Hari Resolusi Jihad

Pekan ini (akhir Oktober) 76 tahun lalu, di-sosialisasi-kan fatwa resolusi jihad, perang revolusi melawan penjajah kolonial. Fatwa dinyatakan oleh Rois Akbar (Ketua Besar) Syuriyah NU, hadratus-syeh Hasyim Asy’ary, dalam majelis ulama NU se-Jawa dan Madura. Disampaikan pula tekad masyarakat menolak perlucutan senjata oleh tentara Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda). Resolusi jihad juga disertai pekik sekaligus doa perjuangan khas santri, dengan kalimat “Allahu Akbar, Merdeka atau Mati.”

Resolusi jihad dicetuskan pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. Hasil dari kesepakatan ulama NU seantero Jawa dan Madura. Tidak semua ulama daerah diundang. Karena berpacu dengan waktu. Disebabkan tentara Sekutu telah berlayar makin mendekati teritorial Indonesia. Namun diberitahu agar mempersiapkan diri jihad fi sabilillah (perang suci). Kumandang perang bela negara terus menggelora.

Momentum resolusi jihad diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Resolusi berujung jihad fi sabilillah (perang suci) terbesar sepanjang sejarah nasional. Terjadi perang sejak akhir Oktober, berpuncak pada 10 November 1945. Tentara Sekutu mengenang sebagai perang terbesar setelah Perang Dunia II. Di dalam negeri, puncak perang di Surabaya, juga memicu perang di berbagai daerah. Antara lain, perang Ambarawa (Jawa Tengah), dipimpin Panglima Besar Sudirman.

Tidak ada catatan tentang jumlah korban perang Surabaya 10 November 1945. Namun diperkirakan belasan ribu tentara milisi rakyat gugur sebagai syuhada’. Sedang di pihak Sekutu ditaksir kehilangan 2000-an personel. Tetapi karena ber-prinsip jihad, maka tidak dikenal istilah kalah. Bahkan korban jiwa (gugur sebagai syuhada’) dianggap sebagai keberhasilan terbesar. Namun terdapat pula “kemenangan lain” yakni, solidaritas pasukan Sekutu dari India.

Orang Jawa menyebut tentara Sekutu (di bawah komando Inggris) dari Liga Muslim India sebagai tentara Gurgha. Salahsatu komandan Gurgha, adalah jenderal Zia Ul-haq, yang kelak menjadi presiden Pakistan.Gurgha memilih disersi, dan menolak perang sesama saudara muslim di Surabaya. Bahkan tak sedikit personel Gurgha, menikah dengan perempuan pribumi Indonesia, di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Fatwa jihad di-sosialisasi-kan melalui pengajian di mushala, dan masjid di seluruh kampung se-Jawa. Seruannya, bahwa perang melawan musuh bersenjata, merupakan jihad fardlu ‘ain (berdosa jika tidak turut perang jihad). Resolusi jihad, wajib untuk seluruh rakyat. Dewasa, anak-anak, dan perempuan, wajib turut perang. Masing-masing dengan peran berbeda. Bagai bersambung tekad dengan rakyat, “sekali merdeka tetap merdeka.”

Wartawan turut menyebarluaskan informasi fatwa jihad. Diantaranya dimuat koran Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) pada 26 Oktober 1945. Serta koran Berita Indonesia (Jakarta) pada 27 November 1945. Begitu pula radio amatir, secara sembunyi-sembunyi juga menyiarkan hasil musyawarah ulama se-Jawa dan Madura. Sehingga resolusi dan fatwa jihad semakin diketahui masyarakat luas. Kumandang perang bela negara makin menggelora.

Begitu pula gubernur Jawa Timur, RTM Soerjo, menolak menyerahkan senjata yang dimiliki rakyat (hasil rampasan dari tentara Jepang). Berlaku tekad, “hidup merdeka bermartabat atau mati syahid.” Dengan fatwa jihad, martabat bangsa, dan negara wajib dipertahankan. Amanat Proklamasi kemerdekaan menjadi pijakan perjuangan jihad fi sabilillah.
.
Pembukaan UUD 1945 alenia kedua, menyatakan, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Resolusi jihad masih relevan dikenang hingga saat ini, dengan model “perang” lain, dan dengan senjata yang lain pula. Terutama memerangi kebodohan dan keterbelakangan, yang membelenggu rakyat.

——— 000 ———

Rate this article!
Hari Resolusi Jihad,5 / 5 ( 1votes )
Tags: