Sakit Kepala Berkelanjutan, Waspadai Gejala Awal Pecah Pembuluh Darah

dr Andrianto SpJP(K) FIHA FAsCC

Surabaya, Bhirawa
Sakit kepala tidak bisa diremehkan. Bisa jadi hal ini justru menjadi gejala pecah pembuluh darah. Jika hal itu terjadi maka akan mengganggu suplai oksigen serta nutrisi pada otak dan proses desak ruang kepala yang mengganggu otak.
Menurut Dosen Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK Universitas Airlangga (Unair) dr Andrianto SpJP(K) FIHA FAsCC, gejala orang yang berisiko mengalami pecah pembuluh darah di kepala adalah sakit kepala. Namun gejalanya ini mirip dengan penyakit lainnya.
“Sehingga banyak yang tidak menyadari kalau ada masalah yang berpotensi pembuluh darah pecah di kepala,” katanya.
Keluhan sakit kepala dapat terjadi secara berulang. Rasa sakit yang dirasa akan meningkat seiring berjalannya waktu dan ketika diberi obat berupa anti nyeri yang umum digunakan tidak ada perbaikan.
“Kalau sampai tekanan yang ada di dalam kepala meningkat bisa terjadi mual dan muntah,” tuturnya.
Ia melanjutkan, Vertigo juga gejala yang harus diwaspadai, demikian pula kesulitan bicara, pingsan dan kelemahan otot tangan dan kaki. Berbagai gejala tersebut perlu diwaspadai apalagi disertai faktor risiko seperti usia lanjut, tekanan darah tinggi atau hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, riwayat merokok, dan sebagainya.
“Oleh karenanya harus ada pemeriksaan lanjutan,” imbuhnya.
Pecahnya pembuluh darah di kepala sangat erat kaitannya dengan tekanan darah tinggi atau hipertensi. Sementara itu hipertensi berhubungan dengan tingginya kadar kolesterol, obesitas, diabetes, stres, dan merokok.
“Yang harus dilakukan untuk mencegahnya adalah perubahan gaya hidup sejak muda,” jelasnya.
Andrianto mengatakan, hipertensi yang tidak terkontrol berisiko tinggi menimbulkan terjadinya komplikasi, salah satunya pecah pembuluh darah di kepala. Namun demikian penderita hipertensi tidak perlu sangat risau akan hal ini. Pencegahan terjadinya komplikasi bisa dilakukan dengan cara mengontrol tekanan darah dalam batas normal.
“Sudah terbukti kalau tekanan darah bisa mencapai target normal maka akan menurunkan risiko komplikasi,” ungkapnya.
Strategi pengobatan yang bisa dilakukan pada penderita hipertensi dibagi menjadi dua yaitu non farmakologis dan farmakologis. Non farmakologi dengan cara perubahan gaya hidup seperti diet rendah lemak dan garam serta faktor risiko penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah dikontrol seperti kolesterol dan diabetes, tidak merokok, obesitas dikontrol, olahraga rutin, dan pengendalian stres.
“Terapi non farmakologis ini merupakan hal yang penting sebelum menuju pada pengobatan farmakologis,” ujarnya.
Pengobatan farmakologis berbeda setiap individu. Pilihan obat yang digunakan disesuaikan dengan target tekanan darah yang harus dicapai. Evaluasi bertahap turut dilakukan dalam hal ini. Disarankan penderita hipertensi memeriksakan kesehatannya secara rutin agar risiko pecah pembuluh darah di kepala bisa dicegah.
“Target tekanan darah yang harus dicapai jika tidak ada faktor risiko penyakit lain seperti diabetes dan penyakit ginjal maka harus kurang dari 140/90 mmHg,” pungkasnya. [ina.why]

Tags: