Jihad Santri 1945

Pengungkapan “kejujuran” sejarah perang sabil (revolusi) Surabaya 10 November 1945, semakin menguat. Diakui, perang suci dimulai dengan terbitnya resolusi Jihad melawan penjajah, di-fatwa-kan tahun 1945, pada 22 Oktober 78 tahun lalu, di Surabaya. Resolusi jihad menjadi kesepakatan dalam forum majelis ulama NU se-Jawa dan Madura. Kewajiban jihad perang revolusi melawan penjajah kolonial, dinyatakan oleh Rois Akbar (Ketua Besar) Syuriyah NU, hadratus-syeh Hasyim Asy’ary.

Peringatan resolusi jihad, ditandai sebagai Hari Santri Nasional (HSN), setiap tanggal 22 Oktober. Pada HSN (ke-9) tahun 2023 dipusatkan di Surabaya, dengan apel kepahlawanan jihad kepahlawanan santri, di arena Tugu Pahlawan. Presiden Jokowi akan menjadi Inspektur Upacara. HSN bertema, “Jihad Santri Jayakan negeri.” Beberapa rangkaian acara juga diselenggarakan. Termasuk kirab santri dari berbagai daerah (mulai Cirebon) hingga Banyuwangi, menuju Surabaya. Serta pembacaan satu milyar Shalawat Nariyah.

Mengenang Resolusi Jihad, merupakan tekad kalangan ulama mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI yang tidak diakui Belanda. Bahkan berdasar kesepakatan Wina (tahun 1938), Indonesia bisa dijajah kembali, setelah Jepang kalah perang. Sehingga setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Belanda merasa “memiliki” kembali Indonesia. Beberapa keturunan Belanda di berbagai daerah, mulai menguasai kembali gedung-gedung pemerintahan. Masyarakat resah, karena tidak ingin dijajah kembali.

Selain keresahan, juga disampaikan tekad masyarakat menolak perlucutan senjata oleh tentara Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda). Kyai, dan santri bersama masyarakat melaksanakan perang suci revolusi. Tak gentar walau Sekutu (dipimpin Amerika Serikat) mengancam akan mem-bumi hangus-kan Surabaya, manakala tidak menyerahkan senjata. Resolusi jihad juga disertai pekik sekaligus doa perjuangan khas santri, dengan kalimat “Allahu Akbar, Merdeka atau Mati.”

Fatwa jihad di-sosialisasi-kan melalui pengajian di kampung-kampung. Bahwa perang melawan musuh bersenjata, merupakan jihad fardlu ‘ain (berdosa jika tidak turut perang jihad). Resolusi jihad, wajib untuk seluruh rakyat. Tak terkecuali anak-anak, dan perempuan, wajib berpartisipasi dalam perang. Masing-masing dengan peran berbeda. Pengajian telah digelar sejak pertama kali fatwa resolusi jihad dinyatakan oleh hadratus syeh kyai Hasyim Asy’ary.

Terbukti, resolusi benar-benar berujung perang terbesar sepanjang sejarah nasional. Terjadi sejak akhir Oktober, berpuncak pada 10 November 1945. Dalam ke-sejarah-an, tentara Sekutu mengenang perang Surabaya 10 November 1945 sebagai yang terbesar setelah Perang Dunia II. Puncak perang di Surabaya, juga memicu perang di kawasan lain seantero pulau Jawa. Antara lain, perang Ambarawa (selatan Semarang, di Jawa Tengah), dipimpin Panglima Besar Sudirman. Berhasil memukul mundur pasukan Sekutu.

Tidak ada catatan pasti tentang jumlah korban perang Surabaya 10 November 1945. Namun diperkirakan belasan ribu tentara milisi rakyat gugur sebagai syuhada’. Sedang di pihak Sekutu ditaksir kehilangan 2000-an personel. Tetapi karena ber-prinsip jihad, maka tidak dikenal istilah kalah. Bahkan korban jiwa (gugur sebagai syuhada’) dianggap sebagai kemenangan terbesar.

Wartawan turut menyebarluaskan informasi fatwa jihad. Diantaranya dimuat dalam koran Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) pada 26 Oktober 1945. Serta koran Berita Indonesia (Jakarta) pada 27 November 1945. Begitu pula radio amatir, secara sembunyi-sembunyi juga menyiarkan hasil musyawarah ulama se-Jawa dan Madura. Sehingga resolusi dan fatwa jihad semakin diketahui masyarakat luas seantero Jawa. Juga bergaung ke Bali.

Perang 10 November 1945, sudah berlalu 78 tahun. Model perang revolusi (bersenjata untuk membunuh musuh) sudah tiada. Tetapi harus siaga dengan “perang” lain, dan dengan senjata yang lain pula. Terutama memerangi kebodohan dan keterbelakangan (ekonomi), yang membelenggu rakyat.

——— 000 ———

Rate this article!
Jihad Santri 1945,5 / 5 ( 1votes )
Tags: