Sistemik Cegah Putus Sekolah Sampai SLTA

Pendidikan Penguatan Karakter Menuju Persaingan Global

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

“Soegih tanpo bondo. digdojo tanpo adji, ngaloerog tanpo bolo, menang tanpo ngasorake ” (Kaya tanpa harta, kuat tanpa senjata, mendatangi musuh tanpa pasukan, menang tanpa memperbudak lawan).

(Raden Mas Panji Sosrokartono, sarjana Indonesia pertama lulusan Eropa)

Paradigma kependidikan di seluruh dunia memulai babak baru, berbasis minat pilihan, dan kompetensi. Perubahan konsep Pendidikan mengarah pada persaingan global, sekaligus manajemen survival. Terutama disebabkan ke-tidak pasti-an global berkait sektor pangan, energi, dan keuangan global. Indonesia menyongsong masa depan melalui konsep “Indonesia Emas 2045.” Berbasis kompetensi individual, sekaligus kesalehan spiritual.

Menjadi tema yang tidak mudah dibicarakan. Namun ke-pendidik-an terlanjur menjadi faktor utama Yakni, Pendidikan dengan peradaban baru: Toleran, dan saling membantu. Sebenarnya tidak terlalu sulit mewujudkan Indonesia Emas 2045. Karena terbukti sejak zaman dahulu banyak insan unggulan lahir dari kawasan Nusantara. Antara lain, Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini. Berpenampilan perlente, postur tubuh gagah, ganteng, dan jenius. Sangat digandrungi nonik-nonik Belanda.

Bukan sosok yang kaleng-kaleng, melainkan kesohor sebagai intelektual dari Jawa. Karena kecerdasannya, Sosrokartono dijuluki Si Jenius dari Timur dan De Javanese Prins. Sangat terkenal di seantero Eropa. Bahkan Sekutu (sekarang NATO) memberi pangkat Mayor, untuk memperlancar tugas sebagai wartawan Perang Dunia I. Sebagai jurnalis di koran The New York Herald Tribune. Gajinya sebesar US$ 1.250,-. Melebihi gaji Adipati (Bupati) di tanah Jawa.

Salahsatu karyan paling fenomenal saat Sosrokartono menjadi wartawan adalah tulisan tentang liputan perundingan damai antara Perancis dan Jerman di Perang Dunia I. Perundingan sangat rahasia dan dijaga ketat, diselenggarakan di dalam kereta-api yang berhenti di hutan Compaigne di Prancis selatan. Tetapi Sosrokartono berhasil meliput (karena memiliki pangkat Mayor).

Setelah Perang Dunia I berakhir, RMP Sosrokartono berhenti sebagai wartawan dan beralih menjadi ahli bahasa untuk kedutaan Perancis di Den Haag, Belanda. Keahliannya dalam menguasai 36 bahasa (termasuk bahasa Arab, dan 16 bahasa asing lainnya) membuatnya menjadi aset berharga dalam urusan diplomatik. Sosrokartono, juga menjadi kepala penerjemah Liga Bangsa-Bangsa (kini menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB, UNO). Perannya apada Liga Bangsa-Bangsa sangat penting, sebagai fasilitasi komunikasi antara negara-negara anggota yang berbicara dalam berbagai bahasa.

Penguatan Karakter
Karakter ke-Jawa-an Sosrokartono, semakin kuat walau berkiprah di negeri orang. Diundang dalam Kongres bahasa Belanda, Sosrokartono, menantang penjajah. Dalam pidatonya yang berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Indonesia), diucapkan lantang: “Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!”

Di Belanda, dikenal sebagai “Dokter Air Putih,” karena dapat mengobati penyakit hanya dengan menggunakan media air putih. Kondang menjadi dukun, banyak didatangi orang, termasuk kalangan dokter. Konon terdapat daya persoonalijke magneetisme (kebatinan) yang sangat besar. Sepulang dari Eropa Sosrokartono, memilih tinggal di Bandung. Dengan tabungannya dibangun ruangan yang diberi nama Dar Oes-Salam (Darus-salam, Negeri Damai). Di dalamnya terdapat perpustakaan, sekolah, dan praktek pengobatan.

Sebagai sarjana Indonesia pertama lulusan Eropa, Sosrokartono, tidak berubah. Tetap sebagai orang Jawa, sekaligus santri (dan tergolong ulama) yang sangat taat beragama. Diyakini, bahwa tujuan Pendidikan (sekolah) merupakan pembangunan peradaban. Tertera dalam visi ke-pendidik-an yang dicanangkan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultrual Organiztion). Yakni, meliputi 4 pilar, terdiri dari: Pertama, learning to Know, Kedua, learning to do, Ketiga, learning to be, dan Keempat learning to live together.

Prinsipnya, pelaksanaan Pendidikan yang merdeka sepanjang hayat, membentuk kompetensi mampu bertanggungjawab menentukan jalan hidup sendiri. UNESCO, memasukkan prinsip learning to live together, sebagai salahsatu tujuan Pendidikan untuk perdamaian tingkat nasional, dan global (dunia). Prinsip perdamaian juga menjadi perhatian agama-agama, diajarkan dalam kitab suci.

Pertautan antara perdamaian dunia dengan Pendidikan menjadi satu kesatuan, sebagai tujuan didirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat. Secara tekstual dinyatakan, “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial … .”

Namun amanat konstitusi masih terkendala pemahaman pemerintah daerah, dan kemiskinan rakyat. Menjadikan biaya pendidikan terasa mahal, tak terjangkau kalangan keluarga miskin yang masih sangat banyak. Walau sebenarnya terdapat mandatory konstitusi tentang pembiayaan Pendidikan nasional. UUD pasal 31 ayat (4), menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”

Cegah Putus Sekolah
Hingga kini Hardiknas ke-65, kosmis ke-pendidikan Indonesia telah sangat makmur, bertebaran sekolah berbagai tingkat. Banyak sekolah didirikan pemerintah, dan kalangan swasta. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 399.376 satuan pendidikan (sekolah). Naik tipis, sekitar 1,18 % dibanding tahun ajaran 2021-2022 (sebanyak 394.708 unit). Semakin mudah ditemui satuan Pendidikan, samoai di pelosok peerkampungan.

Namun ingga kini indeks ke-pendidik-an (lama sekolah) secara nasional masih senilai 7,2. Artinya, hanya sampai pada tingkat SLTP kelas 1, naik ke kelas 2 hanya beberapa bulan, lalu putus sekolah. Berdasar data BPS, angka putus sekolah pada tahun 2022 meningkat. Pada jenjang SLTA angka putus sekolah sebesar 1,38%. Artinya, terdapat 138 siswa putus sekolah dari 10 ribu siswa SLTA. Jika jumlah siswa SLTA sebanyak 10,26 juta (tahun ajaran 2021-2022), maka jumlah putus sekolah pada tingkat SLTA sekitar 140 ribu siswa putus sekolah.

Begitu pula tingkat SLTP angka putus sekolah sebesar 1,06%. Serta putus sekolah tingkat SD sebesar 0,13%. Sebesar 95% tragedi putus sekolah, disebabkan faktor ekonomi. Setelah putus sekolah, anak-anak harus bekerja menopang ekonomi keluarga. Berdasar data BPS, terdapat lebih dari 4,5 juta anak-anak yang dipaksa untuk bekerja. Diantara jumlah tersebut, 1,75 juta bekerja dalam jenis pekerjaan yang terburuk untuk anak. Antaralain, mengemis, mengamen, sampai menjadi kurir peradaran narkoba.

Murid dari keluarga miskin (gakin) memerlukan fasilitasi tambahan, agar sekaligus dapat tutut berperan menjalankan fungsi “ke-ekonomi-an” keluarga. Misalnya, di-fasilitasi pemberian hewan ternak (ayam, bebek, atau sapi maupun kambing). Hewan ternak dapat diurus oleh anak-anak murid gakin di sekitar rumahnya, setelah pulang sekolah. Angka murid gakin diperkirakan masih mencapai 17 juta-an peserta didik. Sejumlah itulah yang mesti diwaspadai rawan putus sekolah. Menyebabkan IPM Indonesia (72,91) masih pada peringkat ke-6 di ASEAN.

Pemerintah masih “berhutang” kesejahteraan guru, khususnya yang mengajar di sekolah swasta, di pedesaan. Masih sangat banyak guru (bertitel sarjana) digaji sebesar Rp 200 ribu per-bulan. Sejak lama pula kemuliaan guru tidak inharent dengan tingkat kesejahteraan. Banyak guru (terpaksa) nyambi bekerja serabutan, menjadi pengemudi “ojol” (ojek online), buruh tani, sampai kuli bangunan.

Tidak mudah menjadi guru, karena membutuhkan kompetensi mengajar. Lebih lagi pada paradigma agama, guru dianggap sebagai “wakil” Tuhan menjaga martabat kemanusiaan tetap pada derajat yang luhur. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, meng-amanatkan penghasilan guru yang pantas dan memadai. Tercantum pada pasal 40 ayat (1) huruf a, bahwa guru berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.

——— 000 ———

Tags: