Menggugat Keterbukaan Informasi dan Deliberasi Caleg

Oleh :
Galang Geraldy
Dosen Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Masa kampanye pemilu 2024 telah berjalan sejak 28 November lalu sampai 10 Februari 2024 nanti, meskipun sejatinya semarak kontestasi politik telah muncul jauh sebelum masa-masa kampanye resmi dari KPU. Terutama melalui baliho, banner dan alat peraga kampanye lain yang membuat ruang kota menjadi semakin padat bahkan tidak beraturan. Ketidakberaturan pemasangan baliho sepertinya tidak memiliki unsur pelanggaran serius, bahkan terkesan terjadi pembiaran. Di berbagai sudut kota pasti dengan mudah kita temukan berbagai ukuran baliho yang sangat tidak elok secara estetika ruang kota. Sedangkan dari perspektif komunikasi politik pun tidak memberikan atmosfer keterbukaan dan deliberatif.

Hal itu berbeda dengan kontestasi Pilpres yang setiap media massa dan kanal sosial media selalu mengupas habis, instrumen debat dipersiapkan sedemikan rupa, sedangkan dalam konteks relasi sejawatnya yaitu pemilu legislatif DPR, DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten, publik dijejali mekanisme komunikasi politik yang sarat simbolisasi. Pesan melalui baliho jelas tidak bisa menjadi parameter dalam mengenali dan menganalisa ide, gagasan yang substansial, alih-alih sebagai instrumen kontrak politik.

Cara dan mekanisme komunikasi politik para caleg yang didominasi baliho adalah persoalan yang serius jika memang pemilu serentak 2024 nanti diyakini tidak hanya soal Pilpres semata. Komunikasi politik ‘balihoisasi’ hanya menampilkan identitas caleg secara semiotik yang sarat artifisial. Melalui baliho, bagi caleg perempuan seakan-akan dibuat ‘se-cantik-cantiknya’, bagi yang pria di permak ‘se-tampan-tampanya’, se-religiusnya’. Atau bisa saja di buat pula ‘se-ndeso-ndesonya’, ‘se-merakyat-rakyatnya’ dan seterusnya. Lantas apa urgensinya publik kemudian menentukan pilihan ? Kampanye politik terdistorsi hanya melalui semiotika rupa wajah, kostum dan berbagai aksesoris ‘gimmick’ lainnya.

Sistem Informasi Caleg
Peraturan KPU nomor 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota memuat sejumlah persyaratan bagi bakal calon anggota legislatif yang hendak maju dalam pertarungan pemilu. Melalui itu, KPU kemudian menyiapkan platform digitalisasi informasi melalui https://infopemilu.kpu.go.id yang menampilkan keterbukaan informasi riwayat diri, alamat rumah, profil pendidikan, organisasi, motivasi dan program usulan.

Terlepas dari itu, kita mungkin memahami pasal 17 huruf h UU tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menyebut daftar riwayat hidup adalah salah satu bentuk informasi yang dikecualikan. Maka beberapa caleg memang tidak menampilkan informasi di atas melalui kanal yang telah dibuat KPU tersebut. Persoalannya, pertama, sebagai caleg yang notabene pejabat politik yang sangat berkaitan dengan kepentingan publik tentu menjadi keniscayaan bagi publik untuk dapat mengetahui profil diri dan tujuan politiknya. Secara representasi politik, kita dapat menilai sejauh mana korelasi profil diri dan motivasi politik caleg dengan wajah ide dan harapan publik. Jika riwayat diri saja tidak diketahui lalu bagaimana publik bisa mengenal, menilai dan mewakilkan ide yang menyangkut persoalan dan harapan kehidupan yang ke depan ?

Kedua, penulis melakukan penelusuran secara random baik di level Daftar Calon Tetap DPR sampai DPRD Kab/Kota, selain masih banyak yang tidak menampilkan profil diri, beberapa caleg yang memberikan informasi profil diri masih terkesan secara parsial dan asal-asalan sehingga tidak semua informasi diberikan atau sengaja dikosongkan. Selain itu, pada sub-menu program usulan, ditemukan masih banyak sekedar copy paste antar caleg sesama partai. Narasi yang dikembangkan pun sangat normatif bahkan sulit diidentifikasi dan diukur ditingkatan lokal (DPRD Kab/Kota) sekalipun. Artinya tidak ada ide dan gagasan orisinil yang memang berangkat dari persoalan-persoalan riil di masyarakat. Atau memang mereka tidak mengerti benar persoalan dan tuntutan publik di dapilnya? Jika menilik cara membuat profil diri dan keterbukaan informasi serta adanya beberapa caleg yang beralamat diluar dapilnya, saya kira mereka memang mencalonkan diri sekedar formalitas.

Ketiga, sedikit kekurangan dalam fitur di atas, namun sangat substansial adalah tidak ada fitur korespondensi secara langsung kepada caleg, baik itu kontak telepon atau minimal alamat email serta akun sosial media. Padahal di era digital seperti saat ini, korespondensi melalui jejaring tersebut jauh lebih efektif dibandingkan mengetahui alamat rumah sekalipun, meski alamat tersebut pun bisa jadi tidak ditempati. Melalui email atau jejaring sosial media, publik bisa saja terhubung setiap saat dan membuat kesepakatan untuk dialog melalui daring seperti zoom meeting, google meeting dan lain-lain. Artinya kampanye caleg tidak lagi monolog, bahkan hanya baliho namun ada ruang dialektika. Suasana yang menghadirkan pertemuan ‘wajah dengan wajah’, sebagaimana etika politik Levinas yang ditulis oleh Cohen (1984) bahwa pertemuan dengan orang lain yang terbaik adalah pertemuan dengan wajahnya. Kehidupan bersama orang lain yang sungguh-sungguh adalah pertemuan antar-wajah; kehidupan yang ditandai dengan penerimaan wajah orang lain yang bermakna pada dirinya sendiri dan dengan demikian juga penerimaan perbedaan antara orang-orang yang ada di dalamnya. Politik yang etis adalah pertemuan manusia dengan manusia lain yang tidak saling menundukkan karena menyadari wajah yang menolak untuk ditundukkan. Tidak ada kepura-pura-an, tidak ada diskriminasi, tidak ada eksploitasi kepada minoritas sekalipun. Semua berlaku senyatanya, setara dan berimbang

Fitur informasi dari KPU tersebut sejatinya bisa menjadi pintu masuk mekanisme ruang publik yang deliberatif, sebagaimana gagasan Habermas (1993), dalam mengoptimalkan demokratisasi pertemuan ‘antar wajah’ terutama menjelang pencoblosan pemilu. Tentu sebagai publik, pemilik suara mendesak baik kepada KPU, partai politik dan para caleg untuk terus menciptakan instrumen, mekanisme kampanye yang terbuka, setara dan deliberatif untuk memberi ruang dialog ide yang bertransformasi sebagai konsensus dan kontrak politik yang demokratis. Sampai di posisi ini, maka segala atribut dan semiotika politik melalui ‘gagah-gagahan’ baliho tidak lagi relevan.

————- *** ————-

Tags: