Larangan Kampanye di Masjid

Calon Presiden dan Wakil Presiden, belum ditetapkan. Tetapi pelanggaran UU Pemilu sudah berpotensi dilanggar. Terutama kampanye terbuka (rapat umum) yang coba digenjot meriah, oleh bakal calon presiden. Seolah-olah Pemilu Presiden 2024 berjalan tanpa peraturan. Termasuk kampanye di tempat ibadah, berpotensi banyak diterabas. Bahkan Bawaslu Kota Surabaya tengah intensif mengkaji kemungkinan masjid nasional Al-Akbar Surabaya, telah di-salah guna-kan kampanye bakal Capres.

Sesuai amanat UU Pemilu tahun 2017, kampanye merupakan pendidikan politik masyarakat. Pada UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, kampanye diatur dalam 72 pasal, mulai pasal 267 sampai pasal 339. Dengan beberapa ayat dalam satu pasal, bahasan kampanye nenjadi norma pengaturan paling panjang pada UU tentang Pemilu. Antara lain jadwal kampanye diatur dalam pasal 276 ayat (1). Yakni, dimulai tiga hari setelah penetapan pasangan Capres dan Wapres, sampai tiga hari menjelang coblosan.

Ironisnya, terdapat bakal Calon Presiden (Bacapres) sudah mulai keliling seluruh Indonesia. Bisa jadi sekadar perkenalan sebagai Bacapres. Namun jika orasi melebihi 5 menit, dipastikan sudah terdapat unsur kampanye. Karena diikuti pengurus partai politik (parpol). Bukan sekadar perkenalan diri. Melainkan menyampaikan visi dan misi Bacapres. Sedangkan Bacapres yang lain diperkenalkan oleh “tim relawan” tak kalah masif. Walau tidak pengurus parpol.

UU Pemilu juga mengenal “larangan” dalam ber-kampanye. Dimulai pasal 280 ayat (1), huruf a hingga j. Khususnya pada huruf c, dilarang: “menghina seseorang, agana, sulnl, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.” Serta pasal 280 ayat (1) huruf d, dilarang: “menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.” Sanksi paling berat tercantum pada pasal 286, berupa pembatalan sebagai paslon (Capres-Wapres) maupun Caleg.

Kampanye akan menjadi “pertaruhan” dalam setiap Pemilu. Terutama oleh Tim sukses Capres. Tetapi seluruh kontestan wajib mematuhi peraturan yang berlaku. UU Pemilu Tahun 2017, juga memiliki larangan “lokasi” untuk kampanye Pemilu legislatif, sekaligus Pilpres. Pasal 280 ayat (1) huruf (h) tertulis “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan,” sebagai lokasi kampanye.

Tetapi Bacapres, dan Bacaleg, boleh menjadi “tamu” di dalam tempat ibadah. Dalam lampiran penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf (h), peserta pemilu hanya boleh menggunakan tempat ibadah ketika diundang oleh pihak penanggung jawab tempat ibadah dan tidak memakai atribut kampanye pemilu. Juga tidak orasi sebagai kontestan Pemilu. Tempat ibadah, bukan hanya masjid. Melainkan juga mushala, , gereja, vihara, pura, dan kelenteng.

Bahkan di halaman (di dalam pagar) tempat ibadah juga tidak boleh. Diyakini, seluruh tempat ibadah merupakan lokasi tumbuh kembang peradaban agama, sekaligus pendidikan umat. Niscaya akan menjadi garda terdepan menjaga kerukunan umat. Setiap musim Pemilu, tempat ibadah akan menjadi lokasi yang steril politik identitas. Kebebasan berpolitik dalam demokrasi merupakan “buah” dari pelaksanaan HAM (Hak Asasi Manusia).

Konstitusi (UUD) menjamin kebebasan informasi dan menyatakan pendapat. UUD pasal 28F, menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Bahkan konstitusi memberi kewenangan kepada negara (pemerintah) menjamin pelaksanaan HAM, secara berkeadilan. UUD pasal 28-I ayat (5), mengamanatkan, “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: