OTT KKN Sistemik

foto ilustrasi

Semakin terbukti, banyak regulasi (terutama terutama level Peraturan Menteri) berpotensi menjadi ladang KKN (Kolusi Korupsi dan Nepotisme). Berbagai peraturan sampai tingkat Peraturan Bupati juga menghambat investasi perekonomian di daerah. Karena pembinaan ke-pegawai-an yang buruk menyebabkan aparat pemerintah menjadi “calo” perizinan. Bahkan birokrasi biasa “titip” harga pada proses pengadaan barang, serta ekspor – impor.

Salahsatu regulasi kontroversial sejak awal Kabinet Indonesia Maju (2019 – 2024), adalah Permen (Peraturan Menteri) Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020. Karena berlawanan kebijakan dengan menteri sebelumnya, Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 56 tahun 2016. Permen (lama), bervisi konservasi, keberlanjutan ekosistem sumberdaya perikanan. Khususnya jenis lobster, kepiting, dan rajungan.

Visi konservasi juga ber-aspek hilirisasi lobster, yang dijaga hingga usia matang siap panen (dewasa, dengan berat lebih dari 250 gram per-ekor). Harganya bisa mencapai Rp 1,5 juta per-kilo (isi 3 ekor lobster jenis mutiara). Sedangkan harga benih (benur) lobster mutiara, paling mahal hanya Rp 20 ribu per-benih. Kenaikan harga lobster benih hingga dewasa mencapai 25 kali lipat. Hanya dibutuhkan kesabaran selama 7 bulan, sampai menjadi lobster dewasa.

Permen baru (Nomor 12 tahun 2020) yang dibuat menteri Edhy Prabowo, bervisi ke-ekonomi-an, untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Serta realita “pasar gelap” ekspor benur lobster yang kerap terjadi. Sehingga ekspor benur lobster “di-izin-kan” dengan berbagai persyaratan. Diantaranya, hanya dilakukan oleh kelompok nelayan pembudidaya lobster. Serta pe-lepas liar-an benur lobster yang telah melewati masa kritis survival.

Pertimbangan “izin” ekspor benur lobster, tidak seluruhnya salah. Karena potensi benur (puerulus) sebanyak 20 milyar ekor per-tahun. Terdapat di seluruh pantai di Indonesia. Benur yang dijumput dari laut dibatasi sebanyak 139,5 juta ekor. Jika harga per-benur dirata-rata Rp 7 ribu per-ekor, maka bisnis tangkapan benur lobster bernilai hampir Rp 1 trilyun.

Namun anehnya, serta-merta nilai ekspor benur meningkat tajam. Pada bulan Juni volume ekspor benur lobster hanya 32 kilogram, dengan nilai devisa US$ 112.900,- (sekitar Rp 1,66 milyar). Pada bulan Juli ekspor melonjak menjadi 1.388 kilogram (naik 43 kali lipat), senilai US$ 3,66 juta. Pada bulan Agustus melonjak sampai mencapai US$ 6,42 juta. Lalu pada bulan September makin meroket menjadi senilai US$ 15,09 juta.

Hanya empat bulan setelah penetapan Permen Nomor 12 tahun 2020 (ditandatangani 4 Mei 2020) ekspor benih lobster meningkat fastastis. Lebih dari 100 kali lipat (10 ribu persen). Jumlah benur yang diekspor mencapai 12.100 kilogram. Seharusnya, ekspor benur bisa dimulai setelah (setidaknya) pembudidaya dua kali panen. Yakni, budidaya lobster (nama latin panulirus spp) dewasa sampai siap menetaskan benur. Sehingga baru bisa ekspor pada bulan Mei 2021 nanti.

Pelonjakan ekspor benur lobster itu yang patut dijejaki. Juga patut dikhawatirkan eksploitasi (penangkapan benur secara serampangan). Karena benur sangat mudah menangkap dengan alat sederhana. Namun tingkat survival (bertahan hidup) sangat rentan. Maka pelonjakan ekspor benur menjadi “kemustahil-an” yang berlindung di balik regulasi (Peraturan Menteri).

Diduga kuat terdapat mens rea (mental) dan niat korupsi yang terselip dalam berbagai regulasi. “Kalau ada yang masih bandel, ada niat korupsi, ada mens rea (mental), silakan digigit.” Begitu pinta presiden dalam Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah, diikuti pula oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Sudah dilakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK. Tetapi masih diperlukan perbaikan (bahkan penghapusan) regulasi yang berpotensi menyuburkan KKN.

——— 000 ———

Rate this article!
OTT KKN Sistemik,5 / 5 ( 1votes )
Tags: