Makna Kurban di Tengah Perbedaan Idul Adha

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Menjelang perayaan momen Idul Adha masyarakat Indonesia tengah dihadapkan oleh perbedaan penentuan Hari Raya Idul Adha. Pemerintah secara resmi menetapkan Idul Adha atau 10 Dzulhijah 1444 Hijriyah jatuh pada Hari Kamis 29 Juni 20023, namun sebagai saudara-saudara Muslim khususnya Muhammadiyah jauh hari melalui PP Muhammadiyah menetapkan 1 Dzulhijah 1444 Hijriyah pada Senin, 19 Juni 2023. Dengan begitu, 10 Dzulhijah 1444 Hijriyah yang merupakan peringatan Hari Raya Idul Adha 2023 akan jatuh pada Rabu, 28 Juni 2023. Perbedaan tersebut sebenarnya bukan kali pertama dan telah menjadi keniscayaan ketika terjadi perbedaan kriteria yang menentukan waktu tertentu seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat Indonesia telah memiliki toleransi dan kemahaman kolektif dalam menyikapi perbedaan tersebut. Tahun lalu momen Idul Adha di tengah suasan merebaknya penyakit mulut dan kuku (PMK). Kini mesti tengah terkendali namun tetap dibutuhkan kewaspadaan ekstra. Apalagi ditengah mobilitas hewan dan produk hewan terus meningkatan antar wilayah termasuk tingkat konsumsi hewan berbasis peternakan juga meningkat pesat seperti daging sapi, kambing dan domba.

Secara etimologi qurban berarti dekat. Sedangkan menurut terminologi qurban adalah memotong hewan ternak seperti unta, sapi, kerbau dan kambing (domba) dengan syarat-syarat tertentu, yang dilakukan pada Hari raya Idul Adha sampai tanggal 13 Zulhijah atau hari tasyriq, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan dilandasi ketaqwaan dan keihklasan sehingga akan membawa dampak pada kesadaran yang setulus-tulusnya dalam upaya menjalankan segala apa yang dititahkan dan selalu menjauhi segala apa yang tidak menjadi kehendak-Nya. Segala amal perbuatan manusia tergantung pada niat yang terbersit dalam kalbu, sehingga dengan ibadah qurban ini, manusia terdidik lahir dan batin, bahwa dalam melaksanakan segala perintah dan kewajiban sudah sepatutunya dilakukan dengan niat yang ikhlas untuk mencari keridhaan Allah SWT.

Istitha’ah
Setiap muslim tentu mengetahui bahwa ibadah haji termasuk salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan. Namun, kewajiban ini tidak berlaku bagi seluruh muslim karena ada syarat yang mengikat, yaitu Istitho’ah dimana bertujuan agar jemaah haji dapat mencapai kondisi istitho’ah sehingga dapat menjalankan rangkaian ibadah haji sesuai syariat Islam. Istitha’ah adalah suatu kondisi sesorang memiliki bekal secara finansial (untuk biaya perjalanan dan biaya keluarga yang ditinggalkan), menguasai pengetahuan manasik haji,hati yang ikhlas, sabar, syukur, tawakkal dan tawaddlu’, sehat mental dan fisik. Istilah “melaksanakan ibadah haji bila mampu” di masyarakat seringkali diartikan kemampuan sebatas finansial saja (bekal yang cukup). Namun, dewasa ini terdapat perkembangan secara makna bahwa mampu tidak hanya secara materi tetapi juga berbicara kesehatan dan peluang (kesempatan). Dengan kata lain, ibadah haji juga merupakan ibadah fisik sehingga dibutuhkan pula kemampuan secara fisik. Dalam konteks Istitha’ah Kesehatan Haji.

Pertama, terkait kewenangan/otoritas yang menetapkan seseorang mampu secara medis hanyalah para ahli kesehatan, bukan ahli agama. Kedua, perlu didapatkan data dan riwayat penyakit yang diderita para calon jemaah haji sehingga nantinya dapat dilakukan antisipasi bila sewaktu-waktu sakit mendadak atau kambuhan namun masih dalam katagori sehat. Ketiga, sosialisasi kepada masyarakat bagaimana menjaga kesehatan agar terhindar dari penyakit berat yang tidak diperbolehkan atau dapat membatalkan keberangkatan seseorang ke tanah suci. Istitha’ah kesehatan jemaah haji mengamanahkan bahwa setiap jemaah haji harus melakukan pemeriksaan dan pembinaan kesehatan pada masa tunggu sebelum keberangkatan mulai dari tanah air juga sampai di tanah suci untuk tetap dilakukan pemeriksaan kesehatan. Oleh karena itu makna sehat bukan hanya dinyatakan sehat usai pemeriksaan kesehatan namun lebih merupakan rangkaian awal hingga akhir pelaksanaan ibadah haji di tengah cuaca panas, himpitan jutaan jamaah dari seantero dunia, potensi sakit termasuk mewaspadai potensi penyakit menular, penyakit bawaan dan lain-lain.

Momen Idul Adha
Secara syar’i bahwa hewan kurban memiliki syarat tersendiri. Di antaranya harus sehat secara fisik, baik anggota tubuhnya tidak ada yang cacat, maupun tidak memiliki gangguan virus. Disarankan untuk memilih hewan kurban yang gagah dan sempurna fisiknya, termasuk di dalam kondisi sakit. Setidaknya ada tiga syarat sesuai syariat Islam yakni sehat, tidak cacat dan cukup umur (umur 2 tahun untuk kerbau dan sapi, 5 tahun atau lebih untuk unta, minimal 1 tahun untuk domba atau gigi domba sudah berganti dan umur 2 tahun untuk kambing). Hal ini sangat penting untuk menjaga rasa ketenangan umat Islam menyambut momen Hari Raya Idul Adha. Semangat rela berkorban untuk qurban merupakan titik tolak dalam menjalankan perintah Illahi, menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, ikhtiyar berbagi sesame serta (minimal) dapat menikmati sajian dan hidangan sate, gule tentu dengan batas-batas wajar dan tidak berlebih-lebihan yang nantinya dapat risiko penyakit sehingga kontraproduktif dengan makna berkurban yang dijalani.

——— *** ———-

Tags: