Wasiat Sakti Sang Petani

Oleh:
Jazilatul Khasanah

Sugito harus pulang ke kampung halamannya di Jawa Timur, lebih cepat dari rencana awal. Sebenarnya ia ingin santai-santai setelah penatnya mengejar ujian kelulusan. Namun, kabar dari kampung halamannya, menuntutnya agar segera pulang. Orang terpenting dalam hidupnya, hampir sebulan ini terbaring menjadi kembang kasur.
Bapak Sugito sering ngelindur menyebut nama Sugito, “Gito, Gito … pulanglah, Nak! Napas Bapak tinggal selembar.”
Pikiran siapa yang tak kacau mendengar kabar seperti itu. Terlebih, bapaknya adalah satu-satunya penyemangat hidup setelah kematian emaknya. Sugito khawatir jika dirinya tak segera pulang, ia akan benar-benar merasakan penyesalan seumur hidup. Akhirnya, malam itu ia melakukan penerbangan.
***
Selama di pesawat, pikiran Sugito kacau-balau. Sudah hampir dua tahun ia tak pernah menjejakkan kaki di kampung kelahirannya. Progam beasiswa ke luar negeri membuatnya harus pergi ke tempat yang sangat jauh. Bapak pun tak bisa menahan karena demi impian anak semata wayangnya.
Tiba di desanya, hati Sugito mendadak kalut. Pertanda apa ini? Langkah kakinya dipercepat. Sugito segera menuju rumah kayu sederhana, di mana dalam hal ini Bapak dan Sugito tumbuh menjadi insan pedesaan yang tetap menjaga marwah.
“Assalamu’alaikum!” Salam Sugito sebelum menjejakkan kaki ke dalam rumahnya. Tak ada yang berubah semenjak keberangkatan Sugito ke luar negeri. Sugito mengamati tiap sudut rumah kayu yang masih beralaskan tanah.
“Wa’alaikumussalam!” seseorang menyambut salamnya dan mucul dari kamar Bapak, “Mas Gito! Akhirnya kamu datang ….”
“Pakdhe!” Sugito membalas sapa.
“Mas Gito sudah pulang, Pak!” teriak Pakdhe pada Bapak, “ayo sini, Mas, tengok Bapak,” ajak Pakdhe kepada Sugito agar segera mendekat pada Bapak.
Tanpa berlama-lama, Sugito sudah berada di kamar Bapak. Duduk di samping bapaknya dan mencium tangannya yang tampak layu, “Assalamu’alaikum, Pak. Ini Gito, Pak,” ucapnya lembut.
Sugito tak kuasa menahan kesedihan melihat kondisi Bapak yang sudah terbaring lemah. Mendadak suhu tubuh Bapak menjadi dingin setelah tangannya mengelus rambut Sugito. Bapak tak mengucap sepatah kata pun. Hanya senyumnya, memberikan isyarat lega setelah melihat Sugito pulang. Kemudian disusul embusan napas pamungkasnya.
“Bapaaak …!!!” isak Sugito memecah ruangan.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!” ucap Pakdhe dengan ikut menangis sesenggukan.
“Yang tabah ya, Mas Gito … insyaallah, almarhum bapakmu sudah tenang dan lega setelah melihat Mas pulang.”
***
Muncul Yayan dari rumah sebelah. Jejaka anaknya Pakdhe. Ia memberikan Sugito selembar kertas.
“Ini ada titipan surat dari bapakmu, Mas. Sudah lama sebenarnya. Maksud Bapak menulis surat ini, menjaga, barangkali suati hari Bapak meninggal dan tidak sempat berjumpa dengan Mas lagi.”
Dengan wajah sembap, Sugito menerima selembar kertas tersebut. Melihat tulisan yang tak asing, membuktikan bahwa itu benar-benar tulisan Bapak. Belum sempat membaca, Sugito kembali melipat kertas itu dan memasukkan ke saku celananya. Karena kini harus mengurus jenazah Bapak, yang lebih utama.
“Pakdhe dan Yayan, mohon bantu saya mengurus jenazah, Bapak, ya,” pinta Sugito.
“Siap, Mas,” seru Pakdhe. Dan Yayan pamit, mengabari penduduk desa.
Sugito dan Pakdhe segera menyiapkan peralatan untuk memandikan jenazah Bapak, sambil menunggu penduduk desa datang. Sugito tak ingin terlarut dalam kesedihan meski rasa penyesalan menghantui, karena belum bisa membahagiakan Bapak.
***
Almarhum Bapak adalah orang baik di mata penduduk desa. Lelaki pekerja keras dan taat beribadah. Meski waktunya nyaris dihabiskan untuk mengurus sawah, waktu salat tak pernah ditinggalkan. Bahkan sehabis magrib, Bapak masih mengajari anak-anak mengaji di kampungnya. Kini, penduduk di sana merasa kehilangan.
Selesai menghantarkan doa kepada almarhum Bapak, orang-orang berpamitan pulang. Tinggal Pakdhe dan Yayan, dua lelaki yang setia merawat Bapak selama sakit. Sugito memilih duduk di dipan panjang sembari membuka selembar kertas berisikan pesan Bapak. Tiba-tiba pandangan Sugito bernostalgia tentangnya, setelah membaca isi surat itu.

Sugito, putraku ….
Semasa hidup, bapak telah sepenuhnya mengabdi menjadi seorang petani. Benih apa saja yang bapak tanam selalu tumbuh dengan baik. Kuncinya: menjaga ketaatan beribadah dan selalu bersyukur. Bapak bangga menjadi petani. Dari hasil panen bisa untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, membantu biaya sekolah dan kuliah kamu.
Setelah emakmu meninggal dan kamu kuliah di luar negeri, hari-hari bapak menjadi sepi dan sunyi. Setidaknya di hari tuanya bapak ini, bapak bisa menabung untuk persiapan mati. Dan semua harta yang bapak miliki untukmu, Anakku. Berdayakan dan dermakan dengan sebaik-baiknya.

Seketika semburat wajah pilu menggelayut. Pesan yang ditulis Bapak telah menghadapkan Sugito pada sebuah dilema: bertani di kampung atau kembali ke luar negeri.
***
“Apa yang sedang Mas pikirkan?” Yayan menepuk pundak Sugito dan membuat lamunannya buyar.
“Eh, kamu, Yan,” Sugito kaget.
“Sudah saatnya Mas Gito menetap di kampung ini. Merawat desa ini. Meneruskan jejak almarhum Bapak sebagai seorang petani teladan.”
Sugito terhenyak akan perkataan Yayan itu. Yayan seakan mengerti apa yang sedang dipikirkannya.
“Tapi, Yan …,” sahut Sugito. Kegalauan semakin terpancar di raut muka Sugito.
“Yayan tahu, Mas Gito ini lulusan kampus luar negeri. Apa nama tingkatannya, magister, kan, Mas … hebat pokoknya. Pastinya Mas Gito pengin kehidupan yang lebih baik, kan. Tapi, menjadi seorang petani itu bukan sesuatu yang hina, kan, Mas?” cerocos Yayan.
“Kenapa kamu ngomong gitu, Yan?” Sugito masih belum bisa memahami apa yang diutarakan Yayan kepada dirinya.
“Apakah menjadi seorang petani itu hanya dipandang remeh dan dianggap hina, Mas?” Yayan mengulangi pertanyaannya.
“Semua pekerjaan itu baik, Yan. Bertani pun pekerjaan bermartabat,” jawab Sugito.
“Nah itu, sudah ketemu jawabannya. Mas Gito pasti lebih tahu apa yang harus dilakukan berdasar maksud surat dari Bapak.”
Sugito tertunduk memikirkan apa yang diucapkan Yayan itu. Yayan pun melanjutkan pembicarannya yang sepertinya masih mengambang di benaknya.
“Lihatlah desa kita ini, Mas. Subur dan asri. Sayangnya, penghuni desa ini sudah tak asri lagi, alias sudah berumur. Tinggal yang sepuh-sepuh. Lantas, ke mana perginya para pemuda desa ini?”
Sugito seakan dibuat untuk terus berpikir terhadap pertanyaan Yayan yang terasa menghujamnya. Ia semakin tertarik mendengar Yayan, sembari mencari tahu jawaban apa yang dimaksud Yayan.
“Asal Mas tahu, mereka lebih memilih merantau, apalagi setelah lulus kuliah. Jarang yang mau balik ke desa ini. Paling kalau balik cuma sebentar untuk minta doa restu pada orang tuanya. Katanya, mencari rezeki di kota bisa membuat hidup lebih baik. Jadinya, ya gini, yang ngurus desa rata-rata sudah tua,” Yayan agak pesimis.
Yayan masih mendikte Sugito, “Bahkan untuk terjun menggarap sawah saja, mana ada yang mau. Mereka menganggap, jadi seorang petani itu bukan pekerjaan yang patut dibanggakan. Mungkin, Mas Gito juga sempat berpikir seperti itu, kan?”
Sugito tertunduk. Pikirannya berkecamuk. Kemudian ia tersenyum. Seakan mulai menemui titik terang, sebuah jawaban dari pesan Bapak.
***
Binatang-binatang sawah kini bersahut-sahutan. Seakan menyambut sebuah kehidupan baru di desa itu. Pagi itu, Sugito dan Yayan berjalan menapaki pematang sawah, dengan cangkul dan caping. Menjiwai semangat Bapak.
Lulusan luar negeri bukanlah aib terjun menjadi petani. Sugito kini mencoba membuktikannya. Setidaknya, wasiat Bapak telah banyak mengubah jalan hidupnya. Membuatnya semakin paham tentang hakikat kehidupan. Lahir tak membawa apa-apa, mati hanya butuh amal baik. (*)

Tentang Penulis:
Tri Jazilatul Khasanah, seorang ibu rumah tangga yang hobi membaca dan menulis. Karyanya berupa puisi, cerpen, dan resensi buku; pernah dimuat di beberapa media. Bukunya yang sudah terbit berjudul “Mahabbah Suci” (Mejatamu: 2018).

Rate this article!
Wasiat Sakti Sang Petani,5 / 5 ( 1votes )
Tags: