Migor Makin “Mendidih”

Pemerintah melepas harga minyak goreng (migor) sesuai dinamika pasar. Maka harga migor (kemasan premium) bisa mencapai Rp 27 ribu per-liter. Maka terpaksa, pemerintah memberi subsidi sebesar Rp 14 ribu per-liter untuk migor curah. Subsidi sebagai “jawaban” terhadap kelangkaan migor di pasar dalam negeri, walau telah digelontor sebanyak 500 juta liter selama 2 bulan sejak Pebruari 2022. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut mengawal subsidi migor, sejak dari hulu hingga hilir.

Subsidi migor bersumber dari pungutan (dan tambahan pungutan) harga ekspor CPO (Crude Palm Oil, minyak sawit). Anggaran dikumpulkan dan disimpan oleh BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Operasi pasar (dengan penjatahan sebanyak maksimal 2 liter per-orang) yang digelar di seluruh daerah di Indonesia, seolah tak mempan menutup kebutuhan. Masih selalu terjadi antrean sangat panjang. Migor masih langka, tetapi mulai menampakkan stok. Terutama migor kemasan.

Nampaknya, pengusaha CPO, masih “mabuk” keuntungan dengan harga minyak sawit yang makin melangit. Perdagangan CPO global mencatat sebesar US$ 1.477,50 per-ton (setara Rp 21,1 juta). Maka tiada pengusaha yang melepas momentum harga “ke-emas-an” CPO. Sebenarnya pemerintah telah memberlakukan DMO (Domestic Market Obligation). Yakni, setiap pengusaha perkebunan sawit wajib memasok 20% kuota ekspor untuk kebutuhan dalam negeri.

Jika kuota ekspor CPO sebanyak 45 juta ton, maka ketersediaan dalam negeri akan mencapai 9 juta ton CPO. Setidaknya akan diperoleh sebanyak 8 juta-an ton setahun. Seluruh pasar (tradisional), dan pasar modern, akan “dibanjiri” migor. Namun tidak mudah memenuhi konsumsi migor dalam negeri pada situasi harga CPO melonjak hebat. Di dalam negeri, harga tandan buah segar (TBS) sawit senilai Rp 3,18 juta per-ton (paling murah).

Sedangkan harga tertinggi (pohon berusia di atas 10 tahun) bisa mencapai Rp 4 juta per-ton. Dalam kalkulasi industri, harga bahan baku CPO untuk minyak goreng saat ini sudah mencapai Rp 16.356 per-kilogram (sekitar Rp 13 ribu per-liter). Belum termasuk ongkos produksi. Maka mustahil, migor (curah) dijual dengan harga Rp 14.000,- per-liter. Kecuali dengan subsidi. Walau sebenarnya ironis, pemerintah memberi subsidi produsen migor.

Di parlemen (DPR-RI Komisi VI) pemerintah dianggap telah “kalah.” Sebelumnya telah dikeluarkan enam regulasi mengatasi permasalahan migor. Tetapi tiada yang dapat dilaksanakan. Termasuk kebijakan DMO, serta HET migor curah seharga Rp 11.500,-, dan migor kemasan premium Rp 14 ribu per-liter. Pemerintah, dan pengusaha CPO bagai memperoleh “durian runtuh.” Keuntungan tak disangka-sangka, karena harga CPO di pasar global melonjak.

Diperkirakan harga CPO internasional bakal menembus US$ 2.000,- per-ton, seiring kebutuhan BBM (Bahan Bakar Minyak). Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan permintaan BBM nabati (terutama CPO) meningkat. Pungutan ekspor CPO terus melejit seiring tarif progresif yang ditetapkan pemerintah. Sejak awal Juli 2021, sudah bernilai puluhan trilyun rupiah. Hasil tambahan pungutan ekspor digunakan men-subsidi produsen migor.

KPK (beserta Lembaga lain pengawasan keuangan) perlu mengawal subsidi migor. Karena tidak semua di-subsidi. Hanya migor curah. Berdasar perhitungan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), kebutuhan diperkirakan sebanyak 200 ribu ton per-bulan (2,4 juta ton se-tahun). Jika dikalkulasi, subsidi akan mencapai Rp 33,6 trilyun. Bukan anggaran kecil.

Seyogianya pemerintah memiliki alternatif kebijakan melindungi konsumsi migor dalam negeri, sesuai UUD pasal 33 ayat (3). Antaralain dengan moratorium ekspor CPO selama sebulan, akan cukup menjamin ketersediaan dalam negeri. Kebijakan susulan lainnya pasti akan mudah terlaksana.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: