Di Balik Penghapusan Tes Calistung

Kurniawan Adi Santoso

Oleh :
Kurniawan Adi Santoso
Guru SDN Sidorejo Kec. Krian, Sidoarjo

Di berbagai daerah sudah mulai menjadwalkan pendaftaran peserta didik baru untuk jenjang sekolah dasar (SD). Ingat! Anak masuk SD tak perlu tes membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Larangan tes calistung untuk masuk SD ini dalam Merdeka Belajar Episode ke-24 yang mengambil tema Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan (28/3). Harusnya ini dipahami pihak sekolah khususnya SD sebagai upaya memerdekakan anak dari tuntutan akademis yang terlalu dini.

Selama ini tak sedikit SD yang masih saja memakai tes calistung sebagai syarat anak masuk SD. Sebenarnya pihak SD memakai calistung supaya nantinya anak lebih mudah diajak untuk belajar di kelas 1. Guru tak perlu susah-susah mengajar anak didiknya. Sebab anak didik yang diterima di kelas 1 sudah pandai membaca.

Lagi pula, buku teks yang beredar yang dipakai guru sebagai bahan ajar mensyaratkan anak sudah pandai membaca. Maksudnya, anak bisa memahami materi yang ada di buku itu apabila dia punya kemampuan membaca lancar. Makanya, pihak SD kemudian menggunakan tes calistung untuk menyaring murid agar yang diterima itu sudah pandai calistung. Yang belum pandai calistung, silakan cari sekolah lain.

Hal itu berimbas pada pembelajaran di jenjang TK. Di TK, anak difokuskan mengejar kompetensi calistung. Lulusan TK harus terampil calistung.

Padahal anak yang belum siap belajar calistung kemudian dipaksa belajar, tanpa disadari hal tersebut dapat mengganggu tumbuh kembang mereka. Begini, otak manusia memiliki 2 bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan. Kedua otak ini dihubungkan oleh bagian yang bernama corpus callosum atau sering disebut super highway of learning. Yang fungsi utamanya memfasilitasi koordinasi otak kiri dan kanan.

Dalam kehidupan manusia banyak kegiatan yang memerlukan koordinasi antara otak kiri dan kanan. Salah satunya adalah membaca dan menulis. Artinya, dalam kegiatan membaca dan menulis, anak perlu peran corpus callosum.

Umumnya corpus callosum ini baru berkembang secara penuh pada usia 7 tahun. Anak yang dipaksa calistung pada usia 2-5 tahun yang perkembangan corpus callosum-nya belum siap, cenderung akan mengalami trauma. Hasilnya anak memang akan bisa membaca, tetapi tidak dengan cinta membaca. Bisa menulis, tapi cenderung tidak mampu menghasilkan tulisan yang berkualitas. Hal seperti inilah yang tentu tidak kita harapkan.

Lagi pula, dengan Kurikulum Merdeka kini capaian pembelajaran (CP) di SD Kelas 1 pada semester pertama untuk Bahasa Indonesia tak lagi menuntut anak untuk bisa membaca dan menulis lancar. Kita bisa lacak dari CP untuk membaca, yakni peserta didik mampu bersikap menjadi pembaca dan pemirsa yang menunjukkan minat terhadap teks yang dibaca atau dipirsa. Itu artinya, anak hanya fokus pada penanaman minat baca. Ini penting, karena harus kita tanamkan cinta membaca sejak dini.

Kemudian tahap lanjutannya, peserta didik mampu membaca kata-kata yang dikenalinya sehari-hari dengan fasih. CP ini yang dulunya diajarkan di TK. Tahap membaca permulaan. Sekarang baru diajarkan di SD Kelas 1 awal. Ini berarti selaras dengan tingkat kemampuan otak anak usia 7 tahun.

Sedangkan untuk CP menulis, peserta didik mampu menunjukkan keterampilan menulis permulaan dengan benar (cara memegang alat tulis, jarak mata dengan buku, menebalkan garis/huruf, dll). Tahap lanjutannya, peserta didik mengembangkan tulisan tangan yang semakin baik. CP ini berarti mengajak anak untuk siap menulis dengan baik. Menulis adalah sebuah keterampilan. Jadi, di kelas 1 SD awal penting ditekankan sikap dan cara yang benar dalam menulis. Bukan langsung diajari menulis kalimat hingga teks singkat.

Kesiapan Belajar Anak
Maka itu, jelas sekali penghapusan tes calistung dimaksudkan agar guru-guru SD memperhatikan dengan bijak masalah kesiapan belajar anak. Secara yuridis formal, anak masuk SD hanya berdasarkan usia calon murid. Jadi, apabila ada siswa di kelas 1 belum bisa calistung, maka guru hendaklah menerimanya sebagai bagian dari keberagaman kemampuan murid.

Guru kelas 1 haruslah mendasarkan pembelajaran pada CP Kurikulum Merdeka. Bahwa anak masuk kelas 1 tidak dituntut untuk bisa calistung. Maka, guru bisa memulai pembelajaran dengan memakai asesmen diagnostik. Sehingga akan diperoleh informasi awal soal kemampuan anak baik dari segi kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Yang kemudian guru bisa menerapkan pembelajaran berdiferensiasi (berdasar kebutuhan siswa).

Selain itu, guru perlu mencermati buku-buku bacaan bagi siswa kelas awal SD, terutama kelas 1. Demikian juga soal-soal ujian, baik evaluasi tengah semester maupun evaluasi akhir semester. Semua itu harus disesuaikan agar ramah calistung bagi siswa kelas 1.

Bagi pihak guru-guru di PAUD/TK, harus mengubah pola mengajarnya yang disesuaikan dengan tumbuh kembang anak. Para guru PAUD/TK perlu mendasarkan pembelajaran yang mendukung kesiapan anak untuk sekolah dan melanjutkan ke level pendidikan lebih tinggi. Seperti mendasarkan pada aspek sosio-emosional, kognitif, bahasa, fisik motorik, dan kemampuan eksekusi (bisa mengambil keputusan dan tahu hal yang harus dilakukan dalam konteks situasi tertentu).

Karena itu, pembelajaran calistung hendaknya dikemas dalam kegiatan yang aktif, interaktif, dan bukan berupa latihan terus-menerus (drilling). Daripada menyuruh siswa menghafal dan menjiplak huruf, lebih mengasyikkan membuat permainan mengenai nama-nama benda, seperti buah-buahan yang di dalamnya disusupkan pengenalan abjad.

Bisa juga mengajak anak menggambar kereta api, lalu ia diminta menghitung jumlah gerbong dan menceritakan kereta tersebut dari mana dan hendak ke mana. Dengan cara-cara seperti itu, guru bisa menilai berbagai elemen kecerdasan seperti, penguasaan tata bahasa, kepercayaandiri, dan kemampuan kognitif anak.

Intinya begini, tidak perlu kita paksa anak untuk menghafal angka dan huruf di usia dini. Agar kelak anak tak menganggap calistung sebagai hal yang membosankan. Selain itu di PAUD/TK, mestinya yang lebih dikembangkan adalah kemampuan psikomotorik dan afektifnya. Sebagai contoh, kemampuan emosi, kemandirian, kemampuan berinteraksi, dan sebagainya.

Akhir kata, kini dengan Kurikulum Merdeka yang membiarkan anak tumbuh kembang sesuai kodratnya. Anak dimerdekakan dari tuntutan akademis yang terlalu dini. Sudah tidak ada alasan lagi untuk memaksa anak belajar calistung sebelum mereka siap. Begitu.

———– *** ————–

Rate this article!
Tags: