Konflik dan Keadilan Agraria

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Unmuh Surabaya, mahasiswa S-3 FISIP Unair sedang meneliti Konflik Agraria di Jatim

Konflik agraria di Indoensia sudah terjadi sejak zaman Orde Baru Soeharto, dimana atas nama pembangunanisme. Pemerintahan Orde Baru merampas hak tanah-tanah rakyat secara sewenang-wenang. Saat itu, rakyat tidak ada yang berani untuk melawan hegemoni dan kekuasaan rezim Soeharto. Pasca Orde baru konflik agraria semakin meningkat, yakni ketika kran demokrasi dibuka menajdikan masyarakat yang selama ini diam mulai bersuara untuk menuntut hak atas tanahnya yang diambil pemerintah secara sewenang-wenang. Sebagaimana konflik-konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, tak terkecuali konflik tanah Bongkoran Wongsorejo Banyuwangi juga tak lepas dari kebijakan liberalisasi di sektor agraria yang telah berlangsung cukup lama sejak zaman Orde Baru yang berlanjut hingga sekarang.
Menurut Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN), Yoris Sindhu Sunarjan, konflik agraria makin meningkat seiring dengan kebijakan negara untuk meliberalisasikan sektor agraria. Ada ekspansi kapital besar-besaran dan proses itu memerlukan akses tanah yang makin banyak. Dalam kerangka menampung kepentingan ekspansi modal, pemerintah menciptakan regulasi untuk memudahkan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan ko0rporasi.Yoris menyebut beberapa regulasi yang melegalkan perampasan tanah rakyat, yakni UU penanaman modal asing UU No. 1 Tahun 1967, UUNo. 12 tahun 2102  pengadaan tanah untuk pembangunan atau kepentingan umum, UU kehutanan, dan Perpres pengadaan tanah 40 tahun 2014 (Lihat: http://www.berdikarionline.com/liberalisasiagraria-picu-peningkatan-konflik-agraria/)
Konflik agraria tanah Bongkoran Wongsorejo, tak lepas dari desain dan kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Banyuwangi yang ingin menjadikan Dusun Bongkoran Kecamatan Wongsorejo sebagai kawasan industry Pariwisata. Pembangunan sektor pariwisata terus dikembangkan, mengingat Kabupaten Banyuwangi  memiliki potensi besar di sektor pariwisata, baik dalam hal potensi alam yang memiliki keanekaragaman juga kekayaan budaya yang unik dan menarik untuk dikelola dan dimanfaatkan agar dapat memberikan kontribusi pada pendapatan daerah. Dalam rangka menciptakan Banyuwangi sebagai daerah tujuan wisata maka diperlukan penataan dan strategi yang tepat dan pelaksanaanya menjadi tanggung jawab antara pemerintah sebagai penentu kebijakan, masyarakat sebagai pelaku utama usaha jasa yang langsung berhubungan dengan wisatawan.
Konflik tanah Bongkoran Wongsorejo ini, sudah berlangsungng cukup lama yakni sejak tahun 1950-an dan sampai sekarang tidak ada penyelesaian yang tuntas, bahkan konlfik semakin meningkat. Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) Yateno Subandio mengatakan saat ini sebanyak 287 keluarga petani Kampung Bongkoran telah tinggal di lahan 220 hektare itu sejak 1950. Namun, pada 1980-an, pemerintah daerah secara sepihak memberikan hak guna usaha (HGU) perkebunan randu kepada PT Wongsorejo seluas total 606 hektare, termasuk lahan milik petani. HGU itu berakhir pada Desember 2012.PT Wongsorejo memperoleh peralihan izin dari HGU menjadi hak guna bangunan (HGB) pada 2014.
Puncaknya pada selasa 24 September 2013, ratusan petani Kampung Bongkoran, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, , berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banyuwangi. Mereka berunjukrasa karena meminta hak atas tanah yang telah mereka tempati sejak 1950-an. Tapi, pada tahun 1980 pemerintah menerbitkan Hak Guna Usaha kepada PT. Wongsorejo, yaitu perusahaan perkebunan randu, yang berdiri pada lahan seluas 603 hektare, termasuk di dalamnya lahan milik petani setempat. Hak Guna Usaha (HGU) tersebut sejatinya telah berakhir masa berlakunya pada akhir tahun 2012 lalu. Namun, perusahaan dan Pemerintah Banyuwangi memperpanjang Hak Guna Usaha (GHU), dengan alasan bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk kawasan industri terpadu. Dan yang membuat petani setempat marah yaitu, PT. Wongsorejo secara sepihak hanya memberikan lahan seluas 60 hektare kepada petani. Petani menolak pemberian 60 hektare dan menanggap kebijakan koorporasi yang berkolusi dengan negara sebagai kebijakan yang menindas. .
Keadilan Agraria
Warga tanah Bongkoran Wongsorejo, menilai kebijakan pemerintah yang secara sepihak memberikan legalisasi melalui pemberian hak konsesi berupa HGU dan HGB kepada PT. Wongsorejo, tidak adil. Kebijakan tersebut hanya menguntungkan pihak perusahaan. Aksi-aksi protes sebagaimana yang dilakukan warga “tanah Bongkoran” tersbeut, dalam pandangan Noveri Susan, sebagai bentuk refleksi tuntutan keadilan dalam perspektif masyarakat warga terhadap pemerintah.
Keadilan bagi mereka adalah kewajiban negara memberi kemudahan mereka memenuhi kebutuhan dasar, termasuk tempat tinggal. Perlawanan warga semakin memperjelas bahwa warga meresakan ketidakadilan atas kebijakan pemerintah tersebut. pada saat yang sama, pemerintah meresa bahwa kebijakannya benar dan berkeadilan karena sudah sesuai dengan hukum formal. Serta dalil hukum yang mendakwa masyarakat telah menduduki tanah milik negara itu secara legal (Novri, 2011:65).
Samuel Freeman dalam Justice dan Social Contract (Feeman, 2007), sebagaimana dikutip Novri Susan (2011:65), menyebut bahwa absennya ketidakadilan seringkali disebabkan bukan karena kurangnya definisi keadilan, baik secara formal maupun sosial. Terutama dalam konteks demokrasi, ketidakadilan sesungguhnya produk dari ketidakseimbangan konsep keadilan antara negara dan masyarakat.
Dalam pandangan negara, keadilan didefinisikan melalui kerangka hukum formal semata. Sementara masyarakat mempersepsi keadilan dari tuntutan-tuntutan aspirasi saja. Ketika negara dan masyarakat mensimplifikasi keadilan dalam definisinya masing-masing, pada saat itulah keadilan hadir menciptakan konflik.
Dalam pandangan Roscoe Pound (1959:350), sebagaimana dikutip Otje  Salman dan Anthon F. Susanto (2008:103), kepentingan sosial merupakan aspek terpenting dalam menciptakan suatu model hukum yang responsif. Perspektif hukum ini, hukum yang baik harus menawarkan sesuatu yang lebih dari keadilan procedural. Hukum itu harus berkemampuan fair (adil, memberi kesempatan yang sama; hukum itu harus membantu menentukan kepentingan masyarakat dan comited pada tercapainya keadilan yang lebih substansial (hakiki). Karena itu, keadilan bagi masyarakat tidak cukup diukur dengan parameter hukum positif atau formal negara.
Sementara itu, menurut Antropolog Hukum dari Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto (2011:vi) dalam pengantar buku “Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum” (2011:65), mengatakan Persoalan konflik agraria merupakan persoalaan yang lekat dalam keseharian hidup masyarakat Indonesia. Meskipun rezim pemerintahan datang silih berganti, tetapi tidak ada yang pernah berhasil menyelesaikan konflik agraria yang begitu kompleks sampai hari ini. Paradigma positivisme hukum tidak cukup memadai untuk menjelaskan dan menyelesaikan konflik agraria di Indonesia, termasuk dalam kasus Tanah Bongkoran Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi. Positivisme hukum hanya mengadirkan keadilan yang bersifat formil-prosedural dan lebih menguntungkan negara dan pemilik modal. Sebaliknya menghadirkan ketidakadilan bagi masyarakat lokal.
Dalam pandangan Soetandyo (2010), Hukum yang berkeadilan adalah hukum nasional yang dalam terapannya dari kasus ke kasus mampu menyapa kaidah-kaidah moral yang berlaku di masyarakat lokal,, yang mash diyakini kebenarannya oleh mayarakat setempat.

                                                                                                        ————– *** —————-

Rate this article!
Tags: