Disrupsi Digital, Transormasi Digital dan Digital Rupiah

Oleh :
Wahyu Eko Pujianto
Afifatus Sholikhah
Kedua penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo

Masyarakat global telah memasuki masa dengan perkembagnan teknologi yang begitu cepat nan inklusif, yang disebut distruption era. Disruptif dapat diartikan sebagai sebuah fenomena yang didalamnya terdapat inovasi; menggantikan sistem lama dengan sistem-sistem yang lebih baru, canggih serta modern, yang dapat menggantikan pemain lama dengan pemain baru, dapat menggantikan teknologi lama yang serba menggunakan fisik dengan penggunaan teknologi digital yang dapat menghasilkan segala sesuatu lebih efisien dan lebih bermanfaat. BPS tahun 2021 menjelaskan bahwa pada tahun 2016 hingga 2021 pengguna internet mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni terdapat kenaikan jumlah penduduk yang mengkases internet sekitar 21,98% menjadi 47,69%. Populasi penduduk yang dominan berusia muda, Indonesia muncul sebagai pasar potensial. Menelaah data BPS tahun 2022 hampir 70% populasi penduduk berada dalam kelompok usia 15-64 tahun. Selain itu, infrastruktur penopang digitalisasi (listrik, high speed internet, dan seluler) semakin merata, mudah, dan murah untuk diakses. Indonesia adalah negara dengan penetrasi seluler terbesar ke-empat di dunia.
Seperti halnya di negara berkembang lainnya, masyarakat Indonesia lebih diuntungkan dengan transformasi digital yang terjadi. Transformasi digital dengan kecerdasan akal manusia diiringi kemajuan teknologi, telah memunculkan suatu instrumen baru yang didasarkan oleh banyaknya pengguna aset digital seperti cryptocurrency, NFT (Non-Fungibel Token), dan metaverse. Ketiga aset digital tersebut telah dijadikan oleh orang-orang sebagai investasi disebabkan karena adanya volitalitas yang tinggi, sehingga bisa memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan investasi pada umumnya. Digitalisasi ekonomi dan keuangan menggeser preferensi masyarakat ke arah layanan keuangan yang serba cepat, mudah, murah, aman dan andal. Digitalisasi ekonomi dan keuangan menggeser preferensi masyarakat ke arah layanan keuangan yang serba cepat, mudah, murah, aman dan andal. Fenomena ini berlangsung merata di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Permasalahannya adalah digitalisasi ekonomi dengan aset digitalnya memunculkan risiko berupa shadow banking, risiko siber dan fraud, pencucian uang dan pendanaan terorisme, persaingan usaha tidak sehat, dan penyalahgunaan data konsumen. Kuatnya karakter borderless pada model bisnis digital juga mempersulit upaya penegakan hukum dan upaya menjaga kepentingan nasional. Inovasi Bank Indonesia (BI) guna menyikapinya dengan melalui “Proyek Garuda” digital rupiah. Digital Rupiah akan menambah khazanah alat pembayaran yang menjamin masyarakat untuk mampu bertransaksi dalam kondisi apapun. Digital Rupiah hadir sebagai komplemen dari uang-uang yang lazim digunakan oleh masyarakat, termasuk uang kartal fisik.

Peluang dan Tantangan
Dynamic era menuntut perubahan inovasi setiap waktu secara berkelanjutan. Perubahan pola pikir dari peduli teknologi (technological awareness) menuju melek teknologi (technological literacy) lalu berubah menjadi berkapasitas atau memiliki kapasitas teknologi yang baik (technological capacity) dan akhirnya siap memanfaatkan teknologi digital secara kreatif (technological creativity). Inovasi disrupsi merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari, bahkan akan semakin menyebar luas di masa yang akan datang didukung dengan berkembangnya teknologi dan kebutuhan masyarakat. Riset Kand (2020); Kolinovi? (2021); Vinaytosh (2022) menyebutkan bahwa transformasi digital yang terjadi pada era disruptif menyebabkan tingginya angka kecanduan terhadap media sosial lebih tinggi daripada kecanduan terhadap rokok. Fakta merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha industri untuk memasarkan produknya dengan menggunakan pasar virtual di media sosial. Christensen; seorang ahli administrasi bisnis dari Harvard Business School, menjelaskan bahwa era disrupsi telah mengganggu atau merusak pasar-pasar yang telah ada sebelumnya tetapi juga mendorong pengembangan produk atau layanan yang tidak terduga pasar sebelunya, menciptakan konsumen yang beragam dan berdampak terhadap harga yang semakin murah. Dengan demikian, era disrupsi akan terus melahirkan perubahan yang signifikan untuk merespon tuntutan dan kebutuhan.
Selain menghadirkan keuntungan, kehadiran era disrupsi juga menghadirkan tantangan bagi kehidupan manusia; terutama bagi masyarakat rural dan mereka yang berada di wilayah pedalaman. Bukan karena mereka menolak digitalisasi melainkan belum memiliki kebiasaan untuk bersentuhan dengan perangkat teknologi. Indonesia sebagai negara yang berbentuk kepulauan membutuhkan infrastuktur perangkat teknologi untuk adanya interkoneksivitas antar pulau, antar daerah, antar masyarakat, ataupun antar instansi. Namun faktanya masih banyak wilayah yang belum tersentuh infrastruktur seperti kemudahaan akan akses internet. Manuel Castells (2002) menjelaskan bahwa kesenjangan digital sebagai ketidaksamaan akses terhadap internet karena akses terhadap internet merupakan syarat untuk menghilangkan ketidaksamaan di masyarakat (inequality in society). Kesenjangan digital inilah yang pada akhirnya menghambat mereka beradaptasi secara cepat terhadap transformasi digital yang hadir pada era distrupsi. Sebagaimana pandangan John Dewey bahwa manusia pertama-tama adalah makhluk yang berorientasi ke masa depan dan problem solver yang bersifat dan aktivitasnya berkembang dari proses yang terjadi pada tingkatan kehidupan yang lebih rendah. Seperti organisme lain, manusia berusaha menemukan penyesuaian yang memuaskan dalam lingkungnya. Apabila penyesuaian tidak ditemukan, berarti orang berada dalam situasi problematik. Bangsa Indonesia dan masyarakat perlu menyiapkan beberapa aspek agar mampu defensif atau ofensif di era disrupsi dengan upgrading kemampuan dalam beradaptasi terhadap berbagai jenis perubahan dan terus mengembangkan kreasi dan inovasi.

Implikasi
Inovasi disrupsi merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari, bahkan akan semakin menyebar luas di masa yang akan datang didukung dengan berkembangnya teknologi dan kebutuhan masyarakat. Begitu luasnya dampak era disrupsi dengan berbagai tantangan dan peluang yang dihadirkan, menuntut setiap individu untuk memiliki strategi dalam menghadapinya. Setidaknya tiap-tiap individu harus mampu untuk (1) Menguatkan budaya literasi akan perkembangan teknologi, (2) Melakukan riset, (3) Risk management untuk mengidentifikasi berbagai gejala disruptif, (4) Terus berinovasi, (5) Memodifikasi setiap usaha maupun bisnis yang dijalankan, (6) Menguatkan partnership, serta (7) Merubah mindset dan kesadaran diri untuk mau beradaptasi dengan perkembangan global.

———- *** ————

Tags: