Menguatkan Nalar Kritis dan Literasi di Era Digital

Menguatkan Karakter Profil Pelajar Pancasila

Oleh:
Susanto
Penulis adalah Juara II Guru Berprestasi Provinsi Jatim Tahun 2012. Guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 3 Bojonegoro-Jatim

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, distasiun bis dan ruang tunggu kerata api negari ini buku dibaca di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca, ditempat penjual buku laris dibeli, dan eksiklopedia yang terpanjang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengaarang (Taufiq Ismail, 2003: 13-14).

Membaca itu merupakan jalan menuju puncak prestasi. Ada juga pepatah yang mengatakan kalau dengan membaca akan membuka jendela dunia. Tapi bagi sebagian orang khususnya anak-anak (baca: remaja) itu memang susah untuk diajak membaca. Salah satu alasan membaca itu menyebabkan ngantuk, dan membosankan. Belum lagi di era serba madsos seperti saat ini anak-anak lebih asyik berlama-lama dengan gawai bila dibandingkan dengan buku. Dalam konteks yang demikian, tentunya agar budaya baca di era digital sekarang ini tentunya membutuhkan perhatian yang saksama.

Pertanyaanya lantas apa yang harus disiapkan untuk generasi muda atau anak-anak agar mereka memiliki semangat melakukan minat baca dan berliterasi di era digital saat ini? Dan bagaimana seharusnya yang harus dilakukan oleh sekolah dan juga orang tua atau masyarakat dalam menyikapi fenomena digitalisasi pendidikan di era revolusi industri 5.0?

Belajar dari Malaysia
Dalam konteks membaca semestinya sudah harus belajar dengan negeri Jiran Malaysia. Dalam buku yang berjudul ” Agar Anak Bangsa Tak rabun Membaca Tak Pincang Mengaarang (Taufiq Ismail, 2003:13-14). Dijelaskan pada budaya baca tulis di Malaysia sangat kuat dan bagus dan berkarakter. Hal ini terlihat semenjak di bangku SMA buku wajib yang dibaca 12 novel, 18 cerita pendek, 8 drama,18 puisi tradisional dan 12 prosa tradisional. Bagitu juga dengan budaya tulis tingkat SLTP (misalnya di SLTP Kolej Melayu Kuala Lumpur ) mulai kelas 1 selama seminggu harus menghasilkan 350 kata setara dengan 2 perempat kuarto dalam setahun setara dengan 81 halaman dan selama 3 tahun ( kelas 1 sampai kelas 3) mengahasilkan 243 halaman. Begitu juga di Amerka Serikat, siswa SLTP selama tiga tahun membaca 3312 halaman, dan siswa SMA sepanjang tiga tahun membaca 4824 halaman. Dengan demikian selama 6 tahun saat di bangku SLTP dan SMA di USA telah membaca 8136 halaman.

Lalu bagamana dengan Negeri Indonesia khususnya di lembaga pendidikan baik di SD, SMP, dan SMA? Kalau saya amati sangatlah jauh dengan Malaysia. Dikurikulum SD, SMP, dan SMA tidak secara jelas mengamanatkan ada buku wajib baik itu buku sastra atau buku umum yang harus dibaca oleh siswa. Dalam titik inilah yang perlu mendaatkan perhatian mengapa budaya baca dan tulis kita sangat rendah dan sudah saatnya ada buku wajib masuk kurikulum. Hal ini terlihat adari sejak bangku sekolah dasar dan menengah tidak tergarap secara optimal tentang budaya baca pada umumnya dan tulisan pada khususnya.

Jarang sekali ditemui orang yang memba buku kecuali di toko – toko buku atau perpustakaan. Dan juga ada yang gemar membaca buku akan tetapi tidak membawa dampak positif kemajuan peradaban bahkan akan berdampak negatif. Sebagai cotoh para remaja lebih suka berlama-lama memegang gawai atau HP. Artinya remaja saat sangat demam dengan sesuatu yang bernuansa hiburan semata dan tidak akan membawa dampak yang baik bagi majunya suatu peradaban.

Perlu Keteladanan
Sebagai upaya konkrit untuk menyiapkan generasi yang suka berliterasi sesuai profil pelajar Pancasila suka bernalar kritis sekaligus menghadapi digitalisasi pendidikan. Pertama, sediakan bacaan baru bagi anak meski di dalam HP tersedia. Tentunya sesuaikan dengan umur mereka biar tidak mengalami kesulitan memahaminya. Pilih buku yang menarik yang disertai dengan gambar dan permainan warna karena bisa menarik minat anak. Saat anak membaca jangan dibiarkan sendiirian. Tapi didampingi mereka agar paham pesan dari buku tersebut. Jangan terlalu lama, cukup 25 menit saja, selanjutnya biarkan mererka mengeksplorasi diri. Dengan mereka mengeksplorasi diri dengan cana ini anak akan dapat mengepresikan diri setelah mendapat informasi atau wawas an yang ada di dalamnya.

Kedua, memberikan peguatan pengarahan kepada anak agar tidak mengalami kesulitan. Bila sulit memahami, orang tua bisa menjelaskan katakanlah anak-anak suka mengeja huruf, beri mereka waktu untuk mencoba. Tapi biasanya kalau berkali-kali anak tidak bisa, hibur dia dan ajak membaca bersama – sama. Jangan pakai kekerasan. Misalnya kita memarahi meraka ketika tidak suka membaca. Justru anak akan merasa tertekan. Dan juga akan membuat anak menjadi alergi dengan buku bacaan. Orang tua bisa menvariasikan aktifitas berikutnya dengan membaca buku hingga akhirnya anak menyukai.

Ketiga, guru di sekolah pada semua jenjang melakukan pendampinga secara masif agar apa yang dibacanya menjadi sebuah pengetahuan adalah dengan menyusun target dan manfaat yang akan dibacanya. Artinya, guru semaksimal mungkin para siswa membaca bacaannya dengan singkat namun dapat diresap. Kemajuan suatu bangsa tidak timbul dengan sendiri, melainkan dengan usaha yang tekun dan sungguh-sungguh untuk meraih kemajuan .

Nah, menyusun langkah untuk menuju budaya membaca yang serius sangatlah mendesak di tengah globalisasi medsos dan digitalisasi dalam aspek kehidupan. Perlu pemahaman yang komprehensif yang utuh terkait pentingnya literasi baca, tulis dan juga berhitung. Sangatlah ironis bila masih menganggap budaya membaca hanya sekedar hobi, atau untuk mengisi waktu luang atau mengategorikan membaca hanya sebagai kegiatan orang-orang tertentu (kelompok intelektual). Oleh karena itu, orang tua, masyarakat, guru, dan juga pemerintah untuk tetap mengelorakan budaya literasi dan bernalar kritis di tengah digitaliasi untuk menyiapkan generasi emas yang siap kepentas dunia.

———— *** ————-

Tags: