Dibalik Polemik Biaya Haji

Oleh:
Ubed Bagus Razali, S.H.I., S.H.
( Calon Jamaah Haji )

Kepastian kuota haji sebesar 221.000 jamaah tanpa adanya pembatasan usia yang diperoleh Indonesia pada tahun 2023 tentu saja disambut suka cita oleh seluruh umat muslim yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, khususnya para calon jamaah haji yang selama ini telah mengantri. Sebab, pada tahun 2020 dan 2021 lalu ibadah haji tidak dapat dilakukan akibat pandemi covid-19 dan baru diselenggarakan kembali pada tahun 2022 dengan kuota yang hanya mencapai 100.051 jamaah dan adanya pembatasan usia maksimal 65 tahun bagi calon jamaah haji. Sehingga, hal itu menyebabkan masa tunggu keberangkatan bagi calon jamaah haji di Indonesia menjadi semakin lama, hingga mencapai 97 tahun. Namun, dengan adanya kenaikan kuota haji sebesar 100% pada tahun 2023 maka hal tersebut diyakini mampu menekan laju antrian keberangkatan calon jamaah haji di Indonesia.

Seiring dengan adanya kepastian kuota haji yang diterima oleh Indonesia pada tahun 2023, maka persiapan untuk penyelenggaraan ibadah haji pun mulai dilakukan oleh Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) dengan cara mengusulkan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh setiap calon jamaah haji ketika pelunasan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sesuai ketentuan Pasal 47 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh, DPR memiliki waktu selama 60 hari untuk membahas, mengkaji, dan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap usulan Bipih yang disampaikan oleh Pemerintah melalui Menteri Agama pada tanggal 19 Januari 2023 yang lalu.

Pada tahun 2023 ini, Pemerintah mengajukan skema komposisi 70 persen Bipih yang harus dibayar oleh calon jamaah haji dan 30 persen nilai manfaat dari hasil investasi dana haji (70:30). Sementara, pada tahun 2022, skema komposisi pembiayaan haji ialah 40 persen Bipih yang harus dibayar oleh calon jamaah haji dan 60 persen nilai manfaat dari hasil investasi dana haji (40:60). Sehingga, usul besaran Bipih yang rata-rata mencapai Rp. 69.193.733 atau 70% dari total seluruh Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp. 98.893.909 tersebut menuai polemik di tengah masyarakat.

Di satu sisi, banyak kalangan masyarakat yang setuju dengan usulan besaran Bipih tersebut mengingat kemampuan fisik dan keuangan (istitha’ah) termasuk salah satu syarat wajib di dalam menunaikan ibadah haji, selain Islam, dewasa (baligh), berakal, dan merdeka. Namun, di sisi lain tidak sedikit anggota masyarakat yang keberatan dengan usul Bipih tersebut. Sebab, kenaikannya yang sangat signifikan hingga 73,48% atau Rp. 29.307.724 dari tahun sebelumnya yang rata-rata hanya Rp. 39.886.009, dinilai akan sangat memberatkan bagi setiap calon jamaah haji.

Padahal, besaran Bipih yang dibayar calon jamaah haji selama ini tidak pernah mengalami kenaikan yang sangat signifikan, seperti pada tahun 2016 rata-rata hanya sebesar Rp. 33.962.500, pada tahun 2017 rata-rata hanya mencapai Rp. 34.890.312, dan pada tahun 2018 serta tahun 2019 rata-rata hanya sebesar Rp. 35.235.602. Apalagi, Pemerintah Arab Saudi telah menurunkan biaya Masyair (transportasi dan akomodasi jamaah haji dari Mekkah ke Arafah untuk jamaah haji dari luar Arab Saudi), dari yang sebelumnya sebesar 5.656,87 SAR menjadi 4.632,87 SAR atau turun 1.024 SAR (Rp. 4.161.000).

Meski demikian, pemanfaatan dari nilai manfaat hasil investasi dana haji sejak tahun 2010 hingga 2022 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan kepada jamaah haji hanya Rp. 4,45 juta. Sementara Bipih yang harus dibayar oleh jamaah haji sebesar Rp 30,05 juta. Dengan, demikian komposisi nilai manfaat hanyalah 13 persen, sedangkan Bipih 87 persen (13:87). Pada perkembangannya, komposisi nilai manfaat terus membesar hingga menjadi 19 persen (pada tahun 2011 dan 2012), 25 persen (pada 2013), 32 persen (tahun 2014), 39 persen (tahun 2015), 42 persen (tahun 2016), 44 persen (pada 2017) dan 49 persen (tahun 2018 dan 2019). Sehingga, apabila skema pembiayaan sebesar 40:60 ini diteruskan, maka dikhawatirkan seluruh nilai manfaat dana setoran awal jamaah akan tergerus habis sebelum tahun 2027.

Biaya haji bukan hanya sekedar biaya Masyair, tetapi juga terdapat komponen-komponen lain, seperti: penerbangan, transportasi, akomodasi, konsumsi, pembinaan, perlindungan jamaah, pelayanan keimigrasian, dokumen perjalanan, dan sebagainya. Kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 15% untuk setiap komoditi barang serta General Authority of Zakat and Tax (GAZT) atau semacam Pajak Penghasilan (PPh) untuk perseorangan sebesar 2,5% dan PPh untuk Badan Hukum mencapai 20% turut menentukan besar kecilnya biaya haji.

Adanya pengaruh inflasi global yang membuat biaya hotel di Arab Saudi sejak akhir tahun 2022 lalu terus merangkak naik hingga 30 persen dan depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (USD) dan riyal Saudi Arabia (SAR), dimana konversi harga mata uang rupiah tahun lalu yang hanya Rp. 14.500 per-dollar dan Rp. 3.850 per-riyal, namun saat ini telah menyentuh angka Rp. 15.000 per-dollar dan Rp. 4.000 per-riyal menyebabkan biaya haji tahun 2023 ini mengalami kenaikan, dari yang sebelumnya pada tahun 2022 hanya Rp. 98.379.021 menjadi Rp. 98.893.909.

Meskipun biaya haji itu hanya naik Rp. 514.888, namun dengan adanya rencana perubahan formula komposisi pembiayaannya, maka biaya yang harus dibayar oleh setiap calon jamaah haji justru terlihat mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Sehingga, hal itu dikhawatirkan dapat memicu banyaknya calon jamaah haji yang tidak akan bisa berangkat ke tanah suci.

Untuk itu, maka Pemerintah melalui Kementerian Agama diharapkan dapat menghitung kembali dan melakukan efisiensi pada setiap rincian structure cost biaya haji dan persentase nilai manfaat yang diperoleh dari hasil investasi setoran awal dana haji guna diberikan kepada jamaah haji sebagai subsidi di dalam pembiayaan haji. Sehingga, nantinya haji haji akan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dengan tetap dapat menjaga keberlangsungan nilai manfaat yang berkeadilan di dalam pembiayaan haji bagi seluruh calon jamaah haji.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: