Bangkit Bersatu Melawan Intoleransi, Ekstremisme dan Terorisme

Oleh:
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.

Kita tahu, hakikatnya, kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu tindakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan. Yang jelas kita tentu tidak ingin negara ini bersimbah darah karena perpecahan sesama anak bangsa, bahkan saudara setanah air.

Kita tidak ingin seperti yang terjadi di Timur Tengah maupun di beberapa negara di Eropa lainnya melanda Indonesia. Cukuplah kekerasan yang mengatasnamakan kesucian Tuhan buat mereka. Kita telah dibuat mengerti dan tak sanggup melihat kekejaman yang dipraktikkan atas nama Tuhan.

Timur Tengah dan beberapa Negara Eropa bergolak. Di Indonesia tidak boleh terjadi seperti itu. Salah satu kuncinya adalah sesama umat beragama menghindari sikap arogan, menindas, menikung serta ingin menang sendiri sehingga orang lain dianggap kafir, sesat serta harus pula dimusnahkan.

Bukankah Tuhan telah memberikan pilihan pada kita, akan menjadi “kafir” atau “beriman”. Beriman atau kafir akan mendapatkan tempatnya sendiri. Kita juga bukan panitia masuk surga atau neraka. Itu hak Tuhan belaka. Kenapa kita sering melihat ada seseorang meributkan dengan keras ketika seseorang atau kelompok tidak berbuat seperti yang dikehendaki oleh pihak lain yang berbeda, sehingga otoritas Tuhan seakan-akan berpindah tangan pada kelompok tersebut.

Kekerasan Atas Nama Agama
Syahdan, Jika kita perhatikan terjadinya kekerasan atas nama agama, para ahli dalam hal sosiologi agama, politik, maupun ilmu sosial lainnya memberikan penjelasan sekurang-kurangnya terdapat beberapa penyebab mengapa orang bersedia melakukan tindakan kekerasan atas nama agama.

Beberapa penyebabnya antara lain adalah yang pertama persoalan pemahaman keagamaan. Oleh sebab karena adanya keyakinan akan teks suci yang mengajarkan tentang terorisme dari kata jihad. Pemahaman keagamaan merupakan bagian penting dari kekerasan agama (radikalisme-terorisme) yang dilakukan.

Kedua, radiakalisme-terorisme juga dikaitkan dengan adanya pemahaman tentang ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum yang berjalan dalam sebuah negara. Sebuah rezim politik dan partai tertentu dianggap berlaku tidak adil kepada sekelompok masyarakat.

Ketiga, radikalisme-terorisme juga disebabkan oleh buruknya dalam hal penegakan hukum, sehingga menimbulkan apa yang sering disebut sebagai “ketidakadilan hukum”. Penegakan hukum yang tidak berjalan dengan maksimal, sehingga menumbuhkan kejengkelan dalam perkara hukum yang ada dalam sebuah negara.

Ketidakadilan hukum dianggap sebagai salah satu faktor yang masih dominan dalam sebuah negara termasuk di Indonesia, sehingga aparat penegak hukum sering menjadi sasaran kekerasan kaum radikalis-teroris. Peristiwa penembakan aparat kepolisian di beberapa daerah di Indonesia misalnya, adalah bukti-bukti yang menjelaskan kalau polisi dianggap tidak adil dalam menegakkan hukum.

Keempat, persoalan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, termasuk pendidikan yang lebih menekankan aspek indoktrinasi, tidak memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah. Alih-alih tak memberikan ruang diskusi, pendidikan semacam itu merupakan masalah yang sangat mungkin mendorong terjadinya radikalisasi karena kebebalan perspektif pendidikan agama.

Dengan demikian, maka dari itu, harus dipikirkan kembali pendidikan agama yang bersifat transformatif dan pembebasan pada umat manusia. Pendidikan agama yang tidak hanya mengajarkan persoalan jihad dalam makna kekerasan atau perang, tetapi jihad dalam makna yang luas seperti memberantas kemiskinan, memberantas politik licik dan partai yang buruk adalah jihad yang sesungguhnya harus dilakukan.

Kaum Muda sebagai Penentu
Adagium Arab yang populer di Indonesia tentang anak muda. Bunyinya: “Syubbanul yaum, rijalul ghad”. Artinya, “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.”

Sebagai penggerak masa depan, kaum muda menjadi sangat penting. Kaum muda adalah masa depan sebuah bangsa yang ingin maju. Kaum muda tidak bisa dituduh sebagai kelompok yang mengacaukan, tetapi mereka adalah kelompok masyarakat yang bergerak dan terus mencari.

Mereka kaum muda tidak bisa ditempatkan sebagai entitas yang selalu dalam kesesatan pikir dan kesesatan tindakan atas nama agama dan Tuhan. Karena itu, tidaklah adil dan proporsional jika menjadikan pemuda sebagai kaum tertuduh.

Memang secara umur kaum muda masih kalah dibandingkan dengan kaum tua. Tetapi, umur yang kalah dengan kaum tua yang sudah berada diatas 35 tahun bukanlah hal yang bisa dijadikan alasan kaum muda harus dipersalahkan. Bahkan ditangan merekalah, masa depan Indonesia akan berada. Oleh sebab kaum muda masih mengenyam pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai Perguruan Tinggi (Universitas), maka tidak bisa sembarang mengajarkan materi pelajaran ataupun materi kuliah yang tidak sesuai dengan realitas sosial.

Itu sebabnya, pendidikan kita harus mengajarkan realitas keragaman, pengakuan sosial atas keragaman, kemajemukan, serta mengajarkan misi damai membangun bangsa dan manusia bermartabat dalam dimensi yang luas. Sekali lagi, kaum muda tidak hanya sebagai objek, tetapi mereka adalah subjek yang memiliki dunianya sendiri. Maka perlu mendapatkan perhatian sebagaimana dunianya.

Dengan begitu, kaum muda perlu dilibatkan dalam proses perubahan sosial yang kian keras. Kaum muda perlu mendapatkan pemahaman kondisi sosial ekonomi politik dan historis yang memadai, sehingga memiliki gambaran yang jelas tentang sebuah fenomena sebuah negara.

Kreativitas dan Inovatif
Kita tahu bahwa kaum muda itu penuh dengan kreativitas dan inisiatif. Karena itu, berilah ruang untuk berekspresi dan berimajinasi membangun masa depannya asalkan positif dan sesuai dengan cita-cita sosialnya. Kita sekarang dapat menyaksikan bahwa kaum muda adalah generasi milenial yang sangat aktif dalam dunia maya.

Bukan karena kaum muda itu bodoh atau pun kurang mampu menelaah persoalan-persoalan, tetapi kaum muda itulah yang sekarang disebut sebagai generasi milenial, yang sangat intensif dengan persoalan media sosial. Berbeda dengan dunia kaum tua yang telah lahir jauh sebelum mereka.

Lebih dari itu, bahwa ternyata kaum muda adalah penikmat media sosial yang sangat tinggi dalam tiap harinya. Bahkan zaman sekarang, kaum muda belajar agama dari media sosial bukan dari ustadz dan ustadzah yang berceramah secara langsung, tetapi lewat video-video ceramah YouTube, Facebook, Instagram, tak terkecuali Tiktok sebagai media sosial yang buming tahun ini.

Disinilah tugas kaum elit agama diperhadapkan dengan dakwah-dakwah di media sosial untuk memberikan pemahaman keagamaan yang inklusif, sehingga kaum muda mampu memiliki pandangan dan sikap toleran, menghargai perbedaan, menghormati keyakinan keagamaan yang berbeda dengan keyakinan yang dimilikinya.

Penting dicatat, akan lain masalahnya jika kaum muda ternyata lebih memilih masalah-masalah toleransi dan solidaritas sosial. Maka, merekalah yang kita jadikan sebagai agen perdamaian dan solidaritas sosial. Kecenderungan ini oleh sebagian pengamat media dan populisme Islam disebabkan karena sedang terjadi kebangkitan politik identitas keagamaan atau populisme Islam.

Dalam kaitan dakwah agama, maka elit agama, pendakwah-misionaris tidak bertugas menyiram bibit radikal serta intoleransi kepada kaum muda dengan doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan secara serampangan dan tidak lengkap sesuai konteks sosial historisnya. Kaum elit agama harus memberikan contoh yang nyata dalam berkata-kata dengan santun, bijaksana, dan bertindak dengan damai dan menentramkan. Pendek kata, tidak sembarangan berkata dan bertindak.

Satu sebenarnya yang harus dijadikan pegangan oleh para pendakwah yaitu kaidah: “Melestarikan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Dan “Memperbaiki menuju sesuatu yang lebih baik, lebih baik dan seterusnya”. Wallahu a’lam bisshawab.

———— *** —————

Tags: