Siaga Perubahan Iklim

foto ilustrasi

Cuaca ekstrem harian, mulai unjuk gejala ancaman bencana. Hujan disertai angin kencang, bisa tiba-tiba menyergap kawasan lokal, saat siang menuju sore. Tak jarang, tanah di perbukitan luruh terseret aliran air. Walau sebenarnya tiada bencana hidro-meteorologi yang datang tiba-tiba. Selalu terdapat “warning” berupa kerusakan lingkungan. Terutama keadaan kawasan hulu (perbukitan) yang gundul, serta alih fungsi hutan menjadi tanaman pendek (kopi, the, cabai, dan umbi-umbian).

Berdasar penjejakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terdapat anomali cuaca yang menambah pemicu perubahan iklim. Yakni, hujan makin ekstrem, disebabkan gelombang utara yang dingin melintas khatulistiwa menuju selatan. Biasa disebut Cross Equatorial Notherly Surge (CENS). Yakni hujan ekstrem saat dinihari, terutama di kawasan aglomerasi Jabodetabek.

Manakala angin di laut utara Jawa bagian barat sangat kuat, maka hujan ekstrem bisa meliputi kawasan lebih luas (sampai Banten, dan Bandung). Sedangkan hujan ekstrem di kawasan timur lebih di pengaruhi suasana La Nina di Samudera Pasifik bagian timur. Sehingga hujan ekstrem di Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Nusa Tenggara Timur) akan terasa lebih deras, dan lebih lama. Berdasar pengamatan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), La Nina akan datang lagi.

Perubahan iklim (menjadi ekstrem tak terduga) memaksa seluruh negara lebih waspada bencana hidro-meteorologi. Beberapa negara telah mengalami banjir bandang. Di India, banjir telah menelan 55 korban jiwa. Juga di kawasan wisata Nepal tercatat 88 korban jiwa, termasuk 20 wisatawan yang dinyatakan hilang. Bahkan banjir (bulan Juli) di China tercatat sebagai paling parah selama seribu tahun! Merenggut lebih dari 320 di propinsi Henan, dan Hubei. Ratusan mobil turut hanyut.

Di dalam negeri, kewaspadaan iklim “dikawal” oleh BMKG. Sampai perlu memperkenalkan metode Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLNC), khususnya kepada nelayan, dan petugas Syahbandar di pelabuhan kecil. Karena anomali cuaca, seyogianya SLNC telah menggantikan “ilmu titen” yang biasa dimiliki nelayan dan masyarakat pesisir. Terutama mencegah insiden fatal yang mengakibatkan korban jiwa, dan kerugian material besar.

SLC diselenggarakan di pusat potensi bencana hidrometeorologi Jawa Timur, yakni Trenggalek. Banjir dan longsor, sudah rutin terjadi, terutama di lima kecamatan “langganan” bencana ke-iklim-an. Sebagian lahan bukit digunakan untuk usaha perkebunan masyarakat. Sebagian lainnya hutan milik negara, yang nyaris tidak terurus. Secara ekologis, kawasan bukit berfungsi sebagai catchment area (area tangkapan air hujan). Tetapi kekurangan pohon tegakan, sehingga tidak mampu menyimpan air.

Bencana yang sesama juga mulai dirasakan di kabupaten Pacitan, tetangga Trenggalek. Ruas jalan nasional yang menghubungkan Trenggalek – Pacitan, ambles, dan tertimbun longsor pula. Hujan, menyebabkan sungai kecil, Kali Coper, tidak bisa menampung air. Air tertumpah menjadi banjir, menggenangi permukiman dan ladang kedelai. Kawasan perbukitan di se-antero Jawa, bisa terancam bencana yang sama, terutama di Jawa Barat, DIY (Yogya) dan Banten.

La Nina biasanya akan menambah curah hujan lebih lebat, sekitar 20% hingga 70%. Sehingga informasi (dan ilmu pengetahuan) dampak perubahan iklim bisa diterima masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. BMKG, melalui SLCN telah meng-edukasi nelayan tentang aspek cuaca, iklim kemaritiman, dan informasi teknologi prakiraan lokasi ikan. Diharapkan tidak ada lagi nelayan terjebak cuaca ekstrem.

Hujan datang sesuai musim. Di beberapa daerah telah menyebabkan banjir, dan tanah longsor. Menghadapi bencana alam, niscaya harus kembali pada prinsip kelestarian alam. Bukan dengan proyek “menanam” beton, melainkan lebih banyak menanam pohon.

——— 000 ———

Rate this article!
Siaga Perubahan Iklim,5 / 5 ( 1votes )
Tags: