Pemilu: Makam Keramat dan Money Politics

Menegakkan Demokrasi Pancasila, Tidak Menerabas Undang-Undang

Oleh:
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

“Demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi … bahwa pemerintah pada dasarnya harus memberikan pertanggunjawaban yang jujur kepada rakyat, bukannya membohongi mereka.”

(Pidato pelantikan KH Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden RI ke-4 di hadapan Sidang Umum MPR, 20 Oktober 1999)

Menurut KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, telah terasa perbedaan yang sangat besar, disebabkan longgarnya ikatan sebagai bangsa. Padahal Bung Karno telah menyatakan adanya alasan, seperti diungkapkan oleh Ernest Renan. Yakni, raison d’etre, alasan menjadi satu negara bangsa, harus tetap dijunjung tinggi. Raison d’etre, dipahami sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga sendi-sendi demokrasi juga harus selaras dalam ke-bersatu-an nasional. NKRI, menjadi “harga mati.”

Memilih jalan demokrasi, merupakan mandat konstitusi. Tercantum dalam UUD pasal 1 ayat (1). Secara tekstual dinyatakan, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Disambung pasal 1 ayat (2), dinyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.” Prinsip negara demokrasi, sebenarnya juga tersirat dalam pembukaan UUD, alenia ke-empat (Pancasila, sila ke-empat). Maka Pemilihan umum (Pemilu) menjadi keniscayaan.

Secara khusus Pemilu di-amanat-kan konstitusi dalam Bab VII-B. UUD pada pasal 22E ayat (1), menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Pada pasal 22E ayat (2), dinyatakan, bahwa Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Presiden dan Wakil Presiden. Pserta Pemilu untuk memilih DPR, dan DPRD adalah partai politik (parpol).

Berdasar UUD pula, Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sesuai amanat konstitusi seluruh calon anggota DPR, dan DPRD, harus mendaftar melalui parpol sebagai peserta Pemilu. Parpol pula yang diberi kewenangan menentukan nomor urut Calon Legislatif (Caleg pusat, dan daerah). Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, setiap Caleg memiliki daerah pemilihan sesuai penunjukan parpol.

Kini, daftar calon tetap (DCT) bakal anggota DPR, dan DPRD sudah diumumkan KPU, dan KPUD. Beserta nama dan foto Caleg. Sudah banyak pula Caleg menebar gambar diri, berupa baner di jalan raya. Juga menebar ribuan “kartu nama” beserta nomor urut Caleg. Tetapi yang paling mencolok, adalah perubahan penampilan calon legislatif (Caleg), dan Tim Sukses Paslon (pasangan calon) Presiden dan Wakil Presiden. Terkesan lebih santun, dan shaleh.

Datangi Makam Keramat
Tetapi ada pula perubahan yang “tersembunyi.” Yakni, membawa azimat (berupa keris, kalung, cincin, gelang, sampai kopyah). Ada pula yang berupa mantera dan doa. Tak jarang pula direkomendasikan melakukan ritual khusus. Misalnya berendam di sungai tengah malam. Kadang juga diperintahkan menziarahi makam tokoh-tokoh daerah, tokoh nasional, dan tokoh legenda spiritual. Sehingga makam-makam keramat tokoh masyarakat, menjadi ramai. Hampir seluruh Caleg, dan Tim Sukses, memiliki andalan, berupa “tirakat” yang bisa meningkatkan semangat, upaya, dan pengharapan.

“Tirakat,” telah menjadi kebiasaan bangsa Indonesia untuk meraih sukses. Antara lain melalui petunjuk guru, sesepuh, atau tokoh spiritual, serta tokoh agama, dan dukun. Tetapi bukan sembarang dukun, melainkan yang telah kesohor. Sehingga gejala perdukunan dan mendatangi kuburan makam-makam keramat, mendadak ramai sebulan ini (sampai tiga bulan berikutnya).

Yang datang ke makam keramat, bukan personel lusuh dengan problem yang menyesakkan dada. Melainkan Caleg DPR-RI (pusat), Caleg DPRD Propinsi, serta DPRD Kabupaten dan Kota. Tujuan mengunjungi makam keramat, tak lain, ngalap berkah (berharap) memperoleh ke-rida-an Tuhan, bisa meraih dukungan suara sebanyak-banyaknya, menjadi pemimpin negeri, dan menjadi anggota DPR, dan DPRD. Tak jarang, yang datang merupakan incumbent yang sudah menjadi anggota legislatif beberapa periode.

Perdukunan, bukanlah perilaku negatif, walau bukan pula core demokrasi. Bahkan perdukunan bisa menjadi positif, manakala menguatkan spiritual quotient (SQ, kecerdasan spiritual). Bahkan bersyukur hampir seluruh paslon berkelakuan lebih baik, dan dermawan. Mulai rajin menunaikan ibadah. Senang membaca wirid pula. Bahkan untuk urusan belanja kampanye (karena sudah diyakinkan dukun), paslon akan rela meng-gadaikan BPKB mobil, atau sertifikat tanah dan rumah.

Berbagai lembaga survei telah dikerahkan oleh parpol untuk menjejaki popularitas dan tingkat elektabilitas. Namun meski telah memiliki kemungkinan positif, Caleg, dan Tim Sukses Paslon tetap berupaya keras menarik simpati pemilik hak pilih. Termasuk dengan “guna-guna” (dalam bahasa santri disebut mahabbah) yang direkomendasikan oleh dukun maupun tokoh adat. Sebagian diberi bekal berupa mantera dan doa. Tak jarang pula direkmendasikan melakukan ritual khusus. Misalnya mandi kembang tengah malam.

Suap, Money Politics
Setiap Caleg, dan Tim Sukses Paslon, pasti memiliki pengharapan yang besar. Begitu pula yang sering datang ke tempat-tempat keramat dan dukun akan memiliki optimisme lebih besar. Semangat dan optimisme itulah yang mesti diatur melalui undang-undang (UU), dan berbagai peraturan KPU. Termasuk melalui kinerja Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), sebagai “wasit pengadil” Pemilu. Juga masih terdapat DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), sebagai benteng pelapis pemantau etika KPU, dan Bawaslu.

Maka perangkat “wasit pengadil” pemilihan umum (termasuk Pilpres) telah cukup memadai. Termasuk eksistensi DKPP, yang aktif mengawasi kinerja KPU dan Bawaslu. Terbukti, pada masa Pemilu yang lalu (2019) beberapa komisioner KPU Propinsi, KPU Kabupaten dan kota, serta Bawaslu, dipecat karena melakukan pelanggaran. Biasanya, divonis tidak netral terhadap pasangan calon. Serta antara lain, tidak memproses laporan kecurangan dan pelanggaran pilkada. Terutama money politics yang sangat masif.

Pada musim Pemilu (serentak), banyak bermunculan “agen suara” dengan membawa daftar suara pemilih. Personel “agen suara” biasanya memiliki kedudukan sosial cukup memadai dalam struktur masyarakat di perkampungan (desa). Misalnya, Ketua RT (Rukung Tetangga), Ketua RW (Rukun Warga), Kepala Dusun, sampai Kepala Desa. Seluruhnya memiliki kapasitas sebagai “calo” dukungan masyarakat. Ironisnya, daftar nama masyarakat yang akan “dijual” memiliki validitas 90% benar.

Garansi kebenaran sampai 90% itu, sangat memikat paslon. Jumlah dukungan yang diklaim, biasanya sebanyak (paling sedikit) seratus nama penduduk. Pada tingkat “calo” agen besar bisa mencapai sepuluh ribu nama, lengkap dengan alamat. Harga setiap nama (one vote), berkisar antara Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Tetapi pada saat genting, mendekati coblosan pilkada, bisa seharga Rp 100 ribu per-orang. Konon pada tiap pilkada, “calo” money politics telah menjadi kelaziman.

Siapa tak kepincut? Tetapi diperlukan dedikasi jajaran Bawaslu untuk membongkar kinerja “calo” agen suara dukungan masyarakat pemilih. Saat ini tengah diuji kasus money politics sistemik pada pilkada kabupaten Bangkalan (Madura). Bawaslu telah memperoleh banyak bukti, terutama bukti uang, serta saksi pelaku (penerima). Konsekuensi hukum “money politics” dapat berupa pencoretan kesertaan Caleg dalam Pileg.

Ironisnya, suap politik seolah-olah “difasilitasi” secara sistemik oleh perundang-undangan. Coblos nama Caleg, dan sistem proporsional terbuka, menjadi modus meraih suara sebanyak-banyaknya, dengan cara “membeli” suara. Belum terdapat timbangan (ancaman) terhadap moralitas penyuap. Nyaris tidak terdengar kasus pencoretan Caleg, karena memberi uang pada calon pemilih.

Suap, money politics, menyebabkan ongkos politik sangat mahal. Niscaya akan menyebabkan perilaku balik modal. Padahal politik uang, tak beda dengan suap, yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

——— 000 ———

Tags: