Halal Lebih “Mem-bumi”

Tanda produk “halal” dengan logo baru, wajib di-cantum-kan pada setiap produk makanan dan minuman. Termasuk obat, dan vaksin. Seluruh prosedur regulasi (Peraturan Pemerintah sampai Peraturan Menteri) telah diterbitkan. Begitu pula mengurus sertifikasi “halal” dijamin mudah, dan transparan, antara lain melalui online. Ke-halal-an, dulu menjadi domain MUI (Majelis Ulama Indonesia), tetapi kini menjadi tanggungjawab pemerintah (Kementerian Agama). Walau penelitian ke-halal-an tetap dilaksanakan MUI sebagai penguji.

UU Nomor 33 Tahun 2013 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH), meng-amanat-kan jaminan produk halal dilaksanakan oleh Menteri. Berdasar UU JPH pasal 5 ayat (3) Kementerian Agama telah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Label logo “halal” menjadi mandatory (kewajiban) berdasar UU JPH. Pada pasal 37, BPJPH diberi hak penetapan label halal yang berlaku selingkup nasional. Selama ini logo lama bukan dibuat oleh BPJPH.

Pemerintah (melalui BPJPH) kini mengubah logo “halal” dengan aksen lebih “mem-bumi.” Bentuk logo menggunakan artefak budaya yang memiliki ciri khas unik, dan berkarakter kuat. Serta me-representasi-kan Halal Indonesia. Logo berbentuk gunungan wayang kulit. Bisa pula nampak sebagai surjan (baju laki-laki khas Jawa). Bentuk gunungan tersusun berupa kaligrafi huruf arab yang terdiri dari Ha, Lam-alif, dan Lam. Ketiga huruf tersusun dalam satu rangkaian membentuk kata “halal.” Lebih indah dibanding logo lama.

Logo baru juga memiliki warna utama ungu, dan warna sekunder hijau toska. Penggunaan logo baru sekaligus menggantikan logo lama, berdasar Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. UU Tentang JPH pada pasal 39, menyatakan “Pencantuman Label halal … harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.” Terdapat frasa kata “mudah dilihat dan dibaca” sebagai perlindungan awal konsumen (tidak ragu tercampur bahan haram).

Ke-halal-an produk konsumsi menjadi urusan tanggungjawab negara terhadap rakyatnya. Pemerintah (melalui Kementerian Agama) memiliki kewenangan tunggal sertifikasi “halal.” Itu sebagai upaya perlindungan konsumen terhadap seluruh produk makanan dan minuman, serta berbagai jenis obat-obatan. Termasuk bahan vaksinasi, dan imunisasi. Sertifikasi akan tetap bekerjasama dengan MUI sekaligus pemberi rekomendasi utama (penentu) kepada pemerintah.

Pada masa lalu, sertifikasi halal diterbitkan oleh MUI (sejak Januari 1989). Kinerja “stempel” halal MUI telah diakui secara luas di berbagai belahan dunia dan dikenal paling ketat. Sertifikasi halal diberikan terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika. Ada pula sertifikat halal untuk proses produksi (misalnya rumah potong hewan dan produk ayam potong). Juga sertifikasi ke-halal-an proses dan bahan obat-obatan (misalnya vaksin).

Bahkan jasa keuangan (perbankan dan asuransi) juga tak luput dari sertifikasi halal (berdasar syariah). Dalam hal ini BPJS, konon, belum memperoleh sertifikasi “syariah.” Diantaranya, pengelolaan dana yang dikumpulkan oleh BPJS, belum dijelaskan pada tim syariah MUI. Sehingga banyak masyarakat belum menjadi peserta BPJS (Kesehatan) milik pemerintah. Sedangkan muslim yang kaya memilih asuransi (swasta) berdasar syariah, diluar BPJS.

UU tentang Jaminan Produk Halal, me-wajib-kan setiap produsen makanan, minuman, berbagai jenis obat, mengurus sertifikasi “halal.” Melalui Kerjasama dengan Pemerintah Daerah, BPJPH me-mudah-kan proses sertifikasi halal. Biasanya pendampingan daerah dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Koperasi dan UMKM. Terutama untuk kalangan usaha mikro dan ultra mikro (UMUM). Termasuk warung makan, serta industri kecil skala rumah tangga unit makanan dan minuman.

Pencantuman label “halal” yang diterbitkan BP-JPH, akan menenteramkan konsumen. Termasuk untuk kepentingan vaksinasi dan imunisasi.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: