“Rigid” K3 di Smelter

Terjadi lagi kebakaran tungku smelter nikel di Morowali, Sulawesi Tengah. Hanya berselang tiga pekan dari tragedi kecelakaan (kecerobohan) kerja yang merenggut 18 jiwa pekerja. Karena berulang, maka patut diduga, pemilik perusahaan melanggar berbagai undang-undang (UU) Ketenagakerjaan. Sekaligus melabrak HAM (Hak Asasi Manusia). Aparat negara, termasuk Komnas HAM, wajib sigap melindungi setiap buruh. Terutama yang bekerja dengan risiko tinggi.

Potensi kebarakaran (dan ledakan) tungku pada smelter nikel, tergolong prioritas K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Karena itu Kementerian Perindustrian menurunkan tim investigasi. Hasil investigasi juga dapat menjadi evaluasi untuk perusahaan dalam pengawasan dan pengendalian pelaksanaan K3. Bahkan Komisi VII DPR-RI, meng-anggap perlu dilakukan audit teknis K3 di seluruh smelter. Keselamatan jiwa wajib lebih diutamakan dibanding keuntungan ekonomi.

Dalam kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah, terdapat salahsatu smelter bijih nikel terbesar di dunia. Pemiliknya perusahaan besar asal China, Tsingshan Holding Group Company Limited. Investasi totalnya konon, mencapai US$ 6 milyar (lebih dari Rp 91 trilyun). Bukan perusahaan ecek-ecek. Maka seharusnya memiliki fasilitas dan sistem K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) memadai.

Kebakaran tungku smelter terjadi pada PT Sulawesi Mining Investment (SMI). Bagian dari perusahaan yang sama, Tsingshan Group. Pemicunya, diawali terjadinya peluapan pada tungku nomor 1. Carian slag (limbah peleburan). Limbah slag yang tumpah bersentuhan dengan barang-barang mudah terbakar di lokasi. Bahan yang tertumpah dengan suhu sangat tinggi, seketika menjadi kebakaran. Pada tragedi sebelumnya (26 Desember) tungku nomor 41 yang terbakar.

Tragedi kebakaran smelter di Morowali, tercatat sebagai kecelakaan kerja industry smelter paling parah di Indonesia. Saat itu sebanyak 46 pekerja berhasil menyelamatkan diri, namun menderita luka bakar. Sebanyak 18 yang meninggal, 8 diantaranya tenaga kerja asing (asal Tiongkok). Smelting (peleburan) bijih nikel merupakan pekerjaan khas bidang pertambangan jenis logam yang ditambang dari perut bumi. Pekerjaan yang tergolong berisiko tinggi. Karena pekerja harus berhadapan langsung dengan suhu tinggi yang bisa membahayakan keselamatan.

Smelter merupakan industry manufaktur, tergolong padat modal. Sekaligus padat teknologi. Sehingga diperlukan prosedur K3 yang sangat “rigid” (tidak boleh kendur) Di Indonesia, penyediaan smelter telah menjadi kewajiban setiap perusahaan penambang mineral logam. Antara lain, seperti perusahaan penghasil nikel yang banyak ditemukan di Morowali (Sulawesi Tengah), dan Halmahera Timur (Maluku Utara).

Awal tahun 2024, menjadi periode semester kedua, batas akhir ekspor konsentrat nikel tanpa proses smelting. Selanjutnya, berdasar UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), seluruh ekspor mineral logam, harus melalui hilirisasi. Wajib diolah melalui smelter. Berdasar catatan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya mineral) pada tahun 2022 sudah terdapat 7 smelter. Serta tahun 2023 bertambah 17 smelter lagi (menjadi 24 smelter).

Pemerintah wajib audit dan pengawasan prosedur K-3 di tiap smelter. Kenyataannya, banyak pabrik (dan industri skala menengah dan besar) melanggar aturan UU tentang K-3. Dalam UU 1 tahun 1970, pasal 2 ayat (2) angka ke-2, disebutkan berlakunya asas wajib keselamatan kerja. Secara tekstual dinyatakan, “dalam tempat kerja dibuat, diolah, dipakai dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan insfeksi, bersuhu tinggi.”

Setiap pekerja pada smelter patut memperoleh perlindungan, sesuai amanat konstitusi. Tercantum pada UUD pasal 28D ayat (2). Jiwa rakyat Indonesia, lebih dilindungi dibanding investasi industri.

——— 000 ———

Rate this article!
“Rigid” K3 di Smelter,5 / 5 ( 1votes )
Tags: