Menyelamatkan Marwah Profesi Wartawan

Oleh :
Wahyu Kuncoro
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Surabaya.

Video viral Kapolres Sampang AKBP Arman S.IK, M.Si saat audiensi dengan jurnalis pada 14 Juni 2022 menuai polemik. Dalam potongan video yang beredar di Youtube, Kapolres Sampang menyatakan hanya akan melayani wartawan yang kompeten dan perusahaan media yang telah terverifikasi Dewan Pers.
Pandangan AKBP Arman dalam audiensi di Mapolres Sampang tersebut ternyata dipersoalkan oleh sebagian wartawan. Bahkan di media sosial beredar ajakan untuk melakukan aksi massa mempersoalkan statemen yang disampaikan Kapolres Sampang tersebut. Beruntung kemudian, Dewan Pers bergerak cepat dengan merespon video tersebut dengan menyatakan bahwa Dewan Pers memberi apresiasi pada Pak Kapolres (Sampang).
Sikap cepat Dewan Pers dengan pasang badan atas statemen Kapolres Sampang tersebut jelas bisa memberi pengayoman psikologis kepada pejabat publik yang berani bersikap tegas. Ini penting digarisbawahi karena memang keluhan akan banyaknya wartawan tidak profesional yang bergentayangan dari instansi ke instansi lain sudah lama nyaring terdengar. Namun tidak banyak yang berani bersikap. Para pejabat cenderung diam dan tidak berani terang-terangan menghadapi melubernya ‘wartawan’ tanpa kompetensi memadai tersebut.
Senada dengan harapan Ketua Dewan Pers, kita tentu berharap keberanian yang dilakukan Kapolres Sampang tersebut diikuti dengan semua pejabat publik agar ruang bagi wartawan tidak profesional kian tertutup.
Profesionalitas wartawan sesungguhnya harus menjadi jadi diri wartawan. Dalam kode etik jurnalistik pasal (2) menyatakan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Lantaran itu kalau ada yang mempersoalkan tuntutan profesionalitas wartawan tentu menjadi aneh dan menggelikan. Namun bisa jadi itu memang menunjukkan betapa masih banyak ‘wartawan’ yang jauh dari profesional, sehingga tuntutan wartawan harus profesional menjadi ancaman.

Menyelamatkan Profesi Wartawan
Di era disrupsi seperti hari ini profesi wartawan sedang mendapatkan tantangan serius. Perkembangan teknologi informasi dengan teknologi internet telah memfasilitasi siapa saja untuk berperan layaknya seorang wartawan. Orang tidak perlu menjadi wartawan untuk bisa menulis dan kemudian menyebarluaskan ke publik melalui media sosial. Imbasnya, posisi profesi wartawan kian terjepit. Dalam kondisi ini, maka tuntutan profesionalitas sesungguhnya akan menjadi pembeda dengan profesi profesi baru yang beririsan dengan profesi wartawan.
Menariknya, di tengah terjepitnya profesi wartawan, justru marak muncul ‘wartawan wartawan’ baru yang datang tanpa melengkapi profesionalitas. Inilah gerombolan yang ramai-ramai masuk menjadi ‘wartawan’ demi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Ada yang berasal dari mereka yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan dan merasa menjadi wartawan seolah adalah jalan paling mudah untuk mendapatkan status dan pekerjaan baru. Ada juga mereka yang berasal dari kelompok yang sudah memiliki profesi tertentu. Tujuannya jelas, dengan menjadi wartawan akan memudahkan bagi mereka untuk membuka akses sehingga bisa melancarkan profesi yang awal dimilikinya. Motivasinya jelas, dengan mengantongi kartu pers akan membuat mereka bisa mengakses pihak-pihak yang bisa menjadi sumber pendapatan. Bahkan bukan tidak mungkin kartu pers yang dipegangnya hanya untuk menakut-nakuti agar pihak tertentu mau memberi pekerjaan padanya. Dalam kode etik pasal (6) dengan tegas menyatakan Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Dengan demikian, apa yang disampaikan Kapolres Sampang sejatinya adalah ingin mengembalikan wartawan sebagai profesi terhormat yang didalamnya berhimpun pekerja yang menjunjung tinggi profesionalitas. Dengan demikian, kalau ada orang yang mengaku ‘wartawan’ kemudian menolak tuntutan profesionalitas wartawan, maka itu sesungguhnya sama artinya dengan ingin membunuh profesi ini dari dalam.

Beberapa Catatan
Bahwa pelaksanaan uji kompetensi wartawan (UKW) dan sertifikasi perusahaan pers adalah ikhtiar Dewan Pers dalam meningkatkan profesionalitas pekerja media. Ikhtiar tersebut tentu bukan tanpa sebab, salah satunya adalah karena keluhan yang muncul dari publik terkait kinerja pekerja media yang menggelisahkan. Profesi pers menjadi profesi ‘murahan’ yang semua orang bisa meraihnya. Sekali lagi, siapa saja bisa mengangkat diri menjadi wartawan tanpa harus melewati seleksi atau memenuhi kualifikasi khusus.
Syaratnya hanya satu, berani mengaku menjadi wartawan. Imbasnya, dalam setiap acara akan muncul ‘kerumunan’ massa yang mengaku diri sebagai wartawan. Hanya sayangnya, tujuan utama bukan untuk menjalankan profesi wartawan yang mengedepankan kode etik dan profesionalitas, tetapi lebih karena didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, wartawan yang masuk dalam kelompok ini lebih banyak mengejar pendapatan dibandingkan ingin menyebarkan luaskan pendapat (berita). Jangan heran kalau kemudian motivasi yang mengemuka adalah murni untuk mencari uang.
Berkaca dari kebutuhan tersebut, maka Dewan Pers sejak 2011 yang lalu mulai menggelar Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang tujuannya tentu untuk memfilter dan menjaga agar profesi wartawan dijalankan oleh orang-orang yang benar benar ingin mengabdi pada profesi dan menjunjung tinggi martabat pers. Bukan hanya lewat UKW saja ihktiar dewan pers dalam membangun Kembali pers yang berkualitas, tetapi juga dengan melakukan sertifikasi poerusahaan pers.
Langkah sertifikasi ini tentu juga dilakukan untuk memastikan bahwa wartawan menjalankan profesinya dlaam sebuah organisasi yang professional. Harapannya tentu juga agar waratwan bisa bekerja secara baik dan mendapatkan kesejhteraan secara menadai. Namun demikian, bahwa langkah dengan menggelar UKW da sertifikasi perusahaan bukan tanpa cela. Masih banyak hal hal yang perlu dibenahi dalam penyelenggaraan yakni terkait dengan konsisteni dan kesungguhan dalam melaksanakannya. Jangan sampai kedua langkah tersebut hanya sebatas formalitas dan administrative saja tetapi juga harus benar-benar membawa dampak bagi perilaku dan kualitas wratawan.

Selanjutnya Bagaimana?
Problem pelik yang membuat ‘wartawan’ yang tidak kompeten terus hidup dan bergentayangan ke kantor kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, tempat tempat bisnis adalah karena masyarakat yang memberi tempat dan ruang untuk hidup. Umumnya pejabat tidak berani mengambil sikap tegas ketika ada orang yang mengaku wartawan dating dan melakukan hal hal yang tidak mengenakan. Mereka lebih suka memberi uang daripada harus ‘berurusan’ dengan ‘wartawan’ yang model seperti ini.
Lantaran itu, sikap Kapolres Sampang AKBP Arman S.IK, M.Si yang berani menyatakan menyatakan hanya akan melayani wartawan yang kompeten dan perusahaan media yang telah terveritfikasi dari Dewan Pers patut untuk didukung. Sikap itu juga harus dikembangkan semua pihak utamanya mereka yang selama ini selalu berhubungan dengan waratwan. Walaupun harus diakui kalau sikap tegas ini tidak mudah dilakukan mengingat wartawan yang tidak kompeten dan perusahaan persnya belum terverifikasi ini masih sangat banyak yang bisa jadi akan terus mengintimidasi pejabat yang menutup akses bagi mereka.
Sekali lagi ini sesungguhnya bisa menjadi momentum untuk menempatkan kembali profesi pers sebagai profesi yang terhormat dan bermartabat. Ketegasan pejabat publik untuk berani menolak wartawan yang tidak kompeten dan profesional ini diharapkan akan menutup ruang gerak ‘wartawan’ jenis ini yang selama ini sudah menjadi menjadi benalu bagi masyarakat dan utamanya benalu bagi profesi kewartawanan.

——– *** ———-

Rate this article!
Tags: