Rasionalitas Fikih Keperempuanan

Judul Buku : Fikih Perempuan dan Isu-Isu Keperempuanan
Kontemporer dalam Islam
Penulis : Luciana Anggraeni, dkk.
Penerbit : Deepublish, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2022
Tebal : 135 halaman
ISBN : 978-623-02-4439-1
Peresensi : Ahmad Fatoni, Pengajar Fakultas Agama Islam UMM

DISKURSUS tentang perempuan, terutama menyangkut hak-hak dasar mereka yang terpinggirkan atau tertindas oleh sistem kehidupan patriarkis, terus terasa hingga menjadi darah daging dalam tradisi sosial. Terbukti masih terjadi ketidakadilan atas kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Ironisnya, “agama” ditengarai juga terlibat dalam arus utama budaya yang memerlakukan perempuan secara tidak adil tersebut.

Salah satu akar kesenjangan yang kemudian mendistorsi kerahmatan agama dan pesan-pesan kearifan di dalamnya adalah ketidakmampuan memilah-milah antara teks-teks agama yang menunjukkan makna-makna humanitas universal dan ajaran agama yang memerlihatkan makna-makna humanitas kontekstual.

Karena itu, rekonstruksi atas ajaran agama tradisional menjadi suatu keniscayaan demi menghapus perbedaan status yang demikian tajam antara laki-laki dan perempuan. Banyak teks sekunder seperti kompilasi hadis dan kitab-kitab fikih mengandung muatan yang bertentangan dengan semangat Al-Quran yang membela perempuan.

Dalam konteks itulah, Luciana Anggraeni, dkk. dalam buku ini menyoroti pemikiran fikih keperempuanan dalam perspektif kesetaraan dan keadilan. Salah satu kelemahan fikih yang ada selama ini adalah belum terungkapnya perspektif keadilan gender di dalamnya. Maka, semua elemen masyarakat berhak dan memiliki kewajiban untuk selalu kritis terhadap fikih yang tidak memberdayakan perempuan.

Bagaimanapun, fikih adalah hasil ijtihad manusia yang tidak lepas dari kesalahan yang sangat bergantung pada konsep perubahan ruang dan waktu termasuk di dalamnya adalah potret sosial, karakter masalah yang ada, sistem adat dan budaya yang melekat atau bahkan fenomena politik yang dihadapi masyarakat.

Setidaknya ada tiga prinsip untuk memahami berbagai persoalan keperempuanan (hal.9-10): Pertama, prinsip keadilan (al-‘adalah). Pembentukan wacana fikih tidak terlepas dari prinsip keadilan. Namun, fikih yang ada tampaknya masih kental dengan budaya patrialkal dan bias gender. Adanya bias ini sebagai bukti bahwa fikih belum berbasis keadilan.

Sekadar contoh, seorang istri yang menolak ajakan suami untuk berhubungan, akan dilaknat oleh malaikat hingga pagi hari. Lantas bagaimana jika si suami yang menolak ajakan istrinya? Di sinilah perlu kearifan suami dalam melihat sebab-sebab penolakan istrinya itu. Bagaimana jika penolakan tersebut karena alasan sang istri yang sangat lelah?

Kedua, prinsip kesetaraan (al-musawah). Prinsip ini harus ditegaskan demi membangun fikih perempuan dalam segala hal dan level kehidupan. Prinsip kesetaraan bukanlah menyamakan secara fisik, tetapi menyamakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Selama ini ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam agama banyak diciptakan oleh konstruksi sosial-kultural, bukan oleh ajaran agama itu sendiri.

Ambil misal, ungkatan “ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa” kerap ditafsir bahwa laki-laki lebih superior daripada wanita. Dalam banhak kasus, seorang suami lantas boleh berbuat otoriter kepada istrinya. Padahal, dalam kehidupan rumah tangga, setiap suami-istri memiliki peran strategis untuk yang saling melengkapi. Kata ‘qawwamun’ lebih merupakan tanggung jawab seorang suami dalam pemberian nafkah dan kepemimpinan.

Ketiga, prinsip musyawarah (asy-syura). Sangat boleh jadi, suami dan istri memiliki perbedaan dalam satu hal, namun bukan berarti tidak ada kesamaan antara keduanya dalam banyak hal lainnya. Salah satu kesamaan penting, di antaranya, dalam pengambilan keputusan tidak hanya didasarkan kepada pendapat satu orang, tetapi mengikuti suara yang paling rasional. Dengan demikian, semua manusia harus diberlakukan dengan baik, terutama dalam relasi suami-isteri.

Dengan kerangka berfikir dialogis, Fikih Perempuan dan Isu-Isu Keperempuanan Kontemporer dalam Islam ini bukanlah sebuah produk fikih yang lepas dari sumber normatif ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Hadis. Buku yang ditulis secara keroyokan ini justru ingin mempertegas universalitas kedua sumber keislaman tersebut dalam kerangka fikih keperempuanan yang rasional dan proporsional.

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: