Pembelahan Sipil – Militer serta Coat-tail Effect Jokowi

Oleh :
Zunaidi Abdulloh M.A,
Peneliti di National Activist Network for Democracy and Electoral Assessment (NANDEA)

Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hasil pilpres yang diajukan pasangan Anis-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud membuat presiden terpilih telah definitif.Namun perdebatan mengenai faktor – faktor yang mempengarui kemenangan Prabowo-Gibran belum difinitif.Masih menarik diperbincangkan sampai saat ini.

Banyak pihak mengkaitkan coat-tail effectJokowi berkontribusi besar terhadap kemenangan Prabowo. Alasanya, menurut beberapa lembaga survei, ketidakpuasan masyarakat kepada Jokowi diantara 20 sampai 30 persen.Mereka itulah yang memilih Anis.Sebab Anis memposisikan diri sebagai anti tesis Jokowi.Sedangkan pemilih yang menyatakan puas terhadap Jokowi diantara 70- 80 persen.Pemilih yang puas terhadap Jokowi, 58 persen memilih Prabowo dan 16 persen memilih Ganjar.Mayoritas masyarakat yang puas kepada Jokowi lebih memilih Prabowokarena Iamemposisikan diri secara penuh sebagai pelanjut Jokowi.Sedangkan posisi Ganjar terlihat sangat abu – abu.Sebab Ganjar mengusung keberlanjutan sekaligus perbaikan.

Saya tidak melihat kemenangan Prabowo karena coat-tail effectJokowi, baik yang bersumber dari karisma individu, gagasan besar (ideologi) atau modal sosial Jokowi. Capres tunggal dari dari kalangan militermerupakan faktor yang membuat ketokohan Prabowo sangat kuat.

Buktinya,hasil survei yang dirilis oleh Politika Research and Consulting dan Parameter Politik Indonesia (PPI) pada Februari 2020, pasangan militer-sipil disukai oleh 30,9 persen responden. Survei yang dilakukan Kompas pada Februari 2023 menunjukan, 23,6 pesen responden menginginkan capres yang punya latar belakang militer. Jumlah tersebut paling signifikan bila dibandingan dengan tokoh dari kalangan lainya.Bahkan tokoh agama hanya disukai 10.5 persen responden.Padahal tokoh agama biasanya aktif dilembaga keagamaan yang memiliki puluhan juta anggota.Butinya lagi, setiap pilpres diadakan selalu ada tokoh militer yang mendapat suara sangat signifikan.

Pembelahan antara sipil dan militer sangat eksis dalam penilaian pemilih karena tokoh – tokoh dari dua kelompok ini mampu mengisi kepemimpinan nasional (presiden) dalam waktu yang lama dan bergantian.Sokarno (sipil) selama 23 tahun dan Soeharto (militer) selama 32 tahun lalu dari kalangan sipil (Habibie, Gus Dur, dan Megawati) selama 6 tahun 5 bulan. Ini membuat figur dari sipil dan militer paling membekas dalam ingatan pemilih dan paling mungkin dibanding – bandingan dan dinilai.

Ada gejala, saat masyarakat mulai bosan terhadap presiden dari kalangan sipil, tokoh militer yang terpilih sebagai presiden dan sebaliknya.Buktinya, sejak pilpres secara langsung dilaksanakan mulai tahun 2004, terjadi siklus pergantian presiden dari sipil ke militer dan dari militer ke sipil dalam setiap 10 tahun.

Gempuran yang bertubi-tubi terhadap kebijakan dan moralitas Jokowi menjelang digelarnya pemilu 2024 semakin memperburuk citra pemimpin dari kalangan sipil.Kondisi ini semakin memperkuat elektabilitas Prabowo.Keberadaan Gibran tidak berpengaruh terhadap penurunan elektabilitas Prabowo lantaran posisi Gibran hanya sebagai wakil.Selama ini, wakil presiden terlihat tidak memiliki banyak peran.Ini membuat faktor Gibran menjadi tidak penting dalam penilaian pemilih.

Saat ini, saya melihat masyarakat sedang bosan terhadap kepemimpinan Jokowi.Meskipun menurut beberapa lembaga survei tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi sangat tinggi, tapi sumber kebosanan tidak hanya datang dari ketidakpuasan.Kepuasan lama-kelamaan juga bisa mendatangkan kebosanan.Ibaratnya, seseorang sedang bosan terhadap buah durian karena sudah sering terpuaskan oleh nikmatnya buah durian.

Tingkat kepuasan publik yang tinggi terhadap Jokowi tidak otomatis mencerminkan Ia lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Faktanya dari aspek yang bertalian dengan hajat hidup orang banyak, pemerintahan SBY lebih baik daripada pemerintahan Jokowi seperti dalam hal ketersediaan dan mahalnya harga pupuk.Terjadinya kenaikan biaya hidup, harga kebutuhan makanan pokok dan sumbangan pendidikan.Peningkatan pendapatan rata-rata individu secara nasional (PDP perkapita) cenderung lebih lambat dibanding pada masa SBY.Pada masa Jokowi Naik 78 persen.Sedangkan pada masa SBY naik 264 persen.

Stabilitas sosial dan politik semakin rentan.Kebebasan berpendapat semakin terancamdan penegakan hukum semakin lemah.Ini menandakan sebagian kepuasan publik terhadap Jokowi sebagaimana yang terekam dalam beberapa surveimerupakan kepuasan semu. Sebab muncul dari persaan responden yang sedang mengalami toxic positivity (cenderung memandang negatif, jahat atau tidak enak hati saat mengungkapkan perasaan ketidakpuasan atau ketidaksukaan terhadap seseorang kepada kepada orang lain).

Sebagian pemilih yang sedang bosan akan membandingkan peforma kepemimpinan saat ini dengan kepemimpian sebelumnya.Ketika kepemimpinan sebelumnya dianggap lebih baik, pemilih akanmemilih pemimpin yang identik dengan pemimpin sebelumnya. Masyarakat inilah yang memilih Prabowo pada pemilu Februari 2024.Sebab secara visual Prabowo sangat identik dengan SBY. SBY menjadi cerminan masyarakat dalam memilih Prabowo karenamunculnya stigma dari imajinasi kolektif pemilih, yaitu gaya dan keberhasilan kepemimpinan SBY adalah gaya dan keberhasilan kepemimpinan berlatar militer. Kebetulan SBY dan Prabowo sama – sama punya latar belakang militer dan sama – sama terlihat tegas.

Memang elektabilitas Prabowo terlihat lebih unggul daripada AHY – tokoh muda dari kalangan militer dan anak kandung SBY.Itu bisa terjadi karena tingkat pengenalan masyarakat pada Prabowo lebih lama karena Prabowo lebih banyak ikut pemilu daripada AHY.Prabowo juga lebih senior sehingga terlihat lebih matang daripada AHY.

Keberhasilan Prabowo dalam memimpin Indonesia kedepan berpotensi menjadi coat-tail effect bagi capres yang memiliki latarbelakang militer setelah Prabowo meskipun beda partai. Kondisi ini seperti dialami oleh SBY pada pemilu 2004 yang mendapatkan coat-tail effect dari Soeharto.

Meskipun secara naratifPrabowo didukung Jokowi dan mengusung isu keberlanjutan, tetapi secara visual Prabowo dengan Jokowi itu tidak identik.Prabowo militer (secara aliran lebih netral).Sedangkan Jokowi Sipil-Nasionalis.Prabowo tegas.Sedangkan Jokowi kalem.Prabowo Kaya dan Rapi.Sedangkan Jokowi sederhana.Dalam kondisi sebagian besar masyarakat yang kurang inten pada isu politik, adanya fenomena filter bubble, dan echo chamber dalam ruang digital membuat penilaian masyarakat pada kandidat semakin sederhana, pendek dan simbolis.Ini membuat aspek visual lebih berpengaruh dari pada aspek naratif.

Sebagian masyarakat yang bosan dengan pemerintahan sekarang akan memilih pemimpin yang menawarkan perubahan. Inilah yang memilih Anis.Jumlanya lebih sedikit karena bercermin pada capres yang identik dengan pemerintahan sebelum Jokowi yang lebih berhasil itu lebih kongrit.

Lagi pula, kepemimpinan Anis di Jakarta hanya bisa dirasakan oleh sebagian warga Jakarta.Lantaran banyak isu yang disampaikan oleh Anis ke Publik.Ini membuat gagasan perubahan dan keberhasilan Anis di DKI Jakarta menjadi abstrak, kurang kongret, tidak membekas pada ingatan dan imajinasi kolektif pemilih.Ini jugasemakin mempertegas stigma “Anis lebih pandai bicara daripada kerja”.

Sedangkan masyarakat yang tidak bosan terhadap kepemimpinan saat ini cenderung memilih pemimpin yang identik dengan presiden saat ini.Inilah yang memilih Ganjar.Secara visual (pandangan mata) Jokowi dan Ganjar itu sangat identik. Keduanya sama – sama tokoh nasionalis, dikader dan disebesarkan oleh PDIP, berasal dari kalangan bawah, secara kultural sama – sama dari Jawa Tengah bagian selatan.

Meskipun terjadi pertengkaran antara Jokowi denganrelawan Ganjar dan PDIP menjelang pemilu, tapi pertengkaran ini kurang berpengaruh pada pemilih, terutama kelas menengah ke bawah.Sebab mereka kurang inten mengkonsumsi berita politik.Lagi pula pertengkaran tersebut tidak bertalian dengan hajat hidup orang banyak.

Semua pertengkaran itu bermuara pada pencalonan Gibran semata.Bukankahsebelum itu, selama hampir 9 tahun, saat Jokowi dikritik oleh aktivis, akademisi danpolitisi, kader – kader PDIP tampil pada barisan terdepan membela Jokowi. Kader-kader PDIP juga selalu tampak bangga dan kerap mempromosikan keberhasilan Jokowi.

———— *** ————–

Tags: