Suara Lain Tentang Desa

Judul : Aib dan Nasib
Penulis : Minanto
Penerbit : Marjin Kiri
Terbit : Cetakan Pertama, Juli 2020
Tebal : i – vi + 263 Halaman
ISBN : 978-602-0788-00-5
Peresensi : Wahid Kurniawan
Penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat

Kita kerap membayangkan lanskap desa tampak permai nan indah. Indah bukan saja lantaran bentangan alamnya yang asri, melainkan pula oleh keramahtamahan penduduknya. Bayangan itu kiranya bercokol di kepala dalam kurun waktu yang lama. Kita kadung mengingat desa sebagai bentuk geografi yang sedap dipandang dan menjadi tempat idaman untuk membebaskan diri dari kepenatan. Namun, apakah kita mengenal betul dengan kehidupan “desa” itu? Pernahkah kita memikirkan bahwa desa pun tak terbebas dari permasalahan sosial yang tak main-main?

Kita mungkin bisa merenungi perihal kehidupan di desa sesungguhnya setelah menamatkan novel garapan Minanto ini. Dalam novel yang bertajuk Aib dan Nasib ini, Minanto merekam wajah dari desa yang acap kali kita lupa: Dipenuhi permasalahan sosial berlapis-lapis. Desa yang dimaksud bernama Tegalurung, satu desa dari sekian desa di kecamatan asal penulis sendiri, Indramayu, Jawa Barat. Desa tampak jadi latar penting, sebab novel ini mengangkat kisah dari hampir semua penghuni Tegalurung. Maka untuk itu, novel mempunyai tokoh yang bukan saja banyak, melainkan pula komplit dengan segenap permasalahannya. Minanto menelanjangi persona desa yang sesungguhnya. Sekian aib berkelindan dalam kehidupan tokoh-tokohnya dan menunjukkan bahwa itu berhubungan dengan nasib yang cenderung malang.

Kemalangan, kemiskinan, ataupun kesialan setidaknya jadi potret yang amat gamblang di novel ini. Lewat tokoh keluarga Mang Sota, kita melihat betapa nasib sebagai pengemudi becak, memiliki rumah reyot, dan memiliki seorang anak dengan keterbelakangan mental bernama Uripah, sungguh menjadi perpaduan yang membuat hidupnya tak lepas dari kemalangan. Soal keberadaan anaknya itu, dikatakan bahwa , “Barangkali Uripah bisa dikatakan sial lantaran lahir dari persenggamaan Mang Sota dan Bi Turi; pertama, ia tidak pernah dianggap ada selama dalam kandungan Turi, meskipun kemudian ia dirasakan seperti tumor dalam rahim; kedua, ia sudah dianggap sebagai pembunuh sesaat setelah lahir (Hal 36-37).”

Dikisahkan, betapa kehidupan Mang Sota sebagai wong cilik kerap dirundung kesialan. Setelah kepergian sang istri, Bi Turi, di satu malam yang kelak diingat warga desa Tegalurung kemudian, kehidupan Mang Sota tak menunjukkan perubahan. Kelahiran Uripah, alih-alih membawa nasibnya menjadi lebih baik, justru kelak membawanya ke nasib sial lainnya, yakni sesuatu yang menerbitkan aib bagi dirinya sendiri.

Apa bentuk nasib sial itu? Tak tanggung-tanggung, Minanto melesakkan kesialan dalam diri Uripah dengan satu perbuatan keji yang dilakukan tokoh lain, yakni Susanto, salah satu pemuda tanggung di Tegalurung. Dan bukannya tanpa sebab, kejadian ini memiliki akar dari buruknya pergaulan pemuda yang dipotret penulis. Digambarkan olehnya, pemuda seperti Susanto, Bagong Bahrudin, Boled Boleng, ataupun Kicong, kerap menunjukkan kejantanan dengan sesuatu hal gila. Upaya ini seolah menunjukkan eksistensi mereka sebagai seorang lelaki.

Potret yang masih berkaitan dengan hal tersebut pun terjadi di antara Kicong dan pacarnya, Gulabia. Mengaminkan semangat patriarki yang kentara, para perempuan di novel ini hampir semuanya diletakkan di tingkat dua, seperti Gulabia contohnya. Setelah menjalin hubungan dengan Kicong, kemudian mengenal pria lain bernama Kartono, dan pada akhirnya ia menemukan dirinya hamil di luar nikah, nasib Gulabia pun bisa dibilang tak terlepas dari kemalangan. Penulis menggambarkan betapa kehidupan perempuan ini didera derita tak terperi, sementara ia tak punya pilihan sama sekali untuk mengelak.

Tak hanya menyoal mereka saja, penulis pun mengenalkan pembaca dengan keluarga Marlina dan Eni. Dan lagi-lagi, mereka bukannya terbebas dari kesialan dan kemalangan, lebih dari itu, selain terjerat urusan ekonomi yang tak stabil, urusan asmara pun mendera tokoh sentral di keluarga ini, yakni Marlina. Setelah menghadapi sekian rintangan untuk mempersunting pujaan hatinya, Eni, nasib rupanya tak berhenti mencuranginya begitu perempuan itu jatuh dalam pelukannya. Mimpinya membangun keluarga yang indah tampak menjauh dari hari ke hari.

Dengan adanya beragam kejadian semacam itu, maka seorang warga desa sampai berujar sinis, “Malah aku heran, kenapa TV-TV tidak datang ke Tegalurung buat siaran berita. Padahal kukira setiap hari pasti ada berita kriminal, apalagi di Tegalurung. Tidak pagi tidak siang tidak sore tidak malam. ( Hal 262)”

Begitulah Aib dan Nasib menunjukkan taringnya. Dikisahkan dalam bentuk fragmen-fragmen episodik yang tak biasa, ia mewartakan dengan jujur perihal kecelaan yang terkadang terlupakan bila kita membicarakan desa.

———- *** ———–

Rate this article!
Suara Lain Tentang Desa,5 / 5 ( 1votes )
Tags: