Meneguhkan Peran Keluarga Dalam Pendidikan Anak

Susanto(Fenomena Kekerasan Terhadap Anak)

Oleh :  
Susanto
Guru SMA Negeri 3 Bojonegoro. Bisa dihubungi melalui email : langittanpabatas@gmail.com. 

Maraknya kekerasan terhadap anak di lingkungan  pendidikan dan masyarakat dalam beragam bentuk, baik dalam kekerasan seks dan juga verbal belum akan berakhir. Nasib yang menimpa Yuyun 14 tahun siswi SMP yang menjadi korban lelaki yang tidak bertanggung jawab seakan menjadi narasi bahwa anak-anak dalam darurat rasa aman.
Nah, terkait permasalahan di atas tentunya menyisakan pertanyaan kritis. Perlukah Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dalam hal perlindungan hukum bagi rasa aman untuk anak-anak? Lantas bagaimana peran orang tua dan keluarga pada umumnya agar anak-anak terlindungi?
Sumber Kekerasan
Kalau diruntut sejak kapan kekerasan itu terjadi? Tentu jawabannya beragam. Untuk konteks saat ini, misalnya kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta Internasional School (JIS) Jakarta beberapa waktu lalu sangat menghebohkan. Di Bojonegoro, ada 2 siswa SMP  yang hampir saya menjadi korban kekerasan oleh orang tidak tanggung jawab dan untungnya dapat ditemukan kembali.  Dan awal tahun 2016  juga ada  oknum Polisi di Melawi Kalbar rela memutilasi 2, putranya yang masih balita di depan ibu kandungnya.
Tentunya menimbulkan keprihatinan yang mendalam untuk dunia pendidikan kita saat ini khususnya dan juga para orang tua. Anak-anak kita seakan-akan tidak pernah lepas dari bayang-bayang yang menakutkan. Bahaya yang selalu menjadi “hantu” menakutkan bagi masa depannya karena ulah sang “predator”.
Munculnya kekerasan seks terhadap anak apa yang melatarbelakangi tentunya angat beragam dan salah satunya dipicu fenomena pornografi. Kekerasan terhadap anak bisa jadi karena berbagai tayangan pornografi yang marak baik di media televisi maupun medsos. Mengapa demikian? Karena jujur harus kita akui pornografi memiliki andil yang cukup signifikan dalam membentuk pola hidup dan perilaku anak-anak atau yang melihatnya. Sebab kita tahu bahwa anak-anak kita masa yang penuh tanda tanya rasa ingin tahunya sangat tinggi (baca: kepo). Rasa penasaran dan rasa ingin mencobanya tinggi sekali.
Kalau dicermati secara etimologi dan bila dirunut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata porno dimaknai cabul. Bila kata porno mendapat tambahan kata grafi menjadi pornografi. Sehingga kata tersebut bermakna: (1),  penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan yang membangkitkan nafsu birahi. (2), bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kekerasan seks bisa terjadi karena adanya rangsangan yang pada akhirnya berlanjut dalam nafsu yang tidak terkendali. Dan dalam tataran inilah anak-anak kita sering curi curi kesempatan.  Mereka ingin  mengikuti perkembangan seks yang tidak mendidik melalui dunia maya maupun jejaring sosial yang ada. Sehingga tidak mengherankan mereka dikatakan “kepo”.
Keluarga Protektif
Kalau pemerintah benar-benar mengeluarkan Perppu “Predator” justru akan  memungkinkan berdampak positif bagi para pelaku. Artinya, dengan adanya Perppu akan berdampak pada pola perilaku para pelaku.
Nah, Ada beberapa yang perlu dikedepankan dan dicermati agar masalah kejahatan seks ini menjadi kajian bersama bukan cacian publik. Harus ada sikap bijak dan tidak saling menyalahkan satu sama lain.
Dalam hal ini, pertama, perlunya konsistensi sikap pemerintah dan sesegera mungkin adanya kurikulum antipornografi atau juga kekerasan seks masuk kurikulum di sekolah. Artinya perlu adanya langkah tegas pemerintah untuk memblokir situs porno atau negatif harus selalu dan terus menerus. Sebab bagaimanapun langkah ini memberikan citra positif bagi perkembangan moralitas bangsa kita. Dan harus mendapat dukungan dari masyarakat. Langkah tersebut akan lebih efektif lagi  manakala masalah pornografi ini kalau bisa masuk dalam kurikulum di sekolah dari jenjang SD sampai perguruan tinggi.
Kedua, peran lingkungan keluarga adalah tempat kampanye dan sosialisasi yang efektif untuk memutus jaringan pornografi atau pelaku kekerasan seks. Dengan kata lain, anak-anak atau remaja harus terhindar dari fenomena pecabulan, pornografi dan kekerasan seksual. Anak-anak harus tetap menjadi pribadi yang utuh bukan selalu dalam bayang-bayang kekerasan dari teman-teman sebayanya atau juga orang dewasa yang memiliki perilaku menyimpang. Dalam kondisi yang demikian, peran guru-guru di sekolah sangat dominan. Para orang tua harus menampilkan sosok yang bisa memberi rasa aman dan juga memotivasi bagi anak-anak untuk mengembangkan diri yang ke arah positif.
Ketiga, kedua orang tua sebagai pembimbing sejati anak-anak di rumah adalah orang tua sedangan saat di sekolah ada guru. Kalau anak-anak tidak dibimbing langsung oleh orang tua saat melihat tayangan TV atau film atau juga tanyangan yang tidak edukatif niscaya anak-anak akan menelan secara mentah-mentah apa yang mereka tonton. Kalau sudah demikian? Siapa yang harus disalahkan?  Tentunya orang tua harus arif. Menyalahkan tehnologi. Misalnya teman sepermainan atau yang mencari-cari alasan lain. Orang tua dan harus selektif terhadap tayangan yang dilihat oleh anak-anak sedangkan guru untuk senantiasa memberikan pencerahan yang inspiratif bagi kehidupan mereka.
Nah, dalam dalam konteks kekerasan terhadap anak bisa diminimalkan di lingkungan kita.  Kalau pemerintah memberikan jaminan dan kepastian hukum yang mendidik niscaya masalah kekerasan tidak memuncul menjadi polemik yang menyesatkan. Tentunya, proaktif peran keluarga, masyarakat dan juga pemerintah akan menjadi sinergi yang solid. Jangan sampai kekerasan yang dialami oleh Yuyun ke depan tidak terulang kembali. Orang tua, guru, dan juga masyarakat selalu menjunjung harkat dan martabat kemanusian yang hakiki sehingga tidak mudah melakukan perbuatan amoral.
Anak-anak kita tetap bisa menatap kehidupannya yang pernuh warna pelangi bukan kehidupan seram penuh dengan bayang-bayang menakutkan  yang membuat angan dan cita-citanya tanpa makna. Dengan demikian, anak-anak aman karena peran keluarga tersinergi dengan kehidupannya.

                                                                                                                 ——— *** ———

Tags: