Memaknai (Larangan) Mudik di Tengah Pandemi

Oleh:
Susanto, MPd
Penulis adalah Guru SMAN 3 Bojonegoro-Jatim.

Pemerintah melakukan pelarangan dan membatasi kendaraan terkait mudik idul fitri dilakukan H-7 mulai 22 April hingga 6 Mei 2021 dan H+7 mulai 6 Mei sampai 24 Mei 2021. Larangan ini tidak hanya di daerah tertentu akan tetapi berlaku secara meluas seluruh Indonesia. Upaya pelarangan ini juga melakukan tindak tegas dan persuasif memaksa pemudik melakuan putar baik diperbatasan agar tidak mudik.

Langkah tegas yang dilakukan oleh pemerintah sebagai salah satu ikhtiar cara memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Hal ini harus mendapatkan dukungan semua pihak. Jangan sampai ada pemikiran Pemerintah terlalu ikut campur. Sebab bagaimanapun juga fenomena mudik memiliki potensi terjadinya kerumunan yang berakibat fatal pada Covid-19 yang telah setahun lebih.

Memunculkan pertanyaan susulan, apakah langkah pemerintah membatasi dan melakukan larangan mudik apakah efektif untuk memutus mata rantai pandemi Covid-19 yng terjadi saat ini?

Fenomena Mudik

Bagi orang yang diperantauan mudik tidak akan terpisahkan. Tapi karena Covid-19 yang menglobal seperti saat ini mudik akan menjadi fenomena “terlarang”. Biasanya, hari raya kurang 1 bulan atau saat ramdhan arus lalu lintas mulai padat. Baik darat, laut, dan juga udara. Fenomena tersebut, sedikit banyak dan jujur harus diakui membuat kesadaran ikut merasakan. Bagaimana tidak untuk bisa mudik ke kampung halaman rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Rela berdesak-desakan yang terkadang nyawa menjadi taruhannya. Dan tak jarang pula, ngebut di jalan raya dengan motor agar cepat sampai di rumah untuk ketemu dengan keluarga di kampung halaman.

Mudik kekampung halaman adalah bagain terpenting dalam kehidupan. Mudik adalah mentradisikan nilai-nilai secara kultural. Artinya apa yang dilakukan oleh orang kota kepada orang desa (kampung halaman) bahwa sesuangguhnya bahwa orang desa masih memegang teguh prinsip dan juga lebih menghargai hakiki kehidupan. Meski mereka merantau ke kota masih tetap ngugemi. Tak lapuk oleh globalisasi kehidupan. Mereka masih tidak pudar atau kehilangan apa yang menjadi “darah’ dalam kehidupan yang telah diwariskan oleh para orang tua dulu. Mudik sesungguhnya adalah kuatnya ikatan batin yang terpatri dalam kehidupan yang sarat nilai-nilai kehidupan sosial religus.

Kesehatan Pilihan Bijak

Lantas bagaimana agar larangan atau pembatasan mudik saat pandemi menjadi efektif. Paling tidak, Pertama, tetap melakukan Social distancing. Langkah ini sebagai salah satu, cara agar keluarga yang dikampung tetap dalam keadaan sehat. Jangan sampai pulang kampung malah menyebarkan Covid-19 yang pada akhirnya menjadi masalah family yang berada dikampung. Pada intinya, kalau saat mau mudik sudah keadaan atau merasa sakit sesuai gejala Covid-19 maka pilihan utamanya harus tetap tinggal di tempat asal baru kalau dinyatakan sembuh baru sambangan atau tilik ke kampung halaman.

Tentunya apa yang masyarakat tak perlu panik dengan kondisi saat ini. Dia meminta warga mengikuti imbauan pemerintah guna keselamatan bersama. Warga sebaiknya tetap tinggal di rumah, bahkan melaksanakan ibadah di rumah selama wabah melanda pun dibolehkan. Masyarakat sebisa mungkin tidak melakukan mudik sesuai imbauan pemerintah. Kami juga mendukung rencana kebijakan untuk berikan insentif kepada masyarakat yang tidak mudik agar dapat merayakan lebaran 2021.

Kedua, selalu mengajarkan atau mengedukasi untuk hidup sehat ketika di kampung. Salah satu untuk memakai masker, cuci tangan dengan sabun/hand sanitizer, social distancing, dan juga phsycal distancing. Mengapa ini penting untuk disampaing kepada warga kampung? Karena Covid-19 memiliki penularan melalui kerumunan dan juga kontak seasama individu. Padahal, saat mudik tentu akan bersentuhan dengan banyak orang. Pada posisi inilah potensi Covid-19 akan mengalami penyebaran. Tradisi mudik tentunya dapat memberikan implikasi yang positif terhadap peradaban masyarakat desa terlebih pada pola pikir, perilaku, dan juga kepribadian khususnya cara hidup sehat dan mengatasi Covid-19.

Ketiga, mudik sebagai sebuah realitas sosial budaya dalam masyarakat tentunya bukanlah sesuatu yang tanda dasar. Artinya, fenomena mudik adalah sebuah potret budaya yang perlu disikapi secara jernih. Mudik bukan semata-mata karena momentum perayaan Idul Fitri atau hari lebaran semata. Hari Raya Idul Fitri adalah medium untuk mempertemukan kembali “kefitrahan’ atau kesucian diantara manusia. Namun, di tengah Covid-19 pilihan mudik ke kampung halaman justru harus dimaknai bukan pilihan utama.

Saat merebaknya Covid-19 kesehatan harus menjadi pilihan utama daripada memberikan dampak negatif bagi kesehatan di kampung halaman. Mudik atau tidak pada momen hari raya idul fitri harus harus disikapi secara jernih. Memutus mata rantai penyebaran lebih penting daripada sekedar romatisme masa lalu pada kampung halaman.

Nah, berakhirnya pandemi Covid-19 ini tentunya akan berpulang kepada kepatuhan masyarakat untuk mengikuti anjuran pemerintah dan protokol kesehatan. Seluruh elemen masyarakat harus ikut bertanggung jawab dalam meminimalisasi dampak penyebaran Covid-19 di tengah masyarakat. Imbauan untuk di rumah belajar dan bekerja harus benar benar menjadi pilihan utama. Pilihan memakai masker, cuci tangan dengan sabun, jagak jarak secara sosial dan fisik akan lebih mulia daripada hanya untuk mudik sebatas romantisme masa lalu. Oleh karena itu, sikap tegas pemerintah terkait pembatasan atau larangan mudik harus menjadi bagian penting agar masyarakat selalu sehat dan pandemi segera berakhir.

——— *** ———

Tags: