Persoalan Kesehatan Mental Anak Banyak Terjadi Selama Belajar Daring

Psikologi Pendidikan Anak Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Riza Noviana Khoirunnisa.

Orangtua, Guru dan Sekolah Harus Membangun Budaya Komunikasi Sehat
Surabaya, Bhirawa
Pembelajaran Daring selama setahun terakhir memberi dampak signifikan bagi kesehatan mental siswa. Tak hanya itu, terjadinya learning loss atau menurunnya kompetensi belajar juga banyak ditemui selama belajar Daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jika tak segera diatasi, maka dalam waktu kurang lebih 15 tahun lagi bangsa ini akan mengalami kehilangan generasi penerus yang berkualitas.
Hal itu dikatakan Psikologi Pendidikan Anak Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Riza Noviana Khoirunnisa SPsi MSi. Menurutnya, dampak negatif pembelajaran online sangat berpengaruh pada Keefektifan belajar siswa. Guru dan siswa tidak bisa memberikan feedback atau komunikasi interaktif secara cepat dibanding saat online.
“Apalagi penilaian belajar daring didasarkan pada penilaian hasil. Sedangkan pembelajar ini butuh dinilai ketika prosesnya. Saat (belajar) online yang dilihat hanya hasil. Ini yang terjadi dari mulai jenjang TK, SD, SMP hingga SMA,” jelasnya kepada Bhirawa, Selasa (22/6).
Tak hanya itu, kesehatan mental anak yakni munculnya kecemasan yang tinggi juga dialami sebagian besar anak – anak di Indonesia khususnya Jawa Timur. Karena, masih ada siswa yang belum fasih menggunakan internet secara ‘sehat’, terlebih penerepan belajar Daring membuat mereka merasakan tertekan.
“Tugas orang tua dalam hal ini mereka harus hadir untuk pendampingan anak selama pandemi. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Penguatan fungsi keluarga dalam mengasuh anak serta mendampingi proses belajar anak di rumah menjadi vital. Keluarga menjadi pihak yang paling tidak tersiapkan dalam menghadapi pandemi. Tapi pihak paling strategis yang terus mendampingi anak ketika pembelajaran online ini,” jabar Dosen Psikologi Unesa ini.
Selain itu, keluarga diharapkan bisa mengidentifilasi indikator permasalahan anak selama belajar daring untuk mencari solusi.
“Kelurga harus komunikatif. Sinergi antara orangtua, guru dan sekolah harus dibangun. Dengan begitu sekolah bisa membangun budaya hubungan yang sehat untuk membantu siswa dalam memberikan dukungan kesehatan mental mereka,” paparnya.
Terjadinya learning loss selama belajar Daring juga menjadi perhatian pakar pendidikan Jatim, Prof Moh Nuh. Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dicermati para pemangku pendidikan selama proses belajar Daring dilakukan.
“Seseorang bersekolah ini setidaknya mendapatkan tiga poin utama. Yakni attitude, knowlegde dan skill. Karena harus beralih ke digital, maka baik Pemprov, Pemkot/Pemkab harus melihat jeli kebijakan case by case yang terjadi,” jelasnya.
Riza melanjutkan, pertanyaan mendasar lainnya yang harus diangkat adalah terjadinya learning loss akan berakibat pada pada stunting in learner karena asupan pembelajaran kurang. Jika dibiarkan maka akan menciptakan gep.
“Ada pertanyaan yang mendasar yang harus kita angkat. Tidak serta merta seluruhnya beralih ke digital, tapi pelajari dengan baik apa yang tidak bisa diterapkan lewat cyber, apa yang harus diterapkan secara fisik. Dan bagimana cara menutupi ini semua. Jika tidak, maka akan terjadi loses in learning (menurunnya kompetensi belajar siswa),” tegasnya.

Tangani Learning Loss, Laksanakan PTM Terbatas
Sementara itu, dalam menangani terjadinya learning loss, Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim telah mengeluarkan kebijakan untuk menyelenggarakan pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas. Di berbagai kesempatan, Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim, Wahid Wahyudi mengatakan, Dindik Jatim sudah menyiapkan skenario tatap muka terbatas selama pandemi.
“Yang pasti mengutamakan keselamatan siswa, pendidik dan tenaga pendidik. Guru harus sudah divaksin sebelum mengajar,” tegasnya.
Psikologis dan tumbuh kembang anak juga menjadi pertimbangan diadakannya PTM di Jatim. Pada situasi saat ini, dunia pendidikan butuh inovasi dalam tata kelola dan proses belajar mengajar. Sehingga segera beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan situasi pandemic. Di samping inovasi, standar sekolah tidak hanya diukur dalam standar nasional, namun juga standar internasional. Sehingga harus ada asesmen kompetensi minimal untuk menentukan kualitas lulusan.
“Selain kesulitan karena pandemi, pendidikan di Jatim ada lima pekerjaan rumah yang mendesak untuk dicari solusinya. Melalui misi Jatim Cerdas diharapkan permasalahan ini bisa diselesaikan,” jelasnya.
Mulai dari percepatan indeks pembangunan di Jatim yang masih 15 besar karena dukungan indeks pendidikan yang cukup rendah. Kemudian adanya disparitas kualitas antar lembaga pendidikan, belum optimalnya kualitas, kuantitas dan sebaran tenaga pendidik serta guru, belum optimalnya pelayanan khusus untuk anak disabilitas dan angka melanjutkan perguruan tinggi yang masih rendah. [ina]

Tags: