OP dan Bansos Beras

Pemerintah wajib semakin tanggap permasalahan harga beras yang telah mencapai Rp 16 ribu per-kilogram. Menjadi harga tertinggi sepanjang Sejarah pangan nasional. Pemerintah mulai menggencarkan operasi pasar (OP) beras, sekaligus menggelontor Bansos pangan. Realitanya, harga beras di pasar tradisional tetap tinggi, seolah-olah makin menantang kinerja sektor pangan dan distribusi (perdagangan). Namun Pemerintah berdalih terjadi penurunan produksi beras tahun 2023 sebanyak 650 ribu ton. Karena dampak El-Nino.

Tetapi pengurangan produksi hasil panen telah “dibalas” dengan tambahan impor sebanyak 3,06 juta ton. Tetapi masih kurang! Kinerja sektor pangan (terutama Kementerian Pertanian) sudah sering salah mem-prediksi hasil panen. Sejak 5 tahun terakhir, selalu dinyatakan surplus, tetapi realitanya harga beras makin mahal. Saat ini pemerintah mengakui terjadi kegagalan panen yang menyebabkan penyusutan produksi.

Semula (sekitar September 2023) diperkirakan hanya susut 380 ribu ton. Lalu pada November, semakin susut menjadi 650 ribu ton. Padahal sesungguhnya dalam keadaan keparahan El-Nino, bisa terjadi kehilangan sebanyak 1,2 juta ton. Meng-antisipasi (sistemik) kekurangan beras, Kementerian Pertanian akan menambah areal ladang seluas 500 ribu hektar. Walau pembukaan ladang baru, tidak mudah. Terbukti dari kinerja program food estate, yang belum mampu menyokong ketersediaana pangan. Bahkan areal food estate, dipastikan gagal panen. Sebagian ditinggalkan petani.

Sekitar 98,35% masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebanyak 6,81 kilogram per-orang per-bulan. Tetapi hasil panen masih mencukupi. Selama Januari hingga Mei 2023, masih surplus 4,35 juta ton. Tetapi sejak Juli 2023 telah terjadi defisit. Sampai bulan September, defisit diperkirakan mencapai 420 ribu ton. Menyebabkan CBP (Cadangan Beras Pemerintah) yang dikelola Bulog terkuras hampir separuh (45,75%) dari batas aman stok beras. Termasuk digelontor sebagai Bansos.

Pemerintah telah mencanangkan sebanyak 641 ribu ton beras, diberikan kepada 21,5 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama tiga bulan. Mulai September hingga November, diberikan “jatah” beras sebanyak 10 kilogram per-keluarga setiap bulan. Bansos beras sebagai upaya menyokong kalangan ekonomi terbawah menghadapi laju inflasi akibat gejolak resesi global. Sekaligus mencegah “keparahan” kemiskinan. Konon pada bulan Desember 2023, Menteri Keuangan telah menambah pagu Bansos beras sebesar Rp 2,67 trilyun.

Kisruh beras mahal, sebenarnya bermula dari optimism kinerja sektor Pertanian yang berlebihan. Juga tidak memiliki catatan hasil riil panen. Hanya mengandalkan estimasi berdasar luas areal tanam. Padahal optimisme berlebihan sudah pernah terbukti gagal sejak awal Orde baru (tahun 1968 hingga 1972). Puncaknya, terjadi paceklik beras. Kegagalan optimisme juga dialami pemerintahan kilonial (Belanda) tahun 1910. Terpaksa impor beras dari Myanmar, India, dan China.

Berdasarkan data BPS, sejak tahun 2000 hingga 2019 tercatat Indonesia selalu impor beras. Paling banyak mengimpor beras pada tahun 2018, mencapai 2,254 juta ton senilai setara US$ 1,03 miliar. Tahun (2023) ternyata, volume impor makin naik, menjadi 3,06 juta ton. Terutama untuk operasi pasar, bersama Bansos, menjadi cara pemerintah memenuhi kewajiban, sesuai UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.

Pada pasal 25 ayat (1), menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.” Terdapat frasa kata “harga yang terjangkau” yang wajib direalisasi pemerintah.

Pemerintah wajib segera me-masif-kan operasi pasar, dan Bansos beras. Pemerintah dianggap abai manakala harga beras di atas HET, menggencet perekonomian rakyat.

——— 000 ———

Rate this article!
OP dan Bansos Beras,5 / 5 ( 1votes )
Tags: