Insan Lembaga Antikorupsi Melakukan Korupsi?

Oleh :
Moch Choirul Rizal
Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah IAIN Kediri.

Miris. Sebagian insan yang bekerja di lembaga antikorupsi justru melakukan korupsi. Ya, 90 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbukti bersalah melakukan praktik pengutan liar (pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) KPK.

Para pegawai tersebut melanggar Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK. Sebanyak 78 orang pegawai mendapatkan sanksi etik berat berupa sanksi moral, yaitu permintaan maaf secara terbuka dan langsung. Sisanya, diserahkan ke Sekretariat Jenderal (Sekjend) KPK untuk pemeriksaan dan penyelesaian lebih lanjut.

Sebagaimana rilis beberapa media, nilai total pungli mencapai Rp 6 miliar. Terjadi di tiga Rutan KPK: C1, Gedung Merah Putih, dan Guntur. Dalam praktik culas itu, ada istilah dan peran “lurah” untuk menyebut orang yang paling senior di Rutan KPK. Memalukan!

Pungli itu Korupsi?
Beberapa pihak menyayangkan ringannya hukuman yang diterima oleh para pegawai culas tersebut. Mereka hanya dihukum meminta maaf secara terbuka dan langsung. Itupun dilakukan melalui kanal internal KPK. Meskipun, masih ada sanksi disiplin yang disiapkan oleh Sekjend KPK.

Publik perlu memahami, hukuman tersebut masih dalam ranah pelanggaran etik. Pada ranah yang demikian, jelas tidak ada pemidanaan. Saat ini, kita masih perlu membedakan antara penegakan etika dengan penegakan hukum. Keduanya mempunyai prosedur dan jenis sanksi yang berbeda.

Untuk dapat memidana para pegawai itu, maka mekanisme hukum acara pidana harus ditempuh. Mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga kemudian putusannya berkekuatan hukum tetap. Prosesnya relatif panjang.

Apabila proses penegakan hukum pidana ditempuh, maka perlu juga untuk memastikan tindak pidana apa yang mereka lakukan. Dengan kata lain, perbuatan pungli yang terbukti di sidang pelanggaran etik harus memenuhi unsur-unsur pasal tindak pidana menurut undang-undang yang berlaku.

Penulis pernah menulis di koran ini tentang pemerasan yang kemudian diformulasikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana tersebut dirumuskan di dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertanyaannya, apakah pungli termasuk sebagai pemerasan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pungutan berarti “barang apa yang dipungut” atau “pendapatan dari memungut”. Sementara itu, liar diartikan, salah satunya, “tidak teratur; tidak menurut aturan (hukum)”; atau “tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yang berwenang”. Di laman KPK menyebutkan, pungli adalah pendapatan dari memungut yang tidak sesuai dengan aturan hukum alias tidak resmi.

Dengan begitu, pungli termasuk sebagai pemerasan. Apabila subjeknya adalah para pegawai KPK yang terbukti melakukan pungli, maka Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, misalnya, dapat diterapkan. Pidananya cukup berat: seumur hidup atau pidana penjara antara 4 (empat) tahun hingga 20 (dua puluh tahun). Belum lagi pidana dendanya yang bersifat kumulatif dengan pidana penjara: minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Ke Depan
KPK berjanji berbenah. Inspeksi mendadak dan memperbanyak CCTV sudah direncanakan. Di samping itu, lembaga antirasuah tersebut juga akan melakukan rotasi pegawai. Di sisi yang lain, ada pula tawaran untuk memperbaiki proses rekrutmen.

Bersih-bersih di KPK akan menuai hasil, apabila, pertama, keteladanan dari pimpinan kembali dihadirkan. Mengutip tulisan Franz H. Winarta (2009: 231-232), seharusnya pemimpin memberikan teladan kepada bawahannya untuk hidup sederhana, berwibawa, berwawasan, punya leadership, dan tentunya antikorupsi.

Sayangnya, wajah kepemimpinan di KPK akhir-akhir menjadi suram. Pasalnya, dua mantan komisioner KPK justru terjerat pelanggaran etik: Lili Pintauli Siregar dan Firli Bahuri. Bahkan, Firli Bahuri, kini ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian.

Keteladanan menjadi suluh di jalan penegakan hukum yang kadang gelap gulita. Pimpinan yang berintegritas dan profesional akan memandu dan memancarkan cahaya kepada bawahannya untuk memastikan: yang benar adalah benar; yang salah adalah salah.

Kedua, penegakan hukum. Artinya, para pegawai yang melakukan pungli tidak cukup hanya mendapatkan sanksi etik dan disiplin, tetapi juga pidana. Instrumen hukumnya telah tersedia. Dengan begitu, tinggal menunggu gerak langkah aparat penegak hukumnya. Dalam hal ini, integritas dan profesionalitas aparat penegak hukum pidana dipertaruhkan.

Dulu, pernah terbentuk, misalnya, Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Satgas itu bermaksud untuk memberantas pungli mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah. Tapi, keberadaannya relatif tidak berkelanjutan. Itu apabila tidak mau disebut musiman.

Oleh karenanya, ketiga, penguatan partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam kerja-kerja antikorupsi menjadi suatu keniscayaan. Menurut Eggy Sudjana (2008: 71), dukungan masyarakat melalui partisipasi yang aktif menjadi sangat menentukan keberhasilan bersih-bersih pungli di KPK.

Untuk itu, negara perlu memberikan jaminan pelindungan bagi masyarakat. Aparat penegak hukum harus mampu membuka wawasan dan lebih jeli terhadap pelaporan terkait pencemaran nama baik, fitnah, maupun penghinaan apabila berhubungan dengan kerja-kerja antikorupsi. Begitu yang biasanya kita suarakan: hentikan kriminalisasi!

———– *** ————

Tags: