Wacana Penghapusan Jabatan Gubernur dan Permasalahannya

Oleh :
Dr Ir Abdul Hamid, MP
Koordinator Peneliti Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Provinsi Jawa Timur

Heboh wacana penghapusan 38 jabatan gubernur se-Indonesia yang diinisiasi oleh Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, mendapat tanggapan pro kontra yang luar biasa dari masyarakat. Apalagi wacana itu muncul di tengah-tengah fokus kita tertuju hajat akbar pilpres 2024.

Saya sebagai peneliti kebijakan publik BRIDA Jawa Timur iseng mencoba riset kecil-kecilan melalui Google Form dengan 100 responden dari berbagai strata sosial, akademisi, pemerintah dan masyarakat. Hasil Google Form menunjukkan hampir 100 % responden masih tetap menginginkan eksistensi gubernur, hanya 1 % yang tidak menjawab.

Data di atas menunjukkan bahwa sesuai UUD 1945, tepatnya pasal 18, mengisyaratkan dalam sistem pemerintahan kita tugas pokok dan fungsi sekaligus nomenklatur keberadaannya sudah tertulis. Jika ingin diubah salah satu caranya melalui referendum, dan ini memakan waktu yang lama dan rumit, sementara kita akan menghadapi pilpres 2024.

Karena itu perubahan dalam sistem dan proses ketatanegaraan lebih baik jika diagendakan pasca pemilu 2024. Termasuk pembahasan wacana penghapusan jabatan gubernur tersebut. Namun setiap gagasan yang dikeluarkan harus melalui kajian akademik. Terlebih terkait sistem dan proses ketatanegaraan, yang mana menyangkut masa depan bangsa yang kita cintai ini.

Kita yakin sekarang masyarakat sudah paham bahwa nomenklatur jabatan gubernur itu tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang terdiri dari provinsi, kabupaten dan kota. Karena itu di Undang-Undang Dasar (UUD) kita pasal 18 itu ditentukan penyebutan kepala daerah, gubernur, bupati, wali kota, yang memang tertera dalam Undang-Undang bukan perpres yang derajatnya lebih tinggi dari aturan lainnya, jadi istilah gubernur itu adanya di konstitusi, bukan sekadar UU di pemda.

Menurut Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka, jabatan gubernur penting untuk koordinasi antar-wilayah, yang tidak dapat diputuskan oleh masing-masing kepala daerah. Sebagai Wali Kota, Gibran mengaku kerap mendapat arahan dari gubernur.

Banyak masyarakat berpendapat lebih baik mengurus masalah masyarakat seperti kemiskinan dan pengangguran ketimbang membahas usulan penghapusan jabatan gubernur. Apalagi dengan alasan sederhana karena kewenangan yang terbatas dan anggaran pemilihan gubernur yang besar.

Namun demikian sebagai negara demokrasi tentu saja harus menghargai pendapat publik. Sejalan arahan Wakil Presdein RI, KH Ma’ruf Amin, biarkan isu itu, nanti para ahli akan membicarakan apakah memang lebih baik tidak dipilih atau dipilih oleh DPRD atau ditunjuk oleh Presiden sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, semua itu bergantung situasi dan kondisinya.

Sisi positifnya juga ada. Andaikan 38 gubernur se Indonesia dihapus, maka efisiensi dan penghematan akan signifikan. Contoh jika rata-rata biaya pemilihan gubernur sebesar Rp 1 triliun (bahkan pilihan Gubernur Jatim mendekati Rp 2 triliun) maka negara hemat Rp 38 triliun. Sekali lagi kalau kita bicara penghematan belanja negara. Salah satu alasan pengusul adalah penghematan anggaran daerah, padahal hanya kepanjangan tangan pusat.

Mungkin pengusul lupa bahwa efek pembangunan, dampak terhadap pengawasan pembangunan di kabupaten/kota akan sulit, pusat akan kuwalahan, rentang kendali juga sulit, ujung-ujungnya pembangunan terhambat dan masayarakt jadi korbannya.

Maka Presiden mewanti-wanti harus ada kajian yang mendalam dan waktu kajian itu tidak terlalu mendesak untuk dilakukan, sebab kita sedang berperang melawan kemiskinan, kedaulatan pangan dan lain-lain juga prioritas untuk dilakukan.

———- *** ———–

Tags: