Petak Umpet

Oleh :
Muhtadi ZL

Masuk tahun kedua musim wabah, Defi masih diselimuti perasaan gundah. Kesehariannya selalu terjala dalam rumah. Tak ada permainan yang bisa ia mainkan dengan Sarah, kecuali petak umpet dalam rumah sambil sesekali dipantau ayah. Bila lelah, mereka duduk dan pasrah wajahnya memerah dibasahi keringat pertanda gerah.

“Kakak tidak mau main petak umpet lagi?” Sesuatu yang menjanggal membuat Sarah bertanya ketika Defi yang sedari tadi melamun di ruang tamu.

Defi tidak menanggapi pertanyaan Sarah, adiknya yang masih berusia enam tahun, nyerocos minta kejelasan. Ia mulai jenuh, sebab hampir dua tahun mereka bermain petak umpet dalam rumah. Seolah-olah, karena pandemi, bukan hanya tempat-tempat ramai yang rapat ditutup, semua permainan berkelompok pun gulung tikar rapat-rapat.

Lama ia berpikir untuk menanggapi pertanyaan Sarah, akhirnya-meskipun ia lelah-Defi akan cepat-cepat memberikan jawaban pada adiknya. Karena ia tidak mau waktu bermainnya berkurang sebab lama menjawab. Begitulah bila adiknya bertanya, Defi akan cepat memberi kepastian jika bukan musim wabah. Akan tetapi, karena saat ini musim wabah, ia tidak bisa menjawab cepat-cepat karena tempurung kepalanya tidak bisa memikirkan permainan kecuali petak umpet.

“Jawab dong, Kak….” Seketika angan Defi tanggal tatkala adiknya merajuk dengan suara gemas.

“Iya, iya.”

Sontak Defi mengajak pingsut untuk menentukan siapa yang mengejar dan siapa yang bersembunyi. Setelah saling mengangkat tangan, dan serentak mengucapkan kata pingsut berbarengan dengan membukan tangan.

“Kakak yang ngejar,” ujar Sarah ketika tangannya mekar menyimbolkan kertas, dan tangan Defi menggenggam menyimbolkan batu.

“Kamu lambat tadi,” protes Defi melihat kecurangan yang dilakukan adiknya.

“Kakak sendiri yang merghem ,” dengan mimik yang lucu Sarah membela diri.

“Tidak, kau curang.”

“Kakak yang terlalu cepat.”

Setelah beberapa menit adu mulut, akhirnya Defi menerima kekalahannya. Meski berat hati, ia tetap tidak mau jika harus disalahkan. Sebab ia menilai adiknyalah yang lambat.

“Bersiap atau tidak, kakak datang.” Sarah sudah tidak di belakangnya saat ia membalikkan badan.

Langkahnya keluar dari kamar, pelan menyisir ruang tamu, ruang-ruang sempit, di bawah meja dan kursi tak luput ia amati. Tetap saja matanya tidak menemukan adiknya yang sedang bersembunyi karena menghindar dari dirinya. Setelah merasa bahwa ruang tamu tak ada adiknya. Langkahnya kemudian ia arahkan ke dapur sebelum ke kamar orangtuanya.

Di dapur, ia tidak menemukan adiknya juga. Ia mulai lelah dengan pencarian yang sedari tadi tidak menemukan hasil. Melihat ibuknya mencuci piring, langkahnya ia percepat menuju tempat perempuan yang sangat ia sayang.

“Lihat Sarah tidak, Buk?” Ia berbisik pelan ketika selesai menepuk bahu ibuknya.

“Bukannya sama kamu tadi di kamar?”

“Iya, Buk, setelah itu kami main petak umpet,” dengan pandangan bingung ia mencerna retina ibuknya yang juga menyisir segala sudut ruangan dapur.

“Tidak tahu ibuk, cobak cari di kamar,” sambil menunjuk ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat.

Setelah melihat pintu kamar tidak tertutup rapat, ia menaruh keyakinan besar bahwa adiknya ada di kamar orangtuanya. Setelah memantapkan keyakinan, ia menyusun rencana ketika berada di kamar orangtuanya, tangannya harus menutup pintu dari dalam agar adiknya yang semakin hari pandai sembunyi tidak lari ke mana-mana, selain hanya dalam kamar orangtuanya.

“Dek Sarah, kau sembunyi di mana?”

Langkahnya palan-pelan menuju ke bawah ranjang yang hanya bisa dimasuki anak kecil. Karena pertama memasuki ruangan, ia yakin kalau adiknya ada di bawah ranjang tidur. Keyakinannya ia tengarai pada seprai yang terangkat ke atas sedikit, seolah ada sesuatu yang baru masuk.

“Kenak kau!” Ucapnya ketika membuka seprai.

Matanya melongo ke seberang ranjang tidur, tak ada benda apapun yang menghambat pandangannya tembus ke sebelah ranjang. Ia semakin bingung, pada adiknya yang sudah sekolah dasar kelas satu, karena tidak ada di bawah ranjang tidur.

“Defi, kamu sama Sarah belum makan dari tadi, sini makan dulu,” panggil ibuknya dari dapur dengan suara lantang. Matanya melongo melihat jam yang jarum pendeknya mengarah angka sembilan.

Kesempatan untuk menangkap adik, gumamnya.

“Iya, Buk, Defi ke dapur.”

Sesampainya di dapur, ia tidak melihat adiknya di meja makan. Pikirannya semakin bingung, ia sudah tidak tahu harus kemana lagi mencari adiknya. Hanya kamar mandi yang belum ia susuri. Tetapi apakah adiknya akan ada di kamar mandi hanya untuk sembunyi? Bukankah adiknya tidak begitu suka air? Terlebih ketika bermain, kamar mandi menjadi musuh bagi adiknya?

“Defi tidak melihat Sarah, Buk.”

“Ngite’ di mana adikmu itu.”

Cepat-cepat Defi menggeleng, “Di kamarnya ibuk tidak ada.”

“Sarah ayok makan dulu, dari tadi pagi kamu tidak makan,” panggil ibuknya lagi ketika cemas mulai menghampiri.

Tak ada sahutan dari putri kecilnya, ibuknya semakin cemas, meskipun bermain di dalam ruamah. Defi yang juga mengerti raut wajah ibunya ikut was-was pula. Ia semakin mengakui kehebatan adiknya dalam bersembunyi.

***

Suara bising kenalpot terngiang di mana-mana. Tawar-menawar penjual dan pedagang tersiar ke udara, mengapung, mengundang polusi suara yang menyesaki telinganya. Bau sayur busuk menyengat dari tempat sampah yang tidak terurus. Semua orang yang ada, tidak sedikit yang memperlihatkan matanya saja, semua penutup itu hampir sama-berbentuk segitiga-menghalangi paras mereka. Hanya mata yang tampak.

Baru kali ini, ia merasakan sesuatu yang tidak sama ketika berkunjung ke pasar. Seolah ada sesuatu yang menjanggal ketika melihat keadaan pasar, dan ada sesuatu tidak nyaman dalam dirinya berada jauh disana memanggilnya. Wajah penjual dan pembeli sama sekali tidak menampakkan raut bahagia, seolah sesuatu yang membuat wajah itu tidak tampak mengekang dan memenjara ekpresi mereka. Nyaris serupa raga tanpa nyawa.

Barangkali, begitulah nasib pasar yang terjala musim wabah, dimana semua harus sesuai dengan aturan pemerintah yang mudah saja diubah-ubah tergantung dengan kehendak hati si bedebah. Selama wabah menyelimuti negara, membuat peraturan tidak perlu diskusi lama-lama, tidak juga mengundang banyak manusia, pun tidak usah lihat kitab, sejarah yang mana, tinggal menyesuaikan dengan kehendak hati. Diumumkan, itu intinya.

Semuanya harus pakai masker. Handsanitizer tidak begitu dibutuhkan. Pembatasan sosial dan kegitan masyarakat diwajibkan. Jika melanggar, meja hijau menjadi tempat jamuannya. Keterpaksaan ikut menjadi rukun agama yang mutlak dipiara.

Defi juga mengerti, bahwa dengan adanya peraturan yang prematur, emosi warga juga mudah terpancing. Terlebih di pasar yang menjadi tempat dimana mereka mengais rezeki. Selama peraturan dibuat, tak jarang selalu merujuk pada tempat-tempat ramai, seperti tempat ibadah, pasar dan perhelatan, kecuali mall.

“Defi tidak mau pakai masker, Buk,” tangannya langsung menarik masker yang melekat dan menutupi hidung serta mulutnya.

“Defi harus pakai masker, nanti sakit.”

“Sakit itu ‘kan dari Al…la..h, Buk,” malu-malu ia berucap.

Ibunya diam, tidak tahu harus menjawab apa. Sebab ia tidak menyangka bahwa anaknya yang sudah beranjak dewasa akan mengatakan hal demikian.

“Pasang saja, di sini bau,” elak ibuknya sambil merapikan kembali posisi masker Defi.

“Tapi, Bu, Defi sesak.” Ibuknya tetap memperbaiki posisi maskernya dan tidak menghiraukan keluhan putri sulungnya.

“Kita jangan lama-lama disini, adikmu sedang panas.”

Akhirnya ia tetap menuruti kemauan ibuknya, sebab apa yang dikatakan ibuknya benar, bahwa di pasar tempat bau bersarang, bahwa sedari tadi ia belum makan, bahwa ia belum mandi, bahwa sebelum berangkat ke pasar tadi, adiknya panas. Dan dirinya cemas. Gegas mereka berjalan melanjutkan pembelian bahan-bahan dapur.

Sesampainya di depan penjual sayur, Defi mulai pening. Penglihatannya kabur, berburu entah kemana, seakan-akan ia tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan membeli sayur. Ingin sekali ia memberi tahu ibuknya, tapi karena ibuknya sibuk menawar sayur, ia memilih duduk seolah mencari cara untuk mengembalikan kesehatannya.

Denyut nyilu di kepalanya terus menggorok. Sedang pikiran bingung harus melakukan apa. Di saat genting seperti ini, pikirannya teringat Sarah yang sedang menahan panas di rumah. Ia berharap, sesampainya di rumah, adiknya sudah sembuh, pun ia juga mengamini kalau dirinya juga bisa seperti semula.

Pikirannya semakin berkecamuk, ketika bayangan wabah yang tak kunjung selesai merenggut waktu bermain dan belajarnya. Ia sudah muak dengan keadaan yang terus diatur pemerintah sesuai keendak hati saja, tanpa berpihak pada anak-anak dan kaum jelata. Ia tahu dari guru ekonominya di sekolah, bahwa pemerintah melarang aktivitas warga tanpa memberi tunjangan sosial.

“Mereka enak, duduk tetap dibayar,” kenang perkataan gurunya suatu hari yang lampau.

Kehidupan selama wabah tidak memberikan mereka ruang untuk melakukan pekerjaan di luar rumah. Seolah-olah dengan diberlakukannya pembatasan, semua warga akan sembuh dari serangan wabah. Kematian tidak akan menjerat erat. Kehidupan sehari-hari selamat dari melarat, dengan mereka yang setiap saat sibuk melakukan rapat, menolong masyarakat tidak dari jarak dekat.

“Defi kenapa?” Tanya ibuknya ketika selesai membayar sayur.

“Pengen duduk saja, Buk,” ia terpakasa berbohong agar ibuknya tidak tambah cemas karena kondisi adiknya melekat di raut perempuan yang hampir senja itu.

“Ayok pulang, ibuk sudah selesai belanja.”

Defi berjalan di samping ibuknya, sambil sesekali melirik bawaan ibuknya. Cukup banyak sayuran yang dibeli. Tapi tetap saja, denyut di kepala masih ada.

“Ibuk banyak sekali beli bahan dapur?” Dengan perasaan heran, ia bertanya meski pening di kepalanya tetap berdenyut.

“Takut tidak dapat Bansos.”

Pikirannya tidak begitu mengenal betul apa itu Bansos, yang ia tahu, Bansos itu suatu kegiatan yang berkenaan dengan sosial, seperti penyejahteraan gamblangnya. Sepengetahuannya, keluarga atau tetangganya tidak pernah dapat Bansos itu, yang ia tahu, gara-gara Bansos, ada yang dihukum.

***

Setelah selesai makan, Defi mencari adiknya kembali. Saat ini, adiknya-ia mengakui dengan sungguh-sungguh-sudah mengunggulinya dalam hal bersembunyi. Buktinya, sampai selesai makan, ia tidak menemukan adiknya. Ia tidak tahu harus mencari kemana lagi.

“Defi belum mencari di kamar mandi, Buk,” ujarnya girang ketika pikirannya mengingat kamar mandi yang belum ia injaki.

“Cobak kamu lihat di kamar mandi.”

Dengan langkah gegas agak memelas, ia menggiring kakinya untuk menuju kamar mandi. Ia berharap sangat-ketika menuju kamar mandi-pandangannya menemukan sang adik, ia ingin bercerita banyak hal tentang permainan saat wabah pergi ke surga. Dengan begitu, ia akan bisa menyusun bermacam-macam permainan untuk dimainkan bersama teman-temannya.

Ia sangat berharap, ketika pandemi usai, semua yang pernah ia mainkan, sebelum ada pandemi, bisa dilakukan kembali bersama-sama, tanpa pengawasan orang tuanya. Dengan begitu ia bisa bermain sepuas-puasnya. Sampai tak terasa-akibat menghayal “berharap” saat wabah tiada-kakinya sudah ada di depan pintu kamar mandi.

Ia memegang gagang pintu dan mendorongnnya pelan-pelan.

“Kau yang jaga,” kalimat itu keluar dengan suara nyaring.

Lagi-lagi matanya tidak menangkap sang adik ada di kamar mandi. Ia semakin bingung adiknya bersembunyi di mana.

“Adik tidak ada di kamar mandi, Buk!”

Dengan tubuh yang lelah, dan pikirannya sudah tidak tahu harus mencari kemana adiknya bersembunyi. Ia putuskan dengan cepat untuk merehatkan tubuh yang sudah kekenyangan. Barangkali dengan begitu adiknya, kalau kesal, akan menaiki tubuhnya meski ia sedang tertidur.

Ketika sampai di kamarnya, matanya menyisir ke segala sudut kamar, berharap ada tanda-tanda adiknya yang sedang bersembunyi.

Setelah ia yakin kalau adiknya tidak ada di kamarnya, ia langsung ke ranjang tidur, karena panggilan kasur tak dapat ia tolak. Ia membaringkan tubuhnya ke selatan. Tiba-tiba matanya melihat pintu lemarinya tidak tertutup rapat. Dengan penasaran, tubuhnya ia buat jaga kembali untuk membuka lemarinya.

Tanpa ragu-ragu, ia langsung membuka pintu lemari. Ia sangat berharap adiknya ada di dalam lemari, sehingga cerita-cerita ketika wabah pergi ke surga akan didengar adiknya.

“Ibuk…! I..b…u…! Dek Sarah,” teriaknya lantang melihat adiknya pucat.

Perpustakaan Lubangsa, 2021.

Tentang Penulis :
Muhtadi ZL
Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) kelahiran Gedangan, Sukogidri, Ledekombo, Jember, Jawa Timur ini sedang mendalami ilmu agama di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di beberapa komunitas menulis, seperti Komunitas Sangkar Kata, Komunitas Literasi Santri Surau (KL2S), Komunitas Penulis Kreatif (KPK)-Iksaj, Komunitas Cinta Nulis (KCN)-Lubsel dan Lesehan Pojok Sastra (LPS)-Lubangsa.

————– *** —————

Rate this article!
Petak Umpet,5 / 5 ( 1votes )
Tags: