May Day Prihatin

foto ilustrasi

Hari buruh sedunia (1 Mei) tahun ini menjadi yang paling nelangsa. Suasana perburuhan sedunia terhimpit pandemi CoViD-19. Sekitar satu milyar buruh sedunia kehilangan pekerjaan. Lebih parah lagi, sekitar 400 juta buruh sektor informal terperosok dalam kemiskinan mendalam. Kehilangan pekerjaan tanpa perlindungan sosial. Pemerintah di seluruh dunia telah menggelontor program jaring pengaman sosial. Tetapi sangat banyak buruh miskin tidak terjangkau bantuan sosial (Bansos).

Berdasar telaah ILO (International Labour Organization, organisasi buruh internasional) dampak pandemi menimbulkan krisis yang paling parah sejak perang dunia kedua (1942–1945). Lebih parah lagi nasib buruh sektor, yang mendominasi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Antara lain meliputi pedagang kaki lima, pekerja konstruksi, transportasi, dan penjaga toko. Walau berperan utama dalam roda ekonomi, namun pekerja informal ini tidak memiliki perlindungan seperti yang dimiliki pekerjaan formal.

ILO memperkirakan sekitar 2 milyar orang di dunia bekerja di sektor informal, terutama pada negara berkembang. Begitu pula sektor usaha mikro sebagai “bantaran” ketenagakerjaan turut runtuh. Usaha mikro dan kecil yang biasanya lebih tahan terhadap gejolak ekonomi, saat ini juga mengalami tekanan. Diperkirakan sekitar 48% UMKM harus tutup sementara karena pendapatannya anjlok. Sisanya, harus bertahan dengan penurunan omzet sampai 60%.

Sektor pekerja formal sedikit lebih beruntung. Kadin (Kamar Dagang dan Industri) mencatat sebanyak 6,4 juta buruh di Indonesia telah dirumahkan, sejak awal pandemi (Maret 2020). Karena seluruh proses produksi, dan omzet merosot. Pasokan bahan juga menurun, seiring PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dan WFH (Work From Home). Maka PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) menjadi keniscayaan tanpa alternatif.

Sektor usaha yang paling banyak mem-PHK karyawan, adalah tekstil (2,1 juta orang), sektor transportasi (1,4 juta pekerja), industri sepatu dan alas kaki (500 ribu orang), dan perhotelan (430 ribu orang). Sebagian sektor usaha, terutama BUMN, dan swasta nasional coba bertahan dengan mengurangi jam kerja. Sehingga mengurangi upah, dan biaya operasional. Juga coba bertahan dengan cara merumahkan (sementara) karyawan, dan cuti tanpa gaji.

Ironisnya, tidak semua buruh menerima hak sesuai peraturan dan perundang-undangan. Masih banyak majikan nakal, tidak menunaikan pesangon. Sehingga menjadi perselisihan perburuhan. Sebagian buruh bisa mengurus (dan lulus) mengurus Bansos Prakerja, dan Bansos bantuan permodalan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Tetapi banyak buruh korban PHK dampak pandemi gagal mengakses Bansos. Perselisihan perburuhan dengan majikan juga tidak kunjung selesai.

Posisi buruh dalam perselisihan selalu berada di bawah, seolah-olah wajib kalah. Walau telah terdapat serikat buruh, dan Dinas Ketenagakerjaan di setiap daerah. Padahal buruh di Indonesia memiliki payung hukum kokoh, diakui sebagai HAM (Hak Asasi Manusia). Dijamin konstitusi pula. UUD pasal 28D ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.“

Kenyataannya nasib buruh masih tetap di ambang kemiskinan. Pemerintah (dan Daerah) masih harus membuka mata lebar-lebar, karena banyak buruh tidak menerima hak-hak konstitusionalnya. Termasuk hak perlindungan pada masa pandemi. Buruh dan segenap pekerja bisa menjadi “pilar heroik” perekonomian nasional. Bersama-sama dengan sektor usaha informal (usaha Mikro dan ultra mikro). Bangkit segera setelah pandemi.

May-day, kini lebih diperingati dengan berdoa, serta menggelorakan kesabaran buruh tanpa batas. Namun pemerintah juga berkewajiban segera mewujudkan iklim per-buruhan yang lebih fair. Diantaranya, pemberantasan pungli (pungutan liar) perizinan usaha, serta transparansi birokrasi.

——— 000 ———

Rate this article!
May Day Prihatin,5 / 5 ( 1votes )
Tags: