2022) mencapai Rp 33,470 trilyun. Dan pegawai-nya konon, memiliki penghasilan tergolong tinggi pada tataran PNS pemerintah propinsi se-Indonesia. Diharapkan seluruh pegawai (dan pejabat) bisa bekerja profesional. Namun tetap tidak mudah meng-elegan-kan Jawa Timur, terutama “beban” menyangga lumbung pangan nasional. Ironisnya, hingga kini indeks NTP (Nilai Tukar Petani) masih berkisar pada angka 103,33. Artinya, saat ini usaha ke-pertani-an, tergolong tertinggal. Infeseable, petani rugi.
Terbukti, sampai saat ini, juga tidak mudah memimpin daerah propinsi dengan penduduk lebih dari 41 juta jiwa. Motto Jer Basuki Mawa Bea (kesejahteraan diperjuangkan dengan bekal memadai), masih harus terus dikumandangkan. Pada usia ke-77, Jawa Timur memang sudah nampak makmur. Tetapi bukan berarti pemerintah propinsi telah berprestasi. Melainkan hasil kerja keras seluruh rakyat Jawa Timur. Pemerintah propinsi patut mengiringi kerja keras masyarakat dengan memperbesar APBD.
Berdasar optimisme pimpinan staf pegawai Pemprop (Sekretaris Daerah), sesungguhnya masih terdapat potensi penghasilan “tersembunyi” yang bisa digali. Masih diperlukan kerja lebih keras seluruh aparat pemerintah propinsi Jawa Timur. Terutama “mendongkrak” APBD sampai 100% dalam 3 tahun. Sehingga APBD Jatim tahun 2025 bisa mencapai Rp 60-an trilyun. Bukan ke-mustahil-an, melainkan tantangan.
Defisit besar menjadi keniscayaan. Tetapi “pasti” bisa ditutup dengan penghematan rutin (biasa sampai 9%), serta Silpa setahun silam (juga sekitar 9%). Kalau masih kurang, bisa ditambah dengan utang. UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, memberi plafon utang daerah sampai 3% PDRB (setara Rp 20-an trilyun).
APBD yang lebih besar akan menambah berbagai program fasilitasi usaha rakyat. Termasuk pembangunan infrastruktur perekonomian, antaralain, menambah pelabuhan, dan fasilitasi pemasaran produk lokal. Serta hilirisasi produk pertanian. Jargon Nawa Bhakti Satya, masih memerlukan inovasi sistemik, dan masif.

——— 000 ———

Tags: