Bangkit Bersama, Menguatkan Keindonesiaan

Refleksi Kebangkitan Nasional Ke-115

Oleh:
Susanto
Kepala SMAN 1 Sugihwaras-Bojonegoro

Hidup di era sekarang ini dihadapkan pada situasi yang dilematis. Teknologi informasi menjadi salah satu pilihan dalam menjawab problematika hidup. Sementara keberadaan teknologi informasi terus berganti dan semakain canggih. Tentunya akan membawa dampak negatif bila tidak bijak memaknainya. Berbagai problematika yang muncul membutuhkan kearifan agar berdampak positif bagi hajat berkehidupan secara nyata.

Jujur harus diakui bahwa fenomena kekinian yang terus harus dikaji dan harus menjadi sebuah keprihatinan bersama di tengah peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-115 sesuai semangat Boedi Utomo. Fakta empirik yang tidak bisa dipungkiri saat ini sangat banyak. Mengaburnya wawasan kebangsaan dari sebuah generasi akhir-akhir ini harus menjadi tanggung jawab bersama. Artinya, bahwa sekarang ini semangat bernegara dan komitmen berkesatuan mulai ada kesenjangan. Selain itu. kebebasan berekspresi yang kebablasan tanpa batas. Tentunya, yang tak kalah perlu mendapatkan perhatian serius berkurangnya toleransi dan penghargaan atas perbedaan sehingga berdampak pada menghilangnya budaya Indonesia. Dengan demikian, budaya asing terus menjadi ancaman akan eksistensi dan jati diri bangsa di tengah globalisasi teknologi khususnya dalam berbudaya digital seperti saat ini.

Budaya Digital dengan Bijak
Dalam konteks seperti saat ini diperlukan upaya berbudaya baik dan kecermatan. Salah satu yang mendesak perlunya pemahaman berbudaya digital dengan baik. Sebab pada hakikatnya budaya bermedia digital itu merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari?hari. Segala sesuatu harus dikembalikan pada akar budaya bangsa yang luhur seleksi dalam menyikapi informasi dan tidak mudah terprovokasi.

Lantas bagaimana dengan remaja dalam menyikapi hoax? Karena remajalah pengguna terbesar media sosial. Yang jelas Terlalu banyak sumber yang membuat berita hoax, bahkan iklan yang bersifat menipu. Para remaja jangan begitu percaya begitu saja. Terutama remaja yang baru paham dengan media sosial bahkan bisa menimbulkan adanya hoax. Bukan hanya berita hoax dan iklan tipu, bahkan jual beli online juga bisa memicu adanya hoax. Terutama kaum remaja perempuan yang meluangkan hobinya di online shop untuk membeli barang yang mereka inginkan, tetapi justru berakhir dengan penipuan.

Untuk itulah, bagi para remaja harus berfikir lebih cermat dalam berita-berita hoax. Serta saran dari orang tua untuk membantu menemukan dan menganalisis berita di media sosial. Dan juga menyarankan untuk membaca berbagai sumber untuk memastikan berita tersebut bisa dipercaya atau hanya sekedar hoax. Remaja memang cerdas tentang teknologi informasi tetapi sering tidak memiliki kemampuan untuk membedakan antara berita palsu (hoax) dengan berita nyata. Maka kaum remaja harus lebih terampil dalam meneliti kebenaran berita agar dapat membedakan antara berita palsu dan nyata, karena sejatinya berita hoax dibuat hanya untuk kepentingan pribadi atau untuk tujuan tertentu.

Dikalangan remaja memegang smartphone dan laptop selalu menjadi kebiasaan setiap hari. Kaum remaja sering kali menjelajahi situs media sosial, mengupload foto atau mengobrol lewat teks dengan temannya. Namun seringkali mereka menyerap begitu saja informasi yang ada tanpa mempertimbangkan sumbernya. Ada kalanya harus lebih selektif mengenai informasi yang didapatnya.

Peran Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan kehidupan pertama dan utama. Artinya pendidikan apapun harus diawali dari keluarga. Pertama, keluarga merupakan aspek dan organisasi yang paling dasar. Ketika lahir. pasti berada di lingkup keluarga yang mana kita diajarkan dan dicontohkan tentang nilai religi, sosaial, moral, budaya dan pendidikan yang baik. Faktanya banyak orang tua yang tidak mempunyai waktu untuk memberi pendidikan dan contoh yang baik dan berkarakter. Ada pula anak atau remaja yang dibesarkan dalam keadaan keluarga yang tidak utuh.

Kedua, menata hubungan personal. Ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah, hubungan interpersonal antara keluarga yang tidak baik. Hal ini membawa konsekuensi logis adanya risiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi kepribadian antisosial. Dengan demikian, anak tak jarang berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak atau remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang sehat dan harmonis.

Ketiga, orang tua sebaiknya harus menjadi panutan dan menjadikan suri tauladan yang baik agar anak dapat merespon dengan baik. Dunia anak adalah dunia bermain, tumbuh dan belajar. Pada masa tersebut, anak-anak sedang dalam proses sosialisasi nilai-nilai dan pembelajaran untuk menjadi manusia dewasa. Dalam masa anak-anak, kedekatan dengan orang tua masih tinggi. Artinya pendidikan perlu adanya penguatan dari orang tua atau keluarga. Jika orang tua menghendaki anak-anaknya berpendidikan baik, penuh dengan rasa ingin tahu yang tinggi, serta imajinatif dan serius dalam berpikir, peran mereka sangatlah penting.

Nah, dunia digital adalah dunia kita sekarang ini. Artinya, perlunya mengisinya dan menjadikannya sebagai ruang yang berbudaya, tempat kita belajar dan berinteraksi, tempat anak-anak kita bertumbuh kembang, Dalam konteks skala luas bahwa berbudaya digital harus dimaknai dan mengutamakan sebagai bangsa yang selalu hadir dengan bermartabat dan memberikan manfaat bagi semangat tolerasi. Masyarakat pada umumnya dan khususnya para pelajar harus tetap komitmen menjadi generasi yang berkarakter sesuai profil Pelajar Pancasila dengan menjunjung tinggi komitmen ber-NKRI. Oleh karena itu, komitmen bangkit bersama dalam semangat berkeindonesiaan di tengah globalisasi teknologi informasi sebuah kebutuhan mendesak dan membutuhkan kearifan seluruh elemen bangsa tanpa adanya rasa primordial.

———– *** ————

Tags: