Bersama Lancarkan Imunisasi

foto ilustrasi

Upaya tokoh masyarakat (ulama) nyata-nyata berhasil me-lancar-kan program imunisasi anak Indonesia. Sukses imunisasi anak (usia 9 bulan hingga 15 tahun), ditandai dengan capaian sasaran tersuntik telah melebihi target. Lebih dari 13 juta anak di Jawa, telah disuntik, hanya dalam waktu setengah bulan. Sebelumnya, dikhawatirkan imunisasi terkendala “kabar burung” tentang status ke-halal-an imunisasi. Juga hoax tentang dampak negatif pasca imunisasi.
Semula Kementerian Kesehatan mencanangkan sebesar 35% (sekitar 11,5 juta) anak di seantero Jawa bisa mengikuti suntik imunisasi. Ternyata, lebih banyak orangtua di pedesaan mengikuti imunisasi melalui posyandu (Pos pelayanan Terpadu). Biasanya posyandu digerakkan oleh ibu-ibu PKK, hanya melayani timbang badan anak, dan pemberian asupan gizi. Imunisasi oral (vitamin A dan obat cacing) juga diberikan melalui posyandu.
Namun tidak mudah untuk imunisasi masal suntik. Seperti dulu (dekade awal tahun 1970-an) suntik cacar, juga tidak mudah dilakukan. Penyebabnya tak lain, “kecurgiaan” masyarakat tentang ke-halal-an bahan imunisasi. Bisa dimaklumi, karena mayoritas masyarakat beragama Islam, patut memperoleh jaminan halal. Harus diakui, hingga kini MUI (Majelis Ulama Indonesia) belum menerima uji ke-halal-an bahan imunisasi, termasuk berbagai vaksin.
Berdasar data MUI, hingga kini hanya tiga vaksin yang telah memiliki sertifikat halal, berdasar audit ke-halal-an. Dua diantaranya vaksin meningitis yang biasa disuntikkan pada calon jamaah haji dan umroh. Yakni, Menveo Meningococcal buatan Novartis (Italia) dan Mevac ACYW135 buatan Tianyuan, China. Serta satu vaksin diare untuk balita, buatan GSK (asal Belgia). Seluruh vaksin berasal dari impor, sehingga lazimnya melalui penelitian oleh LP-POM
Sebenarnya Indonesia memiliki payung hukum khusus (lex specialist) unsur ke-halal-an.Yakni, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Seluruh produk makanan, minuman, obat, pakaian dan lain lain yang berhubungan dengan masyarakat harus mempunyai sertifikat? halal. Karena itu sudah sepatutnya seluruh produsen obat mendaftarkan produk mereka untuk diteliti halal dan haramnya oleh LP-POM MUI.
Ironisnya, dari 18 ribu jenis obat yang terdaftar dan beredar di Indonesia, hanya 22 merek dagang telah memiliki sertifikat halal. Konon, ssangat minimalnya obat (termasuk vaksin) yang memiliki sertifikat halal bukan disebabkan MUI. Melainkan ke-enggan-an produsen obat yang belum pendaftaran produknya untuk dikaji oleh MUI. Ini yang menyebabkan sebagian umat Islam (yang mayoritas di Indonesia) ragu-ragu terhadap imunisasi. Umumnya dikhawatirkan tercampur unsur haram, terutama hewan sejenis babi.
Selain belum terjaminnya ke-halal-an, berbagai fakta pemalsuan vaksin, juga bisa menyurutkan nyali orangtua untuk mengikuti imunisasi.  Ingat misalnya, pemalsuan dilakukan lebih dari sepuluh tahun. Vaksin yang dipalsukan diantaranya yang menjadi program wajib suntik untuk anak-anak. Yakni, vaksin BCG (bacillus calmette guerin), vaksin polio, dan vaksin campak.
Di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Timur, pemasalan imunisasi sampai “dikawal” oleh Gubernur-nya, bersama tokoh masyarakat. Di Banten dan Jawa Tengah, Bupati dan Walikota juga turut mengawal imunisasi, dengan mengajak ulama. Ini tahun ke-22 sejak PIN pertama, dengan sasaran anak di 119 kabupaten dan kota se-Jawa. Melibatkan 3.579 puskesmas, serta jutaan unit posyandu di tingkat RT, RW, dan kelurahan.
Dengan prinsip “tombo teko lara lunga,” ber-harap terhadap ke-manjur-an vaksin. Karena diyakini setiap penyakit, pasti ada obat (dan cara penyembuhannya). Begitu pula kaidah agama mengajarkan, menjaga kesehatan, mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik. Serta berpola hidup sehat, dengan takaran makan tidak berlebihan. Suntik imunisasi (mencegah penyakit yang sangat berbahaya) lebih afdol dibanding mengobati penyakit.

                                                                                                             ———   000   ———

Rate this article!
Tags: