Harga Pakan Melambung, Peternak Limbung

Oleh :
Sutawi
Dosen Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang

Seorang peternak di Blitar ditangkap aparat keamanan ketika membentangkan poster meminta bantuan kepada Presiden Jokowi (Selasa, 7/9/2021) terkait tingginya harga jagung beberapa bulan terakhir. Peternak ayam Blitar memang sangat berkepentingan terhadap masalah harga jagung karena Blitar merupakan sentra populasi dan produksi telur Jawa Timur, bahkan Indonesia. Populasi ayam petelur di Jawa Timur tahun 2020 sebanyak 96,543 juta ekor (32,55%) dari populasi ayam petelur nasional 281,108 juta ekor dengan produksi telur mencapai 1.732.437 ton (32,56%) dari 5.044.395 ton produksi telur nasional. Kabupaten Blitar memberikan kontribusi terbesar yaitu 32,76% terhadap populasi dan 33,82% terhadap produksi telur di Jawa Timur.

Dalam mengelola bisnis ayam petelur, peternak berada pada posisi terjepit antara biaya dan harga (farm cost-price squeeze). Biaya sarana produksi peternakan cenderung meningkat, sementara harga jual telur sangat berfluktuasi. Dalam struktur biaya produksi ayam petelur, biaya pakan memiliki peran 70% dalam perhitungan harga pokok produksi (HPP). Komponen utama (sekitar 50-60%) pakan ayam adalah jagung. Harga jagung mengalami kenaikan harga sejak awal tahun 2021. Harga jagung yang semula Rp 4000-an per kg melejit menjadi Rp 6000-7000an per kg saat ini. Akibatnya, harga pakan pun melambung melampaui Rp 8000 per kg. Tingginya harga jagung disebabkan masih belum optimalnya produksi jagung di dalam negeri dan adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diduga berdampak pada kenaikan biaya logistik jagung antar daerah. Sementara itu, harga jagung dunia selama satu tahun terakhir juga mengalami kenaikan sebesar 90-100% dari USD 135 per ton pada Juli 2020 menjadi USD 272 per ton pada Juni dan USD 260 per ton pada Juli 2021. Meski harga jagung naik, Kemendag memastikan tidak akan melakukan importasi jagung untuk kebutuhan pakan ternak. Pemerintah memilih melakukan substitusi jagung dengan gandum impor sebesar 300.000 ton.

Kenaikan harga pakan ternyata diperparah dengan fluktuasi harga telur yang cenderung menurun. Perbandingan ideal harga pakan dan harga telur adalah 1:3. Kalau harga pakan Rp 8.000 per kilogram, maka harga telur di kandang idealnya Rp 24.000 per kilogram. Harga telur di pasaran sempat mencapai level tertinggi sebesar Rp 25.000 per kilogram pada pertengahan April 2021, sedangkan harga terendah beberapa hari ini mencapai Rp 15.000 per kilogram. Dengan harga serendah itu, peternak mengalami kerugian sekitar Rp 3000-4000 per kg. Harga telur ayam di tingkat peternak saat ini di kisaran Rp 16.000-Rp 17.000 per kilogram. Harga tersebut jauh di bawah harga acuan pemerintah sebesar Rp 19.000-Rp 21.000 per kilogram, berdasarkan ketentuan Permendag Nomor 7 Tahun 2020. Ketimpangan antara HPP dan harga telur sudah terjadi sejak pemberlakuan PPKM yang terus diperpanjang.

Masalah harga pakan yang mahal merupakan pandemi berkala pada industri ayam yang tidak pernah jelas solusinya. Harga pakan mahal hampir selalu disebabkan ketersediaan jagung dalam negeri yang tidak mampu memenuhi kebutuhan industri pakan. Diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri dan bibit. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan pakan dibanding sebagai bahan pangan. Mengutip data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), serapan jagung untuk pakan ternak pada 2020 mencapai 6,5 juta ton dan menghasilkan pakan ternak dengan volume total 14,85 juta ton. Artinya, kandungan jagung dalam pakan ternak mencapai 43,7 persen.

Kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan ternak dipenuhi dari produksi nasional dan jagung impor. Produksi jagung nasional sebenarnya sudah mencapai tingkat swasembada dengan nilai SSR (Self Suffinciency Ratio) sebesar 98%. Nilai SSR tersebut berarti bahwa produksi jagung domestik telah mampu memenuhi 98% kebutuhan dalam negeri, sedangkan ketergantungan terhadap jagung impor hanya 2%. Impor jagung tahun 2015-2019 dibatasi oleh pemerintah dengan tujuan produksi jagung dalam negeri dapat terserap oleh industri pakan. Impor jagung diperlukan jika produksi nasional kurang mencukupi untuk kebutuhan pabrik pakan. Volume impor jagung tahun 2016 menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 61,96% atau sebesar 1,33 juta ton dari tahun sebelumnya 3,50 juta ton dan tahun 2017 relatif rendah 46,34% atau sebesar 714,50 ribu ton. Pada tahun 2018 dan 2019, volume impor jagung kembali meningkat sebesar 60,98% atau sebesar 1,15 juta ton dan 25,49% atau sebesar 293,21 ribu ton. Hingga bulan Juli 2020 impor mencapai 724,21 ribu ton atau masih rendah dari perode tahun 2019.

Pada sisi konsumsi, penurunan harga telur tidak serta merta diikuti kenaikan permintaan dan konsumsi telur karena pendapatan masyarakat juga menurun selama pandemi Covid-19. Konsumsi telur penduduk Indonesia saat ini sebanyak 6,78 kg/kapita/tahun, lebih rendah dibandingkan Malaysia 17,9 kg, Singapura 17,7 kg, dan Thailand 12,4 kg. Harga yang lebih mahal dan pendapatan penduduk yang lebih rendah menyebabkan konsumsi produk peternakan penduduk Indonesia lebih rendah dibanding beberapa negara tetangga. Penurunan pendapatan mendorong penduduk mengutamakan konsumsi makanan pokok beras dan sumber protein nabati dan ikan yang lebih murah dibanding produk peternakan.

Pandemi Covid-19 berpotensi menurunkan konsumsi produk peternakan. Pertama, pengangguran meningkat. Pemerintah memperkirakan sebanyak 1,8-3,78 juta orang Indonesia akan jatuh miskin selama pandemi Covid-19. Peningkatan pengangguran menyebabkan penurunan pendapatan dan daya beli, ditambah gangguan rantai pasokan produk peternakan, pada gilirannya akan memberi tekanan pada kualitas dan kuantitas konsumsi produk peternakan. Kedua, selama pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir 2 tahun, perekonomian nasional yang mengalami kontraksi minus 2,09%. Penurunan 1% pertumbuhan ekonomi menyebabkan peningkatkan kemiskikan dan rawan pangan sebesar 1,6% and 3,0% (Vos et al., 2020). Penyusutan ekonomi Indonesia menyebabkan jumlah penduduk miskin dan rawan pangan diperkirakan meningkat 6,9-9,9% (Hermanto, 2020).

———- *** ———–

Tags: