Anomali Cuaca, Petani Garam Pamekasan Berharap Pemerintah Perketat Import

H. Fathorrahman, selaku Pengusah dan Sekretaris Asosiasi Garam Rakyat Pamekasan.

Pamekasan, Bhirawa
Dampak anomaly cuaca Tahun 2022, produksi garam rakyat Madura, khususnya di wilayah Pamekasan mengalami keterlambatan. Sejumlah petani berharap kepada pemerintah memperketat import garam.

Petani beralasan, akibat cuaca yang tidak menentu itu, selain pendeknya masa produksi garam akan mempengaruhi jumlah produksi garam. “Kuncinya garam itu, karena cuaca dari panas matahari dan panas bumi. Selama masih ada hujan, proses untuk jadinya garam terhambat (mundur, Red),” kata H. Fathorrahman, Sekretaris Asosiasi Petani Garam Pamekasan.

Diungkapnya, pada Tahun 2021 lalu, kisaran produksi garam berkisaran 100 sampai 150 ton/hektar/permusim. Sekarang ini (2022, Red) bisa menghasilkan 75 ton saja sudah bagus. Karenanya, di bulan Agustus baru sebagian, dan pada September sudah produksi garam.

“Semestinya, Agustus 2022 sudah banyak. Kemarin hanya sebagian saja yang panen, sekarang masuk September. Kalau Oktober itu puncak panas. Dan Nopember diperkirakan sudah hujan. Musim garam pada 2022, tinggal 1,5 bulan. Apa yang bisa diharapkan petani,” tambahnya.

Kondisi ini apakah petani diuntungkan, Fathorraman, juga pengusaha garam asal Desa Pandan, menjelaskan, regulasi pasar tidak ditentukan seberapa banyak panen atau tidaknya. Sebenarnya, tergantung regulasi import.

“Selama regulasi import itu ketat maka otomatis harga akan naik. Kalau regulasi import mudah, harga pasti akan anjlok.Walau ketersedian garam di tingkat petani itu tinggi, kalau regulasinya import mudah. Itu pasti akan anjlok, begitu sebaliknya,” ucapnya.

Diakui Fathor, bahwa harga garam sekarang ini mencapai Rp. 1 juta 150 ribu/ton di atas truk. Ini diakui, Moh Yono, petani garam asal Desa Lembung. Namun harga itu belum dipotong biaya produksi dan ongkos angkut garam dari ladang.

“Biaya produksi ini sangat tinggi, termasuk ongkos kerja yang tidak kami hitung. Saya mengolah lahan garam hasil sewa. Petak lahan produksi sewa Rp. 18 juta/hektar/musim. Ditambah satu hektar air penampung yang nilai sama,” kata Yon.

Menurutnya, walau di musim kali ini harganya tinggi dibanding 2021, kisaran antara Rp. 600.000 sampai RP. 700.000/ton. “Kami petani penggarap memohon agar pemerintah memikir. Paling tidak membatasi import agar dimusim saat ini kami tidak mengalami kerugian,” pintanya.

Harapan kepada pemerintah, Fathorrahman menyatakan, sebenarnya rakyat tidak alegri kepada import. Asal import itu digunakan sesuai dengan tupoksinya. Penggunaanya benar-benar untuk industri, jangan sampai merembes.

“Sekarang terjadi adanya rembesan. Import itu bukan diperuntukan industri tetapi juga untuk garam konsumsi. Lalu siap yang mengawasi, rakyat tidak mungkin bisa mengawasi. Harus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkompeten untuk itu. Lalu sejauh mana, DPR itu mengawasi, saya tidak tahu,” ucapnya. [din.bb]

Tags: