DKS Segera Kumpulkan Aktivis Peduli Budaya

Festival Seni SurabayaSurabaya, Bhirawa
Wacana tak diselenggarakannya Festival Seni Surabaya (FSS) oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya tahun ini, membuat Dewan Kesenian Surabaya (DKS) bergerak. Langkah yang diambil ini menjaring seluruh seniman yang ada di Surabaya dalam forum publik hearing yang bertepatan di Hari Jadi Kota Surabaya.
Hal ini diutarakan, Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Chirsman Hadi ketika ditemui Bhirawa, Selasa (24/3). Dirinya akan mengumpulkan segala potensi yang ada di seluruh Surabaya, mulai dari seniman, aktivis kampus, pengusaha, dan tentunya semua kalangan yang peduli akan budaya.
” Kalau memang Pemkot melalui Disbudpar tetap tidak mengadakan FSS (Festival Seni Surabaya) kami akan melakukan publik hearing yang dihadiri seluruh lapisan masyarakat yang peduli kesenian,” ujarnya.
Chrisman yang juga mantan aktivis ’98 ini menambahkan, hal ini untuk membicarakan tentang kebijakan Pemkot sudah serius apa belum sama budaya dan seni di Kota Pahlawan. Pemkot Surabaya, Kata Chrisman, ajang FSS ini adalah perkara identitas sebuah Kota, dimana kesenian dan kebudayaan yang ada di Surabaya disuguhkan dalam acara tersebut.
” Kalau ajang Cak dan Ning Pemkot bersedia menggelar? Kenapa FSS diabaikan. Padahal dua ajang ini bagian dari rangkaian menyambut Hari jadi Kota Surabaya. digelarnya Cak dan Ning itu juga karena desakan dari Dewan, kenapa Disbudpar bergerak kalau ada desakan saja?,” herannya.
Selain itu, dirinya mengungkapkan, secepatnya akan mengusulkan Perda inisiatif secara hukum. Kalau Perda sudah ada, menurutnya , konsekuensinya tugas pokok untuk menggerakkan kesenian tetap berjalan.
” Secepatnya akan kita ajukan Perda kebudayaan. Karena selama ini Perda yang mengatur perkara kesenian dan kebudayaan belum ada. Padahal identitas dan martabat bangsa ada pada kesenian. Selama ini Disbudpar Kota Surabaya melihatnya perkara komoditi,” terang Chrisman.
Chirsman juga menambahkan, selama ini Pemkot Surabaya belum serius menangani kesenian dan kebudayaan di Kota Pahlawan. Terbukti, anggaran yang digelontor dalam setahun hanya Rp 100 juta. Hal ini dinilai sangat rendah dibandingkan dengan Sulaewesi Selatan (Sulsel). Di Makassar sendiri mencapai Rp 10 miliar.
” Dari Aggaran Rp 100 juta dalam setahun itu pun juga dipotong pajak yang hanya menerima Rp 84 juta. Di Kota Angin Mamiri saja anggaran untuk seni dan budaya mencapai Rp 10 miliar dalam setahunnya, meskipun jumlah penduduk Makassar separuhnya dari Surabaya,” imbuhnya. (geh)

Tags: