Sistemik Cegah Putus Sekolah

Reorientasi Spirit Pendidikan Pasca Pandemi

Oleh :
Yunus Supanto
Tenaga Ahli pada DPRD Prov. Jawa Timur, penggiat dakwah sosial politik

“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” (di depan memberi teladan, di tengah membangun ide-ide prakarsa, di belakang memberi dukungan).
(Raden Mas Suwardi Suryaningrat, alias Ki Hajar Dewantara)

Seluruh dunia memulai babak baru kehidupan, setelah terbelenggu pandemi. Disusul ke-tidak pasti-an global berkait sektor pangan, energi, dan keuangan global, menjadi tema yang tidak mudah dibicarakan. Namun hanya satu faktor kehidupan yang tidak boleh terganggu, dan benar-benar wajib di-aman-kan bersama. Yakni, Pendidikan (sekolah). Seluruh dunia berpartisipasi menyokong Pendidikan dengan peradaban baru: Toleran, dan saling membantu.
Diyakini, bahwa tujuan Pendidikan (sekolah) merupakan pembangunan peradaban. Tertera dalam visi ke-pendidik-an yang dicanangkan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultrual Organiztion). Yakni, meliputi 4 pilar, terdiri dari: Pertama, learning to Know, Kedua, learning to do, Ketiga, learning to be, dan Keempat learning to live together. Prinsipnya, pelaksanaan Pendidikan yang merdeka sepanjang hayat, membentuk kompetensi mampu bertanggungjawab menentukan jalan hidup sendiri.
UNESCO, memasukkan prinsip learning to live together, sebagai salahsatu tujuan Pendidikan untuk perdamaian tingkat nasional, dan global (dunia). Prinsip perdamaian juga menjadi perhatian agama-agama, diajarkan dalam kitab suci. Termasuk tercantum dalam AlQuran surat Al-Hujurat ayat ke-13, menyatakan, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. … .” Saling mengenal, niscaya dengan saling menghormati, dan menghargai.
Pertautan antara perdamaian dunia dengan Pendidikan menjadi satu kesatuan, sebagai tujuan didirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat. Secara tekstual dinyatakan, “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial … .”
“Merdeka” ber-kependidikan menjadi visi utama bapak Pendidikan RI, Raden Mas Suwardi Suryaningrat (lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara). Dibuktikan dengan mendirikan sekolah untuk semua (pribumi) tak terbatas. Senafas dengan prinsip UNESCO. Konsep ke-guru-an Ki Hajar Dewantara, utamanya, di-adopsi dari guru mengaji di kampung Kalasan, Prambanan, Yogya.

Ketokohan kyai Sulaiman Zainudin, meng-ilhami salahsatu santrinya (RM Suwardi Suryaningrat), tentang konsep pengajaran rakyat. Bahwa pendidikan bukan sekadar transformasi (menyebarkan) ilmu dan pengetahuan. Melainkan memberi teladan moralitas, ing ngarsa sung tulada. Pendidikan, juga harus menjangkau segenap masyarakat, tanpa diskriminasi (strata ekonomi, sosial dan politik).

Jasa Sekolah Swasta
Hari lahir Raden Mas Suwardi Suryaningrat, dikukuhkan sebagai peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hingga kini Hardiknas ke-64, kosmis ke-pendidikan Indonesia telah sangat Makmur, bertebaran sekolah berbagai tingkat. Banyak sekolah didirikan pemerintah, dan kalangan swasta. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 399.376 satuan pendidikan (sekolah). Naik tipis, sekitar 1,18 % dibanding tahun ajaran 2021-2022 (sebanyak 394.708 unit).
Penyelenggaraan sekolah swasta menjadi tulang-punggung utama kependidikan nasional. Mencapai sekitar 92%, terutama diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan ber-altar keagamaan. Swasta sangat berjasa dalam pemyelenggaraan Pendidikan nasional. Namun pemerintah perlu meningkatkan mutu penyelenggaraan pengajaran. Terutama tambahan guru (untuk semua jenjang). Serta sokongan gaji guru swasta.
Harapan Ki Hajar Dewantara, adalah seluruh rakyat Indonesia bisa mengakses Pendidikan memadai. Bahkan harapan Ki Hajar Dewantara telah dikukuhkan dalam konstitusi. UUD pasal 31 ayat (2), menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Pendidikan dasar yang dimaksud (berdasar UU Sisdiknas tahun 2003), adalah program wajib belajar selama 9 tahun, sekolah tingkat SD dan SLTP.
Namun amanat konstitusi masih terkendala pemahaman pemerintah daerah, dan kemiskinan rakyat. Menjadikan biaya pendidikan terasa mahal, tak terjangkau kalangan keluarga miskin yang masih sangat banyak. Walau sebenarnya terdapat mandatory konstitusi tentang pembiayaan Pendidikan nasional. UUD pasal 31 ayat (4), menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Masih banyak Pemerintah Daerah (Propinsi serta Kabupaten dan Kota) belum meng-alokasikan APBD sebesar 20% untuk pendidikan. Pendidikan mahal, bukan hanya pada tingkat SLTA. Bahkan sejak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), pra-TK dan TK (Taman Kanak-kanak). Pemerintah seyogianya mencegah eksploitasi lembaga pendidikan sebagai ladang bisnis.

Cegah Putus Sekolah
Hingga kini indeks ke-pendidik-an (lama sekolah) secara nasional masih senilai 7,2. Artinya, hanya sampai pada tingkat SLTP kelas 1, naik ke kelas 2 hanya beberapa bulan, lalu putus sekolah. Berdasar data BPS, angka putus sekolah pada tahun 2022 meningkat. Pada jenjang SLTA angka putus sekolah sebesar 1,38%. Artinya, terdapat 138 siswa putus sekolah dari 10 ribu siswa SLTA. Jika jumlah siswa SLTA sebanyak 10,26 juta (tahun ajaran 2021-2022), maka jumlah putus sekolah pada tingkat SLTA sekitar 140 ribu siswa putus sekolah.
Begitu pula tingkat SLTP angka putus sekolah sebesar 1,06%. Serta putus sekolah tingkat SD sebesar 0,13%. Sebesar 95% tragedi putus sekolah, disebabkan faktor ekonomi. Setelah putus sekolah, anak-anak harus bekerja menopang ekonomi keluarga. Berdasar data BPS, terdapat lebih dari 4,5 juta anak-anak yang dipaksa untuk bekerja. Diantara jumlah tersebut, 1,75 juta bekerja dalam jenis pekerjaan yang terburuk untuk anak. Antaralain, mengemis, mengamen, sampai menjadi kurir peradaran narkoba.
Murid dari keluarga miskin (gakin) memerlukan fasilitasi tambahan, agar sekaligus dapat tutut berperan menjalankan fungsi “ke-ekonomi-an” keluarga. Misalnya, di-fasilitasi pemberian hewan ternak (ayam, bebek, atau sapi maupun kambing). Hewan ternak dapat diurus oleh anak-anak murid gakin di sekitar rumahnya, setelah pulang sekolah. Angka murid gakin diperkirakan masih mencapai 17 juta-an peserta didik. Sejumlah itulah yang mesti diwaspadai rawan putus sekolah. Menyebabkan IPM Indonesia (72,91) masih pada peringkat ke-6 di ASEAN.
Diperlukan inovasi (dan penambahan) pemberian bantuan kepada siswa miskin. Antaralain berupa modal dan model kerja khusus, sesuai budaya lokal. Karena sesungguhnya setiap daerah memiliki kebiasaan mengupayakan perekonomian secara bersama. Sekeluarga gotongroyong mengupayakan penghasilan, disesuaikan dengan “kekuatan bahu” masing-masing. Termasuk melibatkan anak-anak dalam pekerjaan seni dan hobi ketrampilan.
Dengan inovasi bantuan modal kerja siswa miskin dapat bekerja di sekitar rumah menyokong pendapatan keluarga setelah pulang sekolah. Pada masa liburan, pengalaman siswa siswa gakin kerja di sekitar rumah dapat ditularkan kepada teman-teman, sebagai hiburan sangat menyenangkan.
Namun sudah banyak kritisi pula, bahwa pola pendidikan saat ini hanya bagai education for test. Isinya, cuma pelajaran kepada murid hanya untuk menjawab soal ujian. Sekadar penguatan kognitif, berhitung dan menghafal. Padahal setiap ilmu (dan pengetahuan), “memiliki cerita,” semacam kronologi, hubungan kausalitas (sebab dan akibat). Sekaligus sebagai sejarah transformasi budaya.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: